Rabu, 09 Januari 2013

Biarkan Mereka Seperti Itu

Iseng-iseng, daripada nggak ngapa-ngapain waktu buka blog, saya jadi ingin menuliskan sesuatu di sini. Mmm..Nulis apa ya? Ok ok, saya hanya ingin berbagi cerita dari apa yang pernah saya lihat. Kawan semua tahu serial film Lorong Waktu, bukan? Nah, bagi yang tahu saya ingin mereview salah satu episodenya. Bagi yang belum tahu, silakan aja baca langsung, tidak harus tahu film serialnya. Maaf, intro-nya terlalu panjang.

NB: Review berdasarkan pendapat subjektif saya sendiri setelah menontonnya. Dan menulisnya pun sekuat sampai mana saya mengingatnya. Selain itu, ada bagian dari dialog yang tidak persis sama karena sudah beberapa tahun silam nontonnya. Selebihnya Wallahu’alam.

Tiba Saatnya Akulah yang Menjadi Lakon

Jikalah DERITA akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang KETEGARAN akan lebih indah dikenang nanti.
Jikalah KESEDIHAN akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak DINIKMATI saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalah LUKA dan KECEWA akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,
Sedang KETABAHAN dan KESABARAN adalah lebih utama.

Jikalah KEBENCIAN dan KEMARAHAN akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,
Sedang MENAHAN DIRI adalah lebih berpahala.
Jikalah KESALAHAN akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,
Sedang TAUBAT itu lebih utama.
~Yuni Lisnawati ( e-Book Motivasi.exe — Tafakur)~
sumber: gispala.wordpress.com
Hujan masih turun dengan derasnya setelah kota Surabaya lama mengalami panas berkepanjangan. Kini giliran hujan tak henti-hentinya turun mengguyur kota ini. Beberapa saat yang lalu, penduduk kota ini mengeluh karena panas yang tak kenal ampun. “Seperti gini panasnya Surabaya. Belum di neraka ini padahal,” ujar salah seorang sahabat. Namun kini, gigil tubuh karena dingin kerap kali menyerang kami tak kenal waktu dan kondisi. Waktu kuliah, kerja, makan, shalat, ujian, mengumpulkan tugas, hujan mendominasi.

Begitu cepat keadaan manusia berubah. Begitu cepat hidup ini berubah. Hanya karena sebuah momen yang mungkin hanya terjadi sepersekian detik atau lebih, semuanya berubah. Yang panas menjadi dingin. Lapar menjadi kenyang. Dahaga menjadi segar. Cepat sekali keadaan berputar.

Pun demikian ketika aku sadar terhadap apa-apa yang telah terjadi dalam diriku. Telah kuingat-ingat kembali bagaimana aku setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima, hingga sepuluh tahun yang lalu. Bahkan sampai batas usia terkecil di mana kemampuan ingatanku masih menjangkaunya.

Peristiwa-peristiwa yang dulunya hanya ada dalam mimpiku, ternyata ada di depan mata. Peristiwa-peristiwa yang dulu kukira hanya tertuang manis dalam novel-novel yang mengharu biru, kini ada dalam jangkauan tangan. Kejadian-kejadian yang aku mengira hanya ada dalam dunia fiktif dan kebetulan seperti dalam sinetron-sinetron yang dulu aku sering menontonnya bersama keluargaku, sebagiannya kualami sendiri. Tawa, tangis, canda, marah, pengkhianatan, cita-cita, cinta, harapan, perjalanan, tempat-tempat dan peristiwa asing, keterasingan, kesunyian, dan keramaian. Pernah menjadi bagian hidupku yang dulu kuanggap tak mungkin kurasakan.

Dulu aku menjadi penonton. Menikmati setiap seni kehidupan dengan memberi komentar dan usulan konsep bagiamana seharusnya terjadi pada si lakon. Bagaimana harus menghadapi keadaan ini dengan cara yang terbaik menurut semua orang tanpa melahirkan kritik. Bagaimana menjadi seorang ksatria dan mujahid tangguh dengan mengerahkan kemampuan optimal dalam logika, perasaan, dan hati nurani.

Dan kini, setelah sekian lama waktu berjalan- aku merasa baru saja kemarin-semuanya telah berubah. Sekarang akulah yang menjadi lakon kehidupan. Sekarang akulah yang harus mempunyai seni dalam menari di atas ombak kehidupan, agar tak hanyaut bersama ombak dunia yang melenakan. Sekarang aku harus berani mengambil keputusan di antara hitam dan putih, tak ada lagi abu-abu. Pun konsep matang tanpa realita pun hanya akan menjadi penyesalan dalam posisiku sebagai lakon. Dulu aku warga lemah yang tidak boleh iktu berperang. Tapi kini aku dipaksa untuk menjadi pasukan garda depan. Dulu aku yang dibimbing, tapi kini aku dituntut untuk membimbing.

Selalu saja ada rasa menyesal dalam hati kenapa dulu aku tak menjalani masa-masa lampau dengan sepenuh rasa, jiwa, dan raga. Sampai titik darah penghabisan. Sampai aku lelah dan tak mampu bangkit lagi. Sampai titik nadir. Kenapa aku melakukannya setengah-setengah? Harusnya peristiwa-peritiwa pahit tak terjadi lagi kini. Harusnya mimpi-mimpi yang kutorehkan di atas kertas sudah tergapai. Lalu berganti dengan mimpi lain, tempat dan peristiwa baru. Tapi nyatanya sama saja.

Aku memilih jalan hidup, memutuskan perkara, dan menjalaninya. Lalu aku melakukan kesalahan dan aku belajar lagi. Semakin banyak kesalahan, semakin banyak belajar. Aku tetap saja harus bersyukur pada-Nya yang telah memberi kekuatan dan kasih sayang. Aku merasa kasih sayang-Nya sangat besar. Semua ikhtiarku yang lemah dan kurang maksimal, telah membawaku pada dunia dan perang yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Logika sederhanaku mengatakan,” Jika usahaku yang sedikit saja hasilnya jauh di luar dugaan, mengapa tidak mencoba untuk sepenuh tenaga? Bukankah akan ada peristiwa-peristiwa lain yang lebih menakjubkan lagi setelah ini?”

Ya, rasanya aku harus kembali menata niatku. Merapikan semua rencana dan agenda hidupku Untuk apa aku hidup di dunia ini. Seperti apa mimpiku setahun, dua tahun , tiga tahun, empat tahun, dan seterusnya. Dengan siapa aku di sana, bagaimana seharusnya aku menjadi, di mana tempatku berpijak, dan apa yang kulakukan saat itu haruslah kuihtiarkan sepenuh perjuangan.

Lelah? Pasti! Letih? Wajar! Pasti berhasil? Belum tentu! Karena bagaimanapun, Allaah-lah yang berkuasa atas takdir alam semesta ini, apalagi kehidupan kita yang sangat kecil ini. Tapi bagaimanapun, aku percaya, apa yang dijanjikan-Nya pastilah benar. Walaupun keberhasilan belum terjamin pasti, ikhtiar tetaplah mesti diupayakan sekuat tenaga. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita satu detik, dua detik, tiga detik, hingga setahun yang akan datang. Kita hanya mampu mengikhtiarkan hidup kita agar Dia berkenan ridha pada kita. Karena Allaah telah berjanji,” Dan baransiapa yang berbuat kebajikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula,” (Q. S. Az-Zalzalah: 7).

Ya, harusnya tak ada lagi kesempatan untuk bermanja-manja lagi. Harusnya tak ada lagi waktu yang dapat dilalaikan lagi. Dan harusnya tak ada lagi yang mubadzir. Karena semuanya telah terkuras habis oleh penyesalan di masa lalu. Setelah ini, harus lebih banyak perjuangan yang dikerahkan. Karena akan ada banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi. Karena setiap pilihan yang aku ambil, akan ada banyak orang orang yang akan merasakan akibatnya. Lalu, akankah semuanya menjadi lebih baik? Wallahu’alam. Tapi harus. Mampukah? Semoga. Dan waktulah yang akan menjawab. Mohon do'anya donk...

Surabaya, 3 Januari 2012
21 Safar 1434 H

Kau Pernah Datang dan Bertanya Padaku, Kawan

Kau pernah datang dan bertanya padaku, kawan
Tentang sebuah negeri yang jalannya tak lagi rata karena dipenuhi reruntuhan bangunan
Tentang sebuah negeri di mana sunyi yang mencekam selalu menyelimuti hati para ibu
Melihat anak-anak kecilnya merentangkan karet ketapel di hadapan deru mobil bersenjata

Tentang sebuah negeri yang telapak kaki para gadisnya menjadi merah
Karena darah yang mengalir dari selangkang mereka akibat keperkasaan yang tak mengenal nurani
Tentang sebuah negeri, wanita dan anak-anak siap memikul senjata di bahu rapuh mereka
Tentang sebuah negeri, tak ada lagi kicau merdu burung-burung di pagi atau sore hari
Tapi setiap saat deru mesin burung-burung besi mengeluarkan kotorannya
Lalu meluluhlantakkan masjid, sekolah, rumah sakit, bangunan pemerintahan, dan harga diri mereka


Tentang sebuah negeri, mandi dan berwudhu menggunakan air yang tidak lagi berwarna jernih
Tapi berwarna merah
Kau tidak perlu mengatakan waw! Karena mereka tidak butuh dikasihani
Tentang sebuah negeri, di mana anak-anak kecil tak lagi berteriak riang saat hujan turun
Tapi teriak ketakutan yang menyayat hati
Karena hujan ledakan, peluru, dan derita itu telah berhasil menguras habis air mata mereka

Tentang sebuah negeri, yang mungkin telah lelah menunggu janji-janji manusia
Menanti keadilan untuk mereka yang selama ini hanya tertuang dalam hitam di atas putih
Tentang sebuah negeri, di mana perjuangan menjadi dermaga rindu bagi kapal-kapal harapan  dan do’a mereka yang tak pernah karam

Tentang sebuah negeri, yang seorang bocah meneriakkan sajak pilu
''Ayah, mengapa mereka jauhkan aku darimu?
Mereka menangkapmu tanpa memberi kesempatan
Untuk menciumku meskipun hanya sekali
Atau mengusap ari mata ibu
Ibu, aku melihat air mata di kelopak matamu setiap pagi
Ibu, apakah Ayah akan kembali pada suatu hari
Ataukah dia akan pergi selamanya sampai hari Kiamat?''
Kau pernah datang dan bertanya padaku, kawan
Dengan air mata yang membasahi pipimu.


Surabaya, 18 November 2012