Minggu, 08 September 2013

Pelajaran dari Pengamen Bis

sumber foto: http://momonsudarma.blogdetik.com/index.php/2010/01/pengamen-penghiburku-dan-guruku/

Anda pernah naik bis kota tarif biasa atau kereta api ekonomi? Terkadang jika beruntung, kita akan bertemu dengan mereka yang menjual suara (pengamen, red). Jika demikian, apa yang Anda rasakan? Beberapa orang di sekitar saya bermacam-mcam reaksinya. Ada yang senang karena terhibur, jengkel karena terganggu, bahkan ada yang pura-pura tidur. Belakangan saya tahu ternyata para pengamen juga membuat sebuah lagu untuk menyindir para penumpang yang pura-pura tidur ketika mereka datang.



Kalau saya sendiri sih, tergantung bagaimana sikap mereka. Tapi biasanya senang, lumayan untuk mengisi waktu perjalanan. Di antara mereka ada yang suaranya merdu dan ada juga yang cempreng. Ada yang kaku dan ada yang interaktif dengan para penumpang. Nah, yang merdu, interaktif, dan kreatif yang saya suka (semua orang juga pasti suka rasanya).

Dulu, saat saya sering melakukan perjalanan Kediri- Surabaya atau sebaliknya, saya bertemu para pengamen tersebut. Dalam suatu perjalanan yang saya lupa itu kapan, saat terik matahari begitu menyengat, deru mesin mengisi kesunyian bis saat banyak penumpang yang tidur, saya hanya melihat jalanan sambil bersandar di kursi.

Saya jadi teringat saat saya masih sekolah menengah pertama di Surabaya. Setiap saya masuk siang, saya sering naik bis. Hampir selalu penuh, sehingga saya sering tidak dapat tempat duduk. Di saat inilah banyak pengamen masuk ke bis. Biasanya lagu yang sering dibawakan mereka Kisah Kasih di Sekolah atau Kisah Sedih di Hari Minggu. Remaja banget, kan?

Oke deh, kembali ke perjalanan saya dari Kediri-Surabaya. Kita tinggalkan ingatan saya di jaman seragam putih-biru. Seorang pengamen masuk ke dalam bis. Dengan gitar yang disilangkan pada bahunya dengan tali, ia mengucap salam dan menyampaikan maaf jika mengganggu nikmatnya perjalanan para penumpang. Jujur, mungkin terkadang mereka (para pengamen, red) lebih sopan dan santun dibanding beberapa orang yang saya temui namun mengaku sebagai akademisi.

Dia mulai memetik gitar. Gonjrang-ganjrengnya mulai terdengar beradu dengan deru mesin bis yang sudah tidak lembut lagi, ramai jalanan, desau angin, dan teriakan kernet bis. Justru di sini asyiknya. Sangat natural sekali, sangat hidup, dan mengalir secara spontan. Dia mulai melantunkan lagu sembari mengambil nafas dalam-dalam, menunduk, menengadah, lalu menatap penumpang dengan mata sayu dan lelah. Saya mendengarkan, lagu baru nampaknya. Bukan lagu-lagu yang sering dibawakan penyanyi ibu kota.

Mengapa begitu berat
jalankan segala perintah-Mu
Begitu banyak rintangan
Tuk mengarahkan wajah
bersujud kepadamu Tuhan
wooo ooo

Saya menebak ini lagu renungan. Bis masih sampai di Jombang. Jalanan kota itu macet, debu-debu berterbangan. Sepertinya kota ini sedang sibuk-sibuknya. Lagu berlanjut.

sumber foto: m.okezone.com
 Indahnya dunia ini
membuat orang terlena
Bekerja terus bekerja
Tak kenal waktu dan tak kenal lelah
hoooo

Gema adzan Subuh, aku lelap tertidur
Gema adzan Dhuhur, aku sibuk bekerja
Gema adzan Ashar, aku geluti dunia
Tuhan, pantaskah surga untukku

Saya lihat pengamen itu, dia terus menyanyi melawan suara mesin. Saya tengok penumpang lain di bis itu, beberapa tertegun. Saya sendiri kini menerawang jauh. Membayangkan masa-masa sunyi.

Gema adzan Subuh, aku lelap tertidur
Gema adzan Dhuhur, aku sibuk bekerja
Gema adzan Ashar, aku geluti dunia
Tuhan, pantaskah  surge untukku

Gema adzan Maghrib, aku di perjalanan
Gema adzan Isya',lelah tubuhku Tuhan
Tak pernah lagi ku baca firman MU
Tuhan tolonglah hambamu uuhuu
TuhanGema adzan Subuh, aku lelap tertidur
Gema adzan Dhuhur, aku sibuk bekerja
Gema adzan Ashar, aku geluti dunia
Tuhan, pantaskah surga untukku

Gema adzan Subuh, aku lelap tertidur
Gema adzan Dhuhur, aku sibuk bekerja
Gema adzan Ashar, aku geluti dunia
Tuhan, pantaskah surga untukku

Gema adzan Maghrib, aku di perjalanan
Gema adzan Isya',lelah tubuhku Tuhan
Tak pernah lagi ku baca firman MU
Tuhan tolonglah hambamu uuhuu
Tuhan

Menusuk. Lagu habis, begitupun dengan suara mas pengamen itu. Hanya genjrengan musik yang terdengar. Tiba-tiba tubuh saya merinding. Tiba-tiba segala kesibukan jalanan Jombang yang terlihat di depan saya menjadi hampa. Dan tiba-tiba… ada yang basah di sudut mata saya. Menangis? Ini hanya terkena asap kendaraan yang masuk bis lewat jendela kok. Sedih? Rahasia saya donk.

Yang terpenting lagu ini mampu mengajak saya berimajinasi pada suatu waktu dan tempat yang dingin, sunyi, tenang, jauh dari hingar-bingar kehidupan, dan terhindar dari keglamoran dunia. Tapi dimana? Rupanya saya lebih sering berusaha mencari kebahagiaan itu di luar diri saya sendiri. Padahal ia ada di dalam diri kita sendiri.

Musik telah habis. Sang pengamen ini berterima kasih kepada kami dan lagi-lagi menyampaikan permintaan maaf apabila mengganggu perjalanan para penumpang. Ia melanjutkan

Satus rong atus kami terima
Yang penting ikhlas bagi Anda
Halal bagi kami
Daripada kami jadi copet di jalanan
Lebih baik kami ngamen di jalanan
Dari pada kami pergi ke dukun untuk minta pesugihan

Atau melihara tuyul
Lebih baik kami ngamen di jalanan
Bila Anda tak ada uang, maka tak apa-apa
Permen pun kami terima
Dan Anda beri senyuman pun kami juga tetap senang


Terkadang kita perlu belajar pada mereka tentang perjuangan hidup. Tapi sekarang saya sudah jarang bertemu mereka lagi. Karena sekarang sudah ada bis baru yang semuanya Patas ber-AC dengan jalur baru langsung menuju rumah saya. Beda dengan dulu, saya harus mampir ke kota Kediri lebih dahulu.

Surabaya, 2 Dzulkaidah 1434 H/ 8 September 2013 M

sumber foto: momonsudarma.blogdetik.com/index.php/2010/01/pengamen-penghiburku-dan-guruku/

0 komentar:

Posting Komentar