Kamis, 25 Mei 2017

Harga Sebuah Jiwa

Jika peristiwa bom di Jakarta semalam hanya sebagai pengalihan isu, maka betapa murahnya harga sebuah jiwa di jaman ini. Hanya untuk menenggelamkan sebuah masalah, nyawa orang lain menjadi tumbal sebagai bayaran agar ramainya tanggapan publik atas kasusnya sedikit mereda.

Saya tak tahu apakah ini benar merupakan pengalihan isu atau tidak, tetapi peristiwa semalam harusnya tak membuat kita dengan mudahnya mengatakan "halah, ini hanya pengalihan isu". Jika kita mendengar berita-berita sejenis dan hati kita merasa biasa saja, tidak ada sedikitpun rasa takut, sedih, marah, maka di situlah masalah utama kita.

Walaupun memang, berita-berita tentang bom selalu menyisakan tanda tanya, mengapa selalu muncul di sela-sela kasus-kasus besar di negeri ini. Dan seringkali yang tertuduh adalah Islam.

Jangan-jangan hati kita telah beku dan mengeras. Jangan-jangan hati kita tak mempunyai rasa.

Ketika dulu mendengar berita bom pertama kalinya kita ikut merasakan kesedihan dan iba, kini hati ini tak bergeming dengan alasan "sudah biasa". Ini bukan soal baperan. Ini bukan hati yang lemah.

Kita bicara tentang harga sebuah jiwa. Jika yang meninggal seorang ibu, maka bayangkan bagaimana masa depan anaknya. Jika anaknya tak terdidik dengan baik (sebagaimana ibunya sendiri yang mendidik) dan menjadi insan yang suka menyakiti orang lain di masa depan, maka bisakah kita bayangkan betapa besarnya efek bola salju dari terbunuhnya satu orang manusia.

Jika yang menjadi korban adalah seorang ayah, maka bayangkan bagaimana istri dan anaknya harus menghidupi kebutuhan mereka sendiri. Jika pada akhirnya si anak harus berhenti sekolah karena tak ada biaya dan berada dalam kebodohan, maka betapa besarnya dosa yang harus ditanggung
pelaku.

Wallahu'alam bisshawwab. Saya jadi teringat firman Allah azza wa jalla dalam Al Quran Surat Al Ma'idah ayat 32,

"...Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya."

Jika jiwa tak mahal harganya, maka tak mungkin Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam mengirim tiga ribu pasukan untuk menghadapi 200.000 tentara Romawi di Mu'tah sebagai bentuk kemarahan atas terbunuhnya beberapa diplomat. Jika jiwa tak mahal, maka tak mungkin Allah menjadikan qishash (di negara yang secara resmi menjadikan Islam sebagai dasar hukum) sebagai balasan bagi para pembunuh.

Semoga kita bisa lebih menghargai arti sebuah jiwa. Sebuah luka. Sebuah derita. Sebuah kebahagiaan. Agar kita tak lagi mudah menyakiti orang lain, terlebih menghabisinya tanpa alasan yang haq. Agar kita bervisi untuk menjadi sebab bagi kebahagiaan orang lain.

Semoga kita juga bisa menghargai arti sebuah kesantunan tanpa melupakan ketegasan. Kita tetap saja perlu memasang tameng jika musuh menghunus pedang. Bukan membiarkan diri ini tertebas oleh pedangnya. Hanya untuk bertahan.

Hadanallah wa iyyakum. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.

Ramadhan sudah di depan mata, mari siapkan fisik kita.

Surabaya, H-2 Ramadhan
-Nir

Minggu, 26 Februari 2017

Isi Hati dan Pikiran Kita

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang terlalu lembut hatinya dan tidak bisa mengatakan tidak. Hingga mereka seperti lilin, menerangi lingkungan sekitarnya, namun membiarkan dirinya sendiri terbakar habis.

“Kebanyakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita adalah hasil dari apa yang dikatakan oleh orang lain.” [1]


Saya membenarkan kalimat yang dilontarkan oleh Prof. Abdullah Shahab ini. Betapa kehidupan dan sikap kita dalam menghadapi dunia dan merespon manusia sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang kita dengar dari orang lain. Termasuk ketakutan, kesedihan, kemarahan, kebencian, kecintaan, dan lainnya.

Rabu, 18 Januari 2017

Bahkan, Bayanganmu Akan Meninggalkanmu

"Dont depend too much on anyone in this world. Because even your own shadows leaves you when you are in the darksness."

"Jangan pernah bergantung terlalu banyak kepada siapapun di dunia ini. Karena bahkan bayangan milikmu sendiri akan meninggalkanmu saat kamu berada di dalam kegelapan"
-Imam Ibnu Taimiyyah.-

Di antara sebab datangnya kepahitan yang over dosis adalah saat kita berharap terlalu banyak kepada selain Allah. Hingga menjadi ketergantungan.

Berharap kepada:
Ikhtiar.
Ilmu.
Kepintaran.
Kekayaan.
Janji manusia.
Jaminan pensiun.
Pasangan hidup.
Penguasa.
Gubernur.
Presiden.
Guru.
Jin.
Cinta.

Mereka semua tak berhak untuk kita jadikan harapan. Karena hanya Allah yang dijadikan harapan.

"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya."

-Imam Syafi’i-

Sby,
-Nir-

Jumat, 06 Januari 2017

Preambule-Menikmati Kepahitan (1)

Bismillaahirrahmaanirrahiim…

1. “Allah telah mengetahui bahwa engkau tidak dapat menerima nasihat yang hanya berupa teori (kata-kata). Karena itulah Allah membuatmu merasakan pahitnya, untuk memudahkan bagimu cara meninggalkannya. Sebab manusia jika menderita dari ujian-ujian Allah yang berupa bala', maka ia tidak senang dunia, lalu ingin mati, ingin berpisah dari dunia yang fana ini.[1]

2. Merasakan kepahitan adalah suatu keniscayaan dalam hidup manusia. Air mata, rasa sesak, bahkan darah mengiringi perjalanan hidup kita saat melewati fase ini. Ada yang berhasil, namun tak sedikit pula yang gagal dari kepahitan ini yang ditandai dengan hilangnya akal sehat, hilangnya keimanan, atau bahkan bunuh diri.

Yang perlu ditanamkan dalam diri kita adalah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di muka bumi penuh dengan keseimbangan. Ada laki-laki dan perempuan. Ada cahaya dan kegelapan. Ada bahagia dan sedih. Ada iman dan kufur. Ada langit dan bumi. Serta ada manis dan pahit.

3. Namun tabiat manusia cenderung kepada hal-hal yang disenanginya saja. Betapa banyak manusia yang hanya ingin menikmati cahaya tanpa merasakan kegelapan, menari di atas kebahagiaan tanpa pernah merasakan kesedihan, dan menikmati manis tanpa pernah mengecap kepahitan.

4. Pertanyaannya adalah, Mengapa perjuangan itu terasa pahit?

Karena surga itu manis. Dan manis tidak akan mampu dirasakan dan disyukuri oleh mereka yang tidak pernah mau meneguk kepahitan.

“Jalan menuju Allah adalah jalan di mana Adam kelelahan, Nuh mengeluh, Ibrahim dilempar ke dalam api, Ismail dibentangkan untuk disembelih, Yusuf dijual dan dipenjara selama beberapa tahun, Zakaria digergaji, Yahya disembelih, Ayyub menderita penyakit, Daud menangis melebihi kadar semestinya, Isa berjalan sendirian, dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan kefakiran dan berbagai gangguan. Sementara kalian ingin menempuhnya dengan bersantai ria dan bermain-main? Demi Allah takkan pernah terjadi!” [2]

5. Namun demikian, tidak semua kepahitan harus kita rasakan. Untuk mempelajari arti kehidupan, kita tidak harus mengalami seluruh peristiwa agar mengerti. Bagi mereka yang memiliki kepekaan hati yang tajam, dia akan mengalami akselerasi dalam berbagai pelajaran hidup. Mungkin ia cukup merasakan kepahitan sekali saja dari sebuah bab hidup, lalu dia mengambil hikmah, bertaubat atasnya, dan mengembangkan sendiri dalam setiap sendi kehidupannya. Ini adalah kasus spesial yang tidak kebanyakan orang memiliki kemampuan dan kemauan seperti ini.

6. Dan ada sebagian besar di antara manusia yang harus dihadiahi kepahitan lebih dulu. Karena Allah tahu bahwa mereka tidak bisa diselamatkan dari jalan menuju kesengsaraan melalui nasehat berupa kata-kata. Untaian nasehat mulai dari yang halus sampai tegas belum cukup untuk menyadarkan mereka.

Saya meminta maaf, kasus-kasus yang saya sebutkan di bawah ini hanyalah kasus umum. Adapun kasus khusus yang lahir karena pengecualian, bukan masuk ke dalam bahasan ini. Tulisan ini lebih tepatnya sebagai bahan untuk evaluasi diri dan mengukur diri kita sendiri. Bukan untuk mengukur diri orang lain. Karena dikhawatirkan salah vonis jika digunakan untuk mengukur diri orang lain.

a. Bagi mereka yang kewalahan belajar semalaman karena kurang menguasai materi ujian di esok hari, biasanya menyesal karena telah mengabaikan peringatan “pelajari kembali materi sekolah setelah pulang, supaya nanti kalau ulangan tidak terasa berat”.

b. Bagi mereka yang menangisi sebab kegagalannya untuk melengkapi berkas administrasi pengajuan beasiswa, biasanya akan menyesali karena telah meremehkan nasehat “siapkan semua berkasnya sejak jauh-jauh hari. Jangan mepet-mepet”.

c. Bagi mereka yang susah move up (bukan move on ya) dari cinta kepada sesuatu atau seseorang, biasanya akan menyesal karena telah melupakan nasehat “jangan kalah oleh perasaan. Dahulukan iman di atas perasaan.”

d. Bagi mereka yang berlebihan dalam mencintai pasangannya, berhati-hatilah karena bisa jadi Allah akan menghadiahi dirinya berupa “ditinggalkan oleh orang yang dicintai”. Umumnya hal itu terjadi setelah menganggap remeh nasehat “jangan mencintai makhluk secara berlebihan. Dan jangan bersandar kepada manusia. Nanti kalau dia geser, kamu akan jatuh”. Dan akhirnya jatuh sungguhan.

e. Bagi mereka yang mempunyai kolestrol tinggi, biasanya akan menyesal karena membantah nasehat-nasehat “jangan terlalu banyak makan-makanan yang tidak sehat”.

f. Bagi mereka yang melakukan aborsi akibat pergaulan bebas, biasanya akan menyesal karena membantah nasehat “jangan berzina, bahkan mendekatinya pun jangan”.

g. Bagi mereka yang dililit hutang ribawi, biasanya akan menyesal karena membantah nasehat “jauhi hutang ribawi yang mencekik leher” dengan alasan “kalau tidak demikian (hutang ke rentenir), tidak akan pernah bisa beli motor.” Seakan ia tak memiliki Allah saja.

h. Bagi mereka yang hilang akal karena kehilangan junjungan jiwanya dan mengakibatkan jiwanya terguncang, bisa jadi hal itu terjadi karena mereka mengabaikan nasehat “jangan berlebihan dalam menanggapi sebuah perasaan”

i. Dan bagi mereka yang membiarkan anak-anaknya untuk tidak shalat hingga mencapai aqil baligh, kelak mereka akan menyesal karena seakan-akan tak pernah mendengar nasehat Nabi Muhammad “marahi anakmu ketika tidak shalat saat ia berusia tujuh tahun. Dan pukullah dia kalau tidak shalat saaat telah berusia sepuluh tahun” [3]

j. Dan yang kikir untuk sedekah, kelak akan menyesal ketika di muka bumi ini tak akan ada lagi orang yang mau menerima sedekah [4]

k. Dan bagi mereka yang hingga saat ini ngeyel  terhadap nasehat ulama yang lurus, saya khawatir, mereka kelak akan menyesal saat di negeri ini terjadi huru-hara dan kekacauan massal karena telah mengabaikan nasehat para ‘alim ulama. Dan di jaman ini pun mulai banyak yang menyesali pilihan di masa lalu.

Fitnah itu sebelum terjadi, para ulama mengetahuinya. Setelah terjadi, orang-orang awam baru mengetahuinya“. [5]

Di atas adalah sekelumit contoh yang sering kita jumpai di dalam kehidupan. Sekali lagi, tulisan ini hanya mengevaluasi diri kita sendiri.

7. Begitulah. Nasehat-nasehat yang diberikan kepada mereka tidak mempan. Maka jangan salahkan Allah jika Dia bekerja dengan cara-Nya sendiri. Semua itu dengan tujuan agar kita selamat dari kesengsaraan di dunia dan akhirat.

8. Bagi para pecinta dunia, nasehat-nasehat berupa teori sulit mempannya. Terkadang, kejadian yang pahit merupakan cara yang paling efektif untuk menyadarkan kita untuk kembali menuju Allah. Semoga Allah mengampuni kita jika kita termasuk di dalamnya.

9. Seringkali, kita meminta kepada Allah agar diberikan solusi ketika kepahitan datang melanda. Padahal, Allah-lah solusi dari setiap masalah. Maka mengapa kita tidak meminta agar bisa berdekatan dengan-Nya saja?

Untuk sementara ini, tulisan ini menjadi pembuka dari pembahasan kita tentang Menikmati Kepahitan. (sudah 3 halaman Microsoft Word nih). Insya Allah selanjutnya kita akan membahs lebih lanjut.

Surabaya, 6 Januari 2017/ 8 Rabiul Ats Tsani 1438 H.

Referensi:

[1] Kitab Al Hikam poin 242 karya Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari. Dikuatkan juga dengan dibacakan dalam kajian Kitabul Hikam oleh K.H. Abdullah Gymnastiar.

[2]  Banyak beredar di internet dan dinisbatkan kepada Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Kitab Al Fawaid.

[3] HR. Abu Daud no 495 dengan sanad hasan. Redaksi tepatnya adalah, “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia karena (meninggalkan)nya pada usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.”

[4]Shahiih al-Bukhari , kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab az-Zakaah, bab Kullu Nau’in minal Ma’ruuf Shadaqah (VII/97, Syarah an-Nawawi).


[5] Dinisbatkan kepada Imam Hasan Al Bashri sebagaimana disebutkan di dalam muslim.or.id bahwa atsar ini shahih.

Senin, 02 Januari 2017

Saat Hati Gerimis

Bacaan Quran oleh Kang Yusuf, menantu dari K.H. Abdullah Gymnastiar, ini memang terdengar menyejukkan. Cocok untuk membasuh hati yang sedang terluka, mengecap kepahitan, atau pikiran yang dipusingkan oleh dunia ini. Sayangnya, kumpulan murattal beliau ini masih belum bisa temui dalam bentuk audio ataupun video.



Jika kesedihan datang membungkus jiwa, maka dengarkan atau bacalah Al Quran dengan penuh penghayatan. Bukan justru larut dalam galau yang kekanakan tanpa faidah. Jika terpaksa harus galau, maka pilihlah galau yang berkelas

Melangkah ke Depan

Sepahit dan seindah apapun masa lalu, kita akan tetap berjalan menuju masa depan.


Kadang kita harus bertemu dengan orang-orang yang berkesan dan harus berpisah darinya juga dengan kesan yang membekas indah dalam memori. Hanya ada dua batas di antara kita semua, waktu dan takdir.


Maka melangkahlah menuju masa depan dengan gagah. Meski kadang hati terluka. Meski linangan air mata terkuras habis.


Karena keniscayaan dari-Nya sangat mungkin untuk mempertemukan kita kembali di masa depan. Dengan aku yang semoga lebih baik. Dan kamu yang semoga lebih baik. Allah Menguasai segala sesuatu.


Tempat: Kampoeng Anggrek, Kediri.

#tegardalamhijrah
#tawakkal
#semangatlangit