Judul : Permata dalam Lumpur
Penulis : Satria Nova dan Nur Huda
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Jumlah Halaman : 211
Tahun Terbit : Cetakan 1
Rabu, 12 Oktober 2011
Penulis : Satria Nova dan Nur Huda
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Jumlah Halaman : 211
Tahun Terbit : Cetakan 1
Rabu, 12 Oktober 2011
Dua hal yang bertolak belakang, bisa dikatakan berlawanan, paradoks, belum tentu akan saling membunuh satu sama lain jika bertemu. Bahkan pada keadaan tertentu, keduanya bisa saling berjalan beriringan yang bisa membuat kita terheran-heran. Bergandengan, membuat kita takjub. Melalui buku Permata dalam Lumpur, penulis ingin mengungkapkan fakta tersebut di Gang Dolly.
“Kawan, yakinlah bahwa setiap jengkal langkah kita menuju tempat ini, ada seruas senyuman yang senantiasa menanti kehadiran kita”
Siapa yang tidak pernah mendengar kata Dolly? Dan apa hal yang pertama kali terpikirkan ketika Anda mendengar kata tersebut? Sebagian besar orang akan berfikir tentang sebuah wilayah prostitusi terbesar se-Asia Tenggara. Sebuah tempat luas yang menjadi ladang bisnis (maaf) esek-esek. Memang demikian adanya. Untuk menikmati pelayanan di sana hanya perlu kesepakatan. Ya, kesepakatan. Bukan harga. Namun, siapa sangka di dalamnya penuh dinamika kehidupan yang penuh ironi, paradoks, lucu, menggemaskan, keceriaan, dan tragedi?
Saya juga pernah diajak penulis (Satria Nova dan Nur Huda) untuk ikut mengajar anak-anak di sana. Saya menyaksikan langsung dan apa yang mereka tulis di buku ini benar.
Dolly, sebuah nama daerah yang konon namanya diambil dari seorang Tante Belanda. Dia tinggal di pemukiman penduduk biasa. Kemudian wanita itu menjalankan bisnis prostitusi dan laris. Sayangnya, penduduk setempat menirunya. Dan jadilah lokalisasi tersebut.
Kedua penulis mengaku menjadi “pelanggan” daerah tersebut. Bukan untuk menumpahkan cairan hina kepada Pekerja Seks Komersial (PSK) di sana, tapi untuk mengajari anak-anak kecil yang ada di sana. Walaupun anak-anak tersebut nakalnya minta ampun, tapi mereka tetaplah anak-anak. Malaikat-malaikat kecil yang butuh bimbingan, kasih sayang, dan perhatian. Di balik kenakalan mereka ada kecerdasan yang tak terlihat, di dalam kerasnya sifat mereka ada keceriaan yang tak dapat disembunyikan. Mereka hanya anak-anak, yang tidak memilih untuk dilahirkan di lingkungan prostitusi.
Sayangnya, Dolly memperlihatkan banyak hal yang belum dan tidak akan pantas untuk disaksikan oleh malaikat-malaikat kecil tadi. Contohnya ketika seorang adik binaan pernah melihat ibunya hanya mengenakan handuk ketika sedang bersama laki-laki yang tidak dikenalnya. Bahkan maksud baik Dewi membangunkan temannya pun, mendapat jawaban “misuh” khas Surabaya dari kakak temannya tadi.
Dolly, berbagai kisah pilu dan aneh terjadi di sini. Bersama teman-temannya, kedua penulis berjuang untuk mengajari malaikat-malaikat kecil tersebut. Panas terik matahari dan dinginnya guyuran hujan tak membuat mereka kapok untuk membuat mereka menjadi “pelanggan” setiap minggu di sana. Malah sebaliknya, adanya rasa haru dan bangga ketika malaikat-malaikat tadi mencium tangan mereka dan memberi ucapan salam.
Walaupun tanpa gaji, tanpa imbalan, dan tanpa iming-iming materi. Mereka tetap mengajari anak-anak itu tentang agama, akhlak, matematika, dan sebagainya. Meskipun sebenarnya mereka penulis dan teman-temannya tahu, dengan mereka ajari anak-anak itu tidak lantas memberi kepastian bahwa nasib malaikat-malaikat kecil itu akan menjadi baik. Ada ketidak pastian. Namun pengajar-pengajar di sana yakin, seberapa besar ketidakpastian itu, akan tetap ada secercah harapan untuk membuat anak-anak tak berdosa itu lepas dari kehidupan prostitusi ini. Berharap prosititusi akan menjadi sejarah dan segera menjadi peradaban yang mulia.
Dolly, siapa sangka di daerah tersebut manjemennya sangat rapi. Bahkan lebih rapi dan terkoordinasi dengan baik dibanding manajemen beberapa lembaga dakwah di jurusan yang ada di ITS. Mereka mempunyai peraturan unik. Saat adzan berkumandang dari sebuah musholla, wisma yang tepat berada di depannya mematikan dentuman musik.
Omset untuk usaha di sana mencapai milyaran rupiah per bulan. Saat Ramadhan tiba, semua kegiatan di wisma harus berhenti. Untuk menghormati. Intinya, saat Ramadhan waktunya wisma direnovasi. Ramadhan pergi, saatnya beraksi lagi.
Dolly, penuh kisah pilu. Melati, adalah salah satu dari banyak PSK yang disasarkan temannya bekerja di situ. Alasannya klasik, masalah ekonomi dan menghidupi keluarga. Mereka yang benar-benar tersasar mempunyai tekat untuk berhenti menjajakan tubuhnya kepada lelaki hidung belang. Melati ingin mendirikan usaha kecil-kecilan.
Dolly, sebuah cerita yang kompleks. Bukannya merazia PSK, tapi malah dirazia PSK. Kartono yang dulunya germo atau mucikari, kini justru menjadi aktivis yang berusaha menstop berkembangnya daerah tersebut. Catur, seorang bocah kecil mampu mengalikan dua angka tanpa sedikit pun coretan.
Ini bukan sebuah cerita hisapan jempol. Bukan pula scenario dalam sinetron. Tapi sebuah paradoks yang terjadi saat banyak kalangan jutawan yang sibuk memperkaya diri, sebuah ironi di antara kemegahan kegiatan-kegiatan besar yang kurang manfaat. Dolly, kapan kau akan menjadi sejarah masa lalu?
Surabaya, 2 Dzulkaidah 1434 H/ 8 September 2013 M
Resensi ini saya tulis ketika dapat tugas dari Tim Redaksi ITS Online dalam penerbitan majalah ITS POINT. Namun ketika saya muat di blog ini sedikit saya revisi dengan berbagai pertimbangan.
Resensi ini saya tulis ketika dapat tugas dari Tim Redaksi ITS Online dalam penerbitan majalah ITS POINT. Namun ketika saya muat di blog ini sedikit saya revisi dengan berbagai pertimbangan.
0 komentar:
Posting Komentar