Sabtu, 31 Agustus 2013

Sekeping Jati Diriku dari Wartawan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCHzHxQWorrn5xeCbz3DG7HonUca0D6vAaCQU8d1QWNgEEwtobRDamCVMiQ6uZ2lB-K_GaYUKiQC1XtxOOx0gBO2RLEvfLeKNlD7XJ1fW_9pM73fSo_G8SJSSwjcOSOEesV6F_bo-gq3kr/s200/jati+diri.jpeg

Dari dulu hingga sekarang, saya selalu saja suka tentang hal-hal yang berhubungan dengan pencarian jati diri. Entahlah, saya tidak tahu apa sebabnya. Tapi setiap kata itu saya temui, saya selalu tertarik. Bagi saya, pencarian jati diri tidak akan pernah berhenti. Karena setiap kali kita hidup dalam sebuah fase kehidupan, kita akan mengenali siapa diri kita sebenarnya jika kita memang merenungkannya. Semakin dalam kita merenung dan berfikir, semakin dalam perkenalan kita dengan diri sendiri.

Ada banyak orang yang tidak mengenal dirinya sendiri. Dia tidak tahu sebenarnya apa yang dia inginkan untuk dirinya sendiri. Sehingga dia sibuk ke sana dan ke sini untuk mencari kebahagiaan. Karena itulah, saya selalu tertarik dengan semua hal yang berkaitan dengan pencarian jati diri.

Bagi saya, dengan melakukan pencarian jati diri, kita dapat menemukan di mana nilai dari diri kita. Seberapa kuat saya menanggung beban yang Dia berikan kepada saya. Sejauh mana kaki saya masih bisa melangkah. Sederas apa terjangan ombak yang dapat saya tahan. Hingga titik nadir yang seperti apa saya mampu bertahan atas semua yang menjadi bagian hidup saya. Dengan mengenali siapa diri saya, sekuat apa saya, selemah apa saya, secerdas dan sebodoh apa saya, saya dapat mempersiapkan masa depan dengan lebih matang.

Dengan mengenal jati diri, saya dapat mengetahui sebenarnya apa yang Dia kehendaki untuk saya. Karena selama ini saya lebih sering meminta apa yang saya inginkan. Karena semangat ini pula, aku tertarik dengan sebuah tulisan yang berjudul Pencarian Jati Diri dengan Menjadi Seorang Wartawan. Hanya judulnya saja yang saya baca. Saya tidak tahu apa isi tulisannya. Saya juga tidak mengenal siapa penulisnya, lebih tepatnya lupa. Gila bukan?

Lalu dengan tiba-tiba, saya ingin menjadi seorang wartawan. Begitu ada open recruitment reporter website kampus, ITS Online, saya ingin mendaftar. Semangat saya saat itu, ingin memuaskan rasa penasaran bagaimana menemukan jati diri dengan menjadi seorang wartawa. Aneh bukan? Saya sendiri juga merasa aneh. Saya belum baca tulisan dan belum kenal siapa penulisnya. Lalu kenapa tiba-tiba saya mencoba sesuatu yang belum pasti mampu mengantarkan saya untuk menemukan jati diri saya.

Saat saya sudah menyiapkan berkas untuk mendaftar keperluan open recruitment, ada satu yang kurang, do’a bunda. Saat saya datang ke beliau, beliau tidak mengizinkan dengan alasan ingin saya fokus di akademik terlebih dahulu. Saat itu, saya masih mahasiswa baru, masih terlihat polos, dan selain kuliah, saya juga masih berkutat pada kegiatan pengaderan. Di ITS, pengaderan adalah kata yang sakral, kawan. Jangan sekalipun macam-macam dengannya. Karenanya, seorang rektor bisa didemo, seorang kahima bisa dimakzulkan, dan sebagainya.

Sebenarnya kecewa. Sangat kecewa bahkan. Tapi saya sejak kecil sudah diajari bahwa ridha ibu sangat penting, maka saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka mulai saat itu saya sering berdo’a kepada-Nya.

Ya Allaah, atas nama cinta kepada-Mu dan bakti kepada ibu, aku tidak jadi mendaftar di ITS Online untuk saat ini. Tapi Ya Allaah, tolong beri aku kesempatan agar dapat bergabung di sana di tahun depan. Karena hanya tahun depan saja kesempatanku. Tidak ada kesempatan berikutnya.

Do’a itu, saya baca berulang kali. Dan Alhamdulillaah, setahun berikutnya, saya masuk diterima menjadi reporter junior di sana. Tentunya setelah melewati proses seleksi yang cukup ketat, sekitar dua bulan. Justru saya diterima bersamaan dengan sahabat saya, Mu'izz.

Di peristiwa ini, di awal saya diterima menjadi kru ITS Online ini, saya sedikit menemukan bagian kecil dari jati diri saya. Bahwa cita-cita yang kita yakini benar, memang harus kita perjuangkan hingga titik nadir, sampai kita lelah, sampai lelah menjadi kelelahan sendiri karena mengejar kita yang tak kenal lelah. Bahwa semua yang tidak mungkin bisa diperjuangkan hingga menjadi mungkin. Sampai kita payah.

Saya juga menyadari, bahwa bakti pada orang tua atas nama cinta pada-Nya juga mampu memngantarkan kita pada cita-cita yang kita idamkan. Bagian kecil dari pencarian jati diri di awal menjadi seorang wartawan (Januari 2010) media kampus telah saya temukan. Semoga ada bagian-bagian jati diri yang akan kutemukan di masa depan saya. Dan kawan, lain kali akan kuceritakan padamu serunya di ITS Online, Insya Allaah.

0 komentar:

Posting Komentar