Minggu, 26 Februari 2017

Isi Hati dan Pikiran Kita

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang terlalu lembut hatinya dan tidak bisa mengatakan tidak. Hingga mereka seperti lilin, menerangi lingkungan sekitarnya, namun membiarkan dirinya sendiri terbakar habis.

“Kebanyakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita adalah hasil dari apa yang dikatakan oleh orang lain.” [1]


Saya membenarkan kalimat yang dilontarkan oleh Prof. Abdullah Shahab ini. Betapa kehidupan dan sikap kita dalam menghadapi dunia dan merespon manusia sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang kita dengar dari orang lain. Termasuk ketakutan, kesedihan, kemarahan, kebencian, kecintaan, dan lainnya.


Saya pernah mengalami itu. Di mana sikap dan tutur kata saya bergantung kepada orang lain. Ingin bersikap tegas sebagi respon atas ketidaknyamanan diri, langsung hanyut dalam keterombang-ambingan begitu orang lain bilang “berilah toleransi”. Galau khawatir menyakiti. Padahal bersikap tegas tidak harus marah-marah ataupun membentak-bentak. Alhamdulillah, semua itu telah menjadi masa lalu.

Ingin memakai kaos kaki warna nge-jreng, takut dibilang norak. Ingin makan agak banyak karena lapar, takut dikatakan rakus. Ingin menolak ajakan nongkrong dari teman karena ada janji lain yang sudah dijadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya, takut dikatakan tidak setia kawan lah, tidak punya solidaritas-lah. Ingin tilawah Quran di kelas, takut dibilang sok alim. Ingin membaca buku sambil menunggu bisa datang, takut dikatakan orang aneh. Ingin pulang kerja tepat waktu, takut disindir oleh manajer atau teman-teman kantor.

Dan ketakutan-ketakutan lain yang sebenarnya hanyalah opini orang lain terhadap saya. Dan itupun belum tentu benar. Akhirnya, saya pernah menjadi “Yes man”. Seseorang yang tidak bisa untuk mengatakan tidak.

Dalam sebuah kontemplasi, saya menyadari, kenapa hidup saya harus bergantung kepada pendapat orang lain? Betapa selama itu saya hidup dalam belenggu opini orang lain. Betapa selama itu saya tidak merdeka dengan sikap mereka yang mau menang sendiri kepada saya. Betapa selama ini saya dipenjara oleh rasa khawatir yang berlebihan “nanti menyakiti” lalu tanpa sadar saya mendzalimi diri saya sendiri.

Mengurus orang lain namun kewajiban dan hak saya terlupakan dan tidak diperjuangkan.
Dalam perenungan itu, saya teringat pada kalimat ini,

“Engkau takkan mampu menyenangkan semua orang. Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia.” [2]



Saya menyesali sikap saya waktu itu. Kemana Quran Surat Al Ikhlas yang saya pelajari selama ini?
اللَّهُ الصَّمَدُ -٢-
Allah tempat bergantung segala sesuatu” [3]

Kenapa saya harus memenuhi kesenangan setiap orang? Padahal kesenangan setiap orang berbeda kadarnya sesuai dengan sifat-sifat kesehariannya.

Seorang yang berilmu, kesenangannya pada berdiskusi dengan santun dan berbobot. Seorang yang bodoh, kesenangannya terletak pada menghina orang berilmu, ghibah, dan berkata kasar.
Orang yang bertakwa, kesenangannya terletak pada ibadah dan taat kepada Allah. Sementara orang-orang fasik, kesenangannya ada pada maksiat.

Orang rajin, kesenangannya ada pada pekerjaan yang dikerjakan secara efektif, efisien, dan produktif. Sementara orang malas, kesenangannya ada pada menunda-nunda pekerjaan, tidak melakukan inovasi, dan pemborosan waktu.

Para aktivis, kesenangannya ada pada perjuangan sampai titik mastatho’tum (segala yang ia punya), sementara penyiyir, kesenangannya ada pada mengomentari perjuangan para aktivis.
Bagaimana saya bisa menyenangkan semua orang jika sifat yang berbeda memiliki titik puncak kesenangan yang bertolak belakang? Tidak mungkin bisa saya lakukan.

Setelah menyadari itu semua, maka sudah selayaknya kita belajar untuk melepaskan diri dari ikatan pendapat orang lain. Tidak semuanya harus dipenuhi. Tapi perlu kita dengarkan lalu kita renungkan mana yang baik dan mana yang buruk untuk keimanan dan ketakwaan kita.

Kita tidak perlu bergantung kepada apa penilaian semua orang terhadap kita dan kita tidak perlu mencemaskan itu.

“Makanya kalau ngadepin dunia jangan pakai hati. Yang serius sama Allah saja.” [4]

Yang perlu kita lakukan adalah mendengarkan nasehat-nasehat dari orang-orang yang kita percaya, kita renungkan, kita mintakan petunjuk kepada Allah, lalu kita laksanakan di mana hati kita memiliki kecenderungan.

Sebab, nasehat dari orang-orang yang kita percaya pun, tidak semuanya benar. Pun belum tentu juga dari mereka, semuanya memang pantas kita beri kepercayaan. Karena terkadang ada pengkhianat yang menyamar menjadi orang dekat.

Maka sudah seharusnya bagi kita untuk kembali meluruskan niat kita, sikap kita, dan tutur kita hanya untuk menyenangkan Allah. Dengan cara yang Allah cintai pula. Tegas namun bersahabat. Santun namun berwibawa. Mengayomi namun disegani. Serta berwibawa tanpa harus mengintimdasi.

Kita tidak perlu merubah diri kita menjadi orang lain. Tetaplah menjadi diri sendiri, namun mendewasalah.

Wallahu’alam bisshawwab.

Surabaya, 30 Jumadil Awwal/ 26 Februari 2017
-Nir-

Sumber:
[1] Kajian tentang Kebangkitan Ummat Islam oleh Prof. Dr. Ir. Abdullah Shahab, 26 Februari 2017, ba’da Subuh di Masjid Manarul ‘Ilmi.
[2] Imam Syafi’i rahimahullah.
[3] Q.S. Al Ikhlash: 2
[4] K.H. Abdullah Gymnastiar dalam Kajian Kitabul Hikam pada episode Tipu Daya Dunia.

0 komentar:

Posting Komentar