Tulisan
ini saya persembahkan untuk mereka yang terlalu lembut hatinya dan tidak bisa
mengatakan tidak. Hingga mereka seperti lilin, menerangi lingkungan sekitarnya, namun membiarkan dirinya sendiri terbakar habis.
“Kebanyakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita adalah hasil dari apa yang dikatakan oleh orang lain.” [1]
Saya
membenarkan kalimat yang dilontarkan oleh Prof. Abdullah Shahab ini. Betapa
kehidupan dan sikap kita dalam menghadapi dunia dan merespon manusia sebagian
besar dipengaruhi oleh apa yang kita dengar dari orang lain. Termasuk
ketakutan, kesedihan, kemarahan, kebencian, kecintaan, dan lainnya.
Saya
pernah mengalami itu. Di mana sikap dan tutur kata saya bergantung kepada orang
lain. Ingin bersikap tegas sebagi respon atas ketidaknyamanan diri, langsung
hanyut dalam keterombang-ambingan begitu orang lain bilang “berilah toleransi”.
Galau khawatir menyakiti. Padahal bersikap tegas tidak harus marah-marah
ataupun membentak-bentak. Alhamdulillah, semua itu telah menjadi masa lalu.
Ingin
memakai kaos kaki warna nge-jreng, takut dibilang norak. Ingin makan agak
banyak karena lapar, takut dikatakan rakus. Ingin menolak ajakan nongkrong dari
teman karena ada janji lain yang sudah dijadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya,
takut dikatakan tidak setia kawan lah, tidak punya solidaritas-lah. Ingin
tilawah Quran di kelas, takut dibilang sok alim. Ingin membaca buku sambil
menunggu bisa datang, takut dikatakan orang aneh. Ingin pulang kerja tepat
waktu, takut disindir oleh manajer atau teman-teman kantor.
Dan
ketakutan-ketakutan lain yang sebenarnya hanyalah opini orang lain terhadap
saya. Dan itupun belum tentu benar. Akhirnya, saya pernah menjadi “Yes man”.
Seseorang yang tidak bisa untuk mengatakan tidak.
Dalam
sebuah kontemplasi, saya menyadari, kenapa hidup saya harus bergantung kepada
pendapat orang lain? Betapa selama itu saya hidup dalam belenggu opini orang
lain. Betapa selama itu saya tidak merdeka dengan sikap mereka yang mau menang
sendiri kepada saya. Betapa selama ini saya dipenjara oleh rasa khawatir yang
berlebihan “nanti menyakiti” lalu tanpa sadar saya mendzalimi diri saya
sendiri.
Mengurus
orang lain namun kewajiban dan hak saya terlupakan dan tidak diperjuangkan.
Dalam
perenungan itu, saya teringat pada kalimat ini,
“Engkau takkan mampu menyenangkan semua orang. Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia.” [2]
Saya
menyesali sikap saya waktu itu. Kemana Quran Surat Al Ikhlas yang saya pelajari
selama ini?
اللَّهُ الصَّمَدُ -٢-
“Allah tempat bergantung
segala sesuatu” [3]
Kenapa saya harus memenuhi kesenangan setiap orang? Padahal
kesenangan setiap orang berbeda kadarnya sesuai dengan sifat-sifat
kesehariannya.
Seorang yang berilmu, kesenangannya pada berdiskusi dengan
santun dan berbobot. Seorang yang bodoh, kesenangannya terletak pada menghina
orang berilmu, ghibah, dan berkata kasar.
Orang yang bertakwa, kesenangannya terletak pada ibadah dan taat
kepada Allah. Sementara orang-orang fasik, kesenangannya ada pada maksiat.
Orang rajin, kesenangannya ada pada pekerjaan yang dikerjakan
secara efektif, efisien, dan produktif. Sementara orang malas, kesenangannya
ada pada menunda-nunda pekerjaan, tidak melakukan inovasi, dan pemborosan
waktu.
Para aktivis, kesenangannya ada pada perjuangan sampai titik mastatho’tum
(segala yang ia punya), sementara penyiyir, kesenangannya ada pada mengomentari
perjuangan para aktivis.
Bagaimana saya bisa menyenangkan semua orang jika sifat yang
berbeda memiliki titik puncak kesenangan yang bertolak belakang? Tidak mungkin
bisa saya lakukan.
Setelah menyadari itu semua, maka sudah selayaknya kita belajar
untuk melepaskan diri dari ikatan pendapat orang lain. Tidak semuanya harus
dipenuhi. Tapi perlu kita dengarkan lalu kita renungkan mana yang baik dan mana
yang buruk untuk keimanan dan ketakwaan kita.
Kita tidak perlu
bergantung kepada apa penilaian semua orang terhadap kita dan kita tidak perlu
mencemaskan itu.
“Makanya kalau ngadepin dunia jangan pakai hati. Yang serius sama Allah saja.” [4]
Yang perlu kita lakukan adalah mendengarkan nasehat-nasehat
dari orang-orang yang kita percaya, kita renungkan, kita mintakan petunjuk
kepada Allah, lalu kita laksanakan di mana hati kita memiliki kecenderungan.
Sebab, nasehat dari orang-orang yang kita percaya pun, tidak
semuanya benar. Pun belum tentu juga dari mereka, semuanya memang pantas kita
beri kepercayaan. Karena terkadang ada pengkhianat yang menyamar menjadi orang
dekat.
Maka sudah seharusnya bagi kita untuk kembali meluruskan niat
kita, sikap kita, dan tutur kita hanya untuk menyenangkan Allah. Dengan cara
yang Allah cintai pula. Tegas namun bersahabat. Santun namun berwibawa. Mengayomi
namun disegani. Serta berwibawa tanpa harus mengintimdasi.
Kita tidak perlu merubah diri kita menjadi orang lain. Tetaplah
menjadi diri sendiri, namun mendewasalah.
Wallahu’alam bisshawwab.
Surabaya,
30 Jumadil Awwal/ 26 Februari 2017
-Nir-
Sumber:
[1]
Kajian tentang Kebangkitan Ummat Islam oleh Prof. Dr. Ir. Abdullah
Shahab, 26 Februari 2017, ba’da Subuh di Masjid Manarul ‘Ilmi.
[2]
Imam Syafi’i rahimahullah.
[3]
Q.S. Al Ikhlash: 2
[4]
K.H. Abdullah Gymnastiar dalam Kajian Kitabul Hikam pada episode Tipu
Daya Dunia.
0 komentar:
Posting Komentar