Rabu, 09 Januari 2013

Biarkan Mereka Seperti Itu

Iseng-iseng, daripada nggak ngapa-ngapain waktu buka blog, saya jadi ingin menuliskan sesuatu di sini. Mmm..Nulis apa ya? Ok ok, saya hanya ingin berbagi cerita dari apa yang pernah saya lihat. Kawan semua tahu serial film Lorong Waktu, bukan? Nah, bagi yang tahu saya ingin mereview salah satu episodenya. Bagi yang belum tahu, silakan aja baca langsung, tidak harus tahu film serialnya. Maaf, intro-nya terlalu panjang.

NB: Review berdasarkan pendapat subjektif saya sendiri setelah menontonnya. Dan menulisnya pun sekuat sampai mana saya mengingatnya. Selain itu, ada bagian dari dialog yang tidak persis sama karena sudah beberapa tahun silam nontonnya. Selebihnya Wallahu’alam.


Sepasang ayah-anak (seusia anak SD) sedang menaiki sepeda dengan berboncengan menuju kota. Untuk sampai ke kota tersebut, mereka harus melewati beberapa desa yang setiap karakter warganya berbeda-beda. Benar kata pepatah, lain lubuk lain ikannya.

Setelah melewati beberapa desa, sampailah ayah-anak tersebut di desa A. Di desa tersebut, sebuah ujian menghampiri ayah-anak tersebut. Ban sepeda mereka bocor entah karena apa, mungkin tertusuk paku.

“Waduh, nak… Sepeda kita bocor,” sang ayah turun dan memastikannya. Sang anak juga turun.

“Iya Yah. Terus kita gimana, Yah?” tanya sang anak.

“Gini aja, kamu naik sepeda di jok belakang, ayah yang menuntun sepedanya.” Sang anak pun naik dan duduk manis di jok sepeda bagian belakang. Setelah lumayan jauh menuntun sepeda, mereka bertemu dengan seorang warga desa A yang sedang duduk-duduk diam di bawah pohon rindang. Melihat ayah-anak tadi, si warga Desa A tersebut berkomentar.

“Dasar anak tak tahu diuntung, Durhaka! Masa ayahnya susah payah dibela-belain capek dia malah enak-enakan duduk di atas sepeda! Dosa kamu!”, ujarnya sengit, penuh emosi. Ayah-anak tersebut melihat ke arah warga tersebut dan kemudian mereka saling memandang.

“Iya, Nak. Kalau begitu ayah saja yang duduk di sepeda. Sekarang ganti kamu yang menuntun sepedanya,” celoteh sang Ayah. Tanpa banyak kata, sang anak pun turun dan menuntun sepeda. Setelah itu, mereka tiba di desa B. Di sana mereka juga menemui warga di desa tersebut yang berpapasan dengan mereka di tengah jalan. Warga tersebut melihat ke arah pasangan Ayah-anak tersebut dengan tatapan heran, lalu menggelengkan kepala.

“Dasar ayah tak kenal belas kasihan! Lihat! Anaknya capek-capek nuntun sepeda Ayahnya malah-malah duduk santai. Ayah nggak bertanggung jawab!” hardik warga tersebut. Ayah-anak tersebut kembali saling melihat satu sama lain, bingung.

“Nak, kalu gitu kita sama-sama jalan aja ya. Kita berdua sama-sama nuntun sepeda ini sampai ke kota.” Sang anak pun menurut saja. Sampai di kota C, keduanya bertemu dengan segerombolan warga daerah tersebut yang sedang cangkrukan. Mereka juga melihat Ayah-anak tersebut dengan tatapan heran.

“Dasar manusia bodoh! Punya sepeda kok nggak dipakai…” ujar salah seorang warga disusul derai tawa dari warga lain. Ayah-anak tersebut malu dan lari meninggalkan mereka. Di tengah jalan , mereka berhenti.

“Yah, dari tadi kita kok disalahin terus ya Yah? Salah kita apa?” keluh sang anak, lelah dari tadi menerima hinaan. Sang ayah berfikir sebentar, sepertinya muncul ide baru yang rasanya mampu melepaskan mereka dari hinaan orang lain. Mereka berdua mengangkat sepeda yang mereka miliki tersebut. Sampai di desa D, seorang warga yang sedang memperbaiki sepedanya melihat mereka berdua mengangkat sepedanya. Warga tersebut tersenyum dan agak tertawa.

“ Masya Allah… Kiamat memang sudah dekat ya. Semuanya udah serba terbalik. Bukannya orang yang naik sepeda, tapi sepeda yang naikin orang,” ucapnya tanpa merasa bersalah. Mendengar ungkapan tadi, telinga sang Ayah merah. Emosinya meluap hingga di puncak ubun-ubun. Kesabarannya habis, didikis oleh hinaan-hinaan yang tidak mau mengerti asal-usul masalahnya. Dengan penuh emosi, dia membanting sepedanya dan berjalan tanpa arah.
*****
Kawan, terkadang kita terlalu mudah goyah dalam perjuangan kita mencapai cita-cita karena perkataan dan tanggapan orang lain. Entah itu ejekan, celaan, cemoohan, tawa, hinaan, pujian. Terkadang kita terlalu memperhatikan apa tanggapan orang kepada kita sehingga kita terlalu bergantung kepadanya. Iya kalau akibatnya baik, tapi kalau seperti cerita di atas? Bukannya sampai pada tujuan, tapi malah putus asa ketika keberhasilan hanya selangkah lagi.

Berjuanglah! Terbanglah menggapai cita-cita dengan sayapmu yang kokoh untuk menentang badai! Celaan mereka takkan menggetarkan langkahmu!
Menyenangkan semua orang adalah tujuan yang tak bisa dicapai.


Menyenangkan semua orang adalah tujuan yang tak bisa dicapai.

Dari artikel 'Ini Dalilnya (19): BoleMenyenangkan semua orang adalah tujuan yang tak bisa dicapai.
"Menyenangkan semua orang adalah tujuan yang tak bisa dicapai." (Imam Syafi'i)

Demikian. Wassalamu’alaykum warahmatullah wabarakatuh.
Surabaya, 20 Maret 2011

0 komentar:

Posting Komentar