Jumat, 23 Agustus 2013

Yang Terkenang Dariku (Surat untuk SC RDK)

Surat dari Seorang Alumni SC RDK
Untuk SC RDK JMMI ITS

Sahabat, aku ingin bercerita padamu. Kau ingin tahu tidak? Ah, kau memang selalu saja ingin tahu urusan orang. Tenang saja. Karena penasaran itu menyakitkan dan aku tak ingin menyakitimu, baiklah, akan aku ceritakan. Tapi janji ya, nanti nggak ada kalimat,” Kok curhat?” dengan nada PH atau pun PWK.

Suatu kala, di jaman antah berantah. Saat Semar masih berkawan dengan Gareng. Ah, maaf. Aku salah menceritakan kisah. Baik, aku akan serius. Ada orang yang memiliki kemampuan untuk mengamati berkas-berkas cahaya yang menerangi hidupnya lalu menyimpan cahaya itu untuk ia gunakan saat berada dalam kegelapan. Tingkat kemampuan untuk menyimpannya berbeda-beda.


Ada yang mampu menampung banyak cahaya, ada yang sedang, sedikit, bahkan ada yang tidak mampu menyimpan cahaya itu sama sekali hingga hidupnya selalu penuh dengan kegelapan. Sehingga ada orang yang kemarin salah dan terperosok ke dalam lubang, namun hari ini dia belajar dari masa lalu dan kini ia selamat. Tetapi ada juga yang kemarin terperosok ke dalam lubang, dan hari ini juga kembali masuk ke dalam lubang. Parahnya, lubang itu sama.

Aku termasuk orang yang senang mengamati kehidupan yang terjadi di sekitarku. Bahkan karenanya, aku sering mengumpulkan data-data berupa peristiwa, lalu membuat perhitungan dan prediksi-prediksi apa yang akan terjadi di masa datang.

Saat aku masih menjadi Organizing Comitee (OC). Mendengar namanya saja sudah terlihat elegan, bukan? RDK ’31, aku mengamati kinerjaku dan para SC RDK ’31. Dan ketika aku telah berhasil membuat kesimpulan dari realita yang terjadi, aku langsung bertekad tak akan mau mendaftar ataupun dipilih menjadi SC. Bahkan hanya sekedar membantu struktur kepanitiaan RDK lagi saja aku berpikir ulang. Apapun itu alasannya.

Tapi ternyata, bagaimanapun pena telah mengering. Lembaran-lembaran telah dilipat. Kurang lebih setahun kemudian, ternyata tanpa sadar aku sendiri yang justru memasukkan diri ke dalam mulut buaya. Bagaimana bisa? Saat itu aku ada perlu dengan Mas Muhammad (Sekjend KSD JMMI) dan mencarinya. Begitu ketemu, beliau menawarkan kerja sama untuk solusi masalahku tersebut. Apa itu? Dia akan membantuku jika aku menjadi SC RDK ’32. Wah, nggak perlu repot-repot nyari anak ini, ternyata dia malah datang sendiri. Sekarang susah deh ente buat nolak. Mungkin itu batinnya. Ada pepatah Jawa Ula marani gepuk. Ya itulah aku saat itu. Sudah menyerahkan diri, tidak punya kekuatan untuk membela diri. Tragis.

Bayang-bayang mengerikan melintas di kepala. Harusnya aku bisa berkonsentrasi kuliah, bukan dengan konsep-konsep kagiatan lagi. Memperbaiki nilai dengan menambah waktu belajar. Ya walaupun catatanku lengkap kawan, full. Tapi masalah  nilai merupakan hal yang sensitif bagiku. Meski aku tak pernah mengalami kecelakaan sejarah dalam memilih jurusan, setidaknya di atas kertas, aku masih belum mampu menggapai cita-cita dalam nominal nilai.

Dan yang pasti, karena saat itu sudah dekat dengan Evaluasi Tengah Semester, maka sudah saatnya siap sedia ramuan anti ngantuk untuk melakukan ritual rutin, SKS. Bukan Satuan Kredit Semester yang aku maksudkan. Tapi sistem kebut semalam. Beberapa rumus dihafalkan sekaligus. Itu masih mending. Belum lagi Jeratan erat akademik yang mencekik leher, tugas-tugas kuliah menumpuk segudang yang membuat perut menjadi mual, soal-soal ujian yang membuat otak menjadi kriting. Tapi sekali lagi itu masih mending.

“Kalau aku mah bukan semalam. Tapi sistem kebut sejam,” kata teman sejurusanku sambil nyengir. Mendengarnya aku ikut nyengir. Untunglah tidak mirip kuda. Sial, dia nyindir nih. Lebih baik aku bungkam. Sebenarnya selalu ada sesal ketika melakukan ritual yang sangat tidak dianjurkan tersebut. Guru SD-ku selalu mengajariku untuk menyicil belajar setiap pulang sekolah, dosenku selalu mengingatkan untuk mengerjakan soal. Tapi tampaknya SKS terlanjur mencuri hati, sehingga tak lengkap rasanya tanpa ber-SKS ria. Andai kau tahu kawan,ini cuman alibi untuk membela diri!

Perkara IP termasuk perkara yang sensitive bagi sebagian mahasiswa. Entah kenapa. Aku pernah menjumpai beberapa mahasiswa mengalihkan pembicaraan ketika ditanyai IP. Bahkan ada di antara temanku yang memasang profile pictute di facebooknya dengan tulisan “Hanya Tuhan dan orang tua gue yang boleh menanykan IP gue.” Setiap orang memiliki pola pikir yang berbeda-beda.

Masih kuingat dulu ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di ITS ini. Ketika itu, sifat polosku menjelajah alam mimpiku untuk menorehkan sejarah emas di sini. Lulus dengan predikat cumlaude, diskusi panjang mengenai teorema-teorema ketidakpastian dan kemungkinan dengan para professor yang terhormat. Cetak birunya membuat semangat di dada bergelora. Ah sudah-sudah, untuk masalah ini kau tak perlu banyak tahu. Cukup sampai di sini saja.

Bayangan lain, liburan terganggu. Harusnya aku bisa berkeliling ke daerah-daerah yang asing bagiku. Menjelajah sudut-sudut Pulau Jawa yang belum pernah kusinggahi, mempelajari budayanya. Harusnya aku bisa bersantai ria menikmati sejuknya udara kampong halaman yang telah lama kurindu. Bukan dengan panas terik matahari karena mencari alamat sponsor dan donatur. Bukan pula melakukan diskusi alot untuk meyakinkan pihak sponsor agar mau menjadi sponsor kegiatan RDK. Itu masih awal, kadang kita harus lumutan dulu untuk mendapatkan jawaban dari mereka. Itu masih antara hitam dan putih. Ya atau tidak.

Belum lagi Pontang-panting merevisi proposal, dericit suara printer yang memekakkan telinga untuk mencetak dokumen, lari kesana kemari untuk mempersiapkan acara, Membayangkannya saja aku sudah merasa ngeri. Aku harus mempunyai pil anti bosan syuro’. Dan satu lagi, nyamuk sekpa/i dan manarul. Untuk ini karakter nyamuk berbeda, bung. Penasaran? Karena penasaran itu menyakitkan, dan saya tak ingin menyakiti hati saudara saya, okelah. Ah, kau selalu saja ingin tahu kawan.

Nyamuk sekpa, namanya juga bermukim di sekretariatnya JMMI, cenderung lebih santun dan bersahabat. Dengan cepat mereka bisa diajak untuk kompromi. Yang agak ganas, nyamuk sekpi. Mungkin karena lebih sering gelap. Dan yang paling gila, nyamuk manarul. Ganasny jangan ditanya. Mereka rakus darah. Mereka memang tipe-tipe gembong darah. Tak peduli korbannya sudah kurus atau masih subur, hajar!!! Prinsip mereka, kriminalitas ada bukan hanya karena niat, melainkan juga kesempatan. Loiton anti nyamuk saja kadang tak mempan. Pernah temanku waktu tidur, kakinya berubah menjadi hitam. Bukan karena habis masuk ke selokan, tapi menjadi sarang nyamuk. Hiiii….

Lama aku terjebak dalam pikiran-pikiran itu, Mas Muhammad nyeletuk, “Yaaa, sebenarnya, ente jadi ataupun nggak jadi SC RDK, Insya Allah ane akan tetep bantu kok, Nand. Perlu waktu untuk berfikir?” Tawaran bijak. Spontan aku mengangguk. Lumayan, butuh waktu untuk mencari alasan menolak.

“Berapa lama?” Kujawab sepekan.

“Lama banget, Nand?”

“Kan harus mantep dulu, mas kalau menentukan pilihan,” beliau berfikir sebentar.

“Boleh deh,” percakapan dilanjutkan mengenai masalahku. Namun transaksi belum usai.
*****

Di rumah, aku mondar-mandir ngalor ngidul, ngetan ngulon tak jelas sambil memikirkan RDK. Jujur saja, bayangan-bayangan seram yang muncul tadi mempengaruhi pertimbanganku. Parahnya, bayangan seram yang tadi belum terpikirkan, malah melintas di kepalaku dan semakin memperbanyak perbendaharaan alibiku yang akan kusampaikan atas penolakan ke Mas Muhammad. Apalagi aku mulai pesimis dengan lulus berpredikat cumlaude dapat kuraih.

Tidak, tidak! Aku harus tegas. Tidak semuanya bisa kuterima. Saatnya aku berani untuk mengucapkan tidak! Ya, inilah saatku. Stop dari himpunan di jurusan, stop dari lembaga Dakwah Jurusan Fosif, stop dari kegiatan-kegiatan yang tidak aku minati dan tidak ada hubungannya dengan kuliah. Keluarga, kuliah, media JMMI, dan reporter ITS Online yang saat itu ingin aku fokusi. Ya, aku harus tegas!

Tapi iming-iming berkah yang ada, juga bergelayut di otakku. Berkah yang didapat dari bulan yang penuh berkah, begitu orang-orang menyebutnya. Selain itu, janji Allah yang dijanjikan-Nya juga bergema di telingaku.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Firman itu yang sering dibacakan oleh pembicara, ulama, dan orang-orang yang mengajak untuk berdakwah. Sebuah janji yang tak kasat mata, tapi aku yang sejak kecil diajari untuk meyakini semua yang berasal dari Al Qur’an tidak meragukannya. Hatiku mulai luluh.
Tapi bukankah kuliah juga merupakan amanah dari orang tua dan masyarakat? Bukankah jika itu tidak terpenuhi maka akan mendzhalimi banyak pihak? Dan bagaimana jika tiba waktuku untuk dihisab segala amal perbuatanku nanti? Yes, aku menemukan titik terang bagaimana untuk menolaknya. Maka aku sedikit bisa tersenyum karena aku akan menolak amanah itu. Sebuah pesan singkat masuk di hapeku.

    …Para calon SC RDK ’32, ana tunggu jawaban antum maks hari ini ya. Monggo dipikir matang2…
    Pejalanan masih panjang, tenang aja masih bisa nego… He.. He.
    Semoga jawaban antum semua membuat ana tersenyum.
    Kalo masih mau diskusi, bias sama ana.

Iya, mas. Sampeyan tersenyum bahagia dan aku tersenyum kecut.
   
Tapi beberapa saat kemudian, nuraniku mengusik. Memangnya apa yang telah kulakukan untuk Allah dan agama-Nya? Siapa aku, seberapa banyak yang kamu usahakan untuk-Nya? Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya saja tetap berjuang di jalan dakwah meskipun sudah banyak yang mereka lakukan. Walau jaminan surga sudah mereka kantongi.

Aku dilema. Aku jadi teringat kata Mas Bahtiar Rifai Septiansyah,  saat itu kalau dakwah, ada atau tidaknya aku akan tetap berjalan. Tidak ada pengaruhnya apa-apa. Tetapi apakah aku akan mau hanya menjadi penonton saja? Bukankah Zinedine Zidane menjadi pemain termahal dan terbaik karena dia menjadi pemain di tengah lapangan? Bukankah Shalahuddin Al-Ayyubi dan generasinya mampu membebaskan Jerussalem karena mereka ikut turun di medan perang, bukan hanya sebagai pengamat perang?
Maka, sebelum aku beristikharah, seperti yang kujanjikan pada Mas Muhammad, aku sudah tahu akan menjawab apa sama Mas Muhammad. Maka segera kutulis sebuah pesan singkat di hapeku.

Bismillaahirrahmaannirrahiim…
Mas Muhammad,
Saya terima SC RDK ’32. Trm ksh.

Tak lama berselang, sms balasan masuk.
   
 Alhamdulillah…
    Jazakumullah akhi…
    Insya Allah amanah ini bermanfaat untuk antum.

Ada emoticon tersenyum di dalam pesannya. Haruskah aku tersenyum?
*****
“Jadilah seperti yang Allah kehendaki, bukan seperti yang kita inginkan,” (Ustadz Yusuf Mansyur)

Apa yang dulu aku anggap buruk, ternyata tidak semuanya benar. Begitupun juga dengan apa yang kuanggap baik. Belum tentu. Cepat sekali keadaan berubah. Mereka yang dulunya mulia, menjadi hina hanya dalam sekejap. Mereka yang dulunya berkuasa menjadi terjajah, hanya dalam sekedip mata. Begitu juga aku yang dulunya sangat menghindari RDK, kini dipaksa untuk menjadi pengsung RDK garda depan. Dan anehnya, malah tahun depannya aku juga menjadi salah satu pendampingnya.

Pada akhirnya akulah yang malah yang bersyukur karena bertemu dengan orang-orang yang beragam. Terlebih lagi SC RDK ’32, Fahad, duo bersaudara Mu’izz dan Fathul,  Toto, Cak Duk, Zainal, Puji, Uul, Yani, Dinar, Yufita, Iffah, dan Ayu. Kadang ada tawa, ada bara emosi, ada senyum, ada beda pendapat, ada tetesan air mata, ada kesal, dan yang penting ada ukhuwah yang kami rasakan. Ya, bersama mereka aku banyak belajar. Bersama mereka aku belajar saling mengerti karakter. Bersama mereka untuk pertama kalinya aku dipanggil dengan “Pak!”. Lho? Opo hubungane?

Takkan pernah kulupa kenangan itu, Insya Allaah. Saat membuat sketsa tulisan RDK 32 dan JMMI dari tubuh nyamuk yang dibantai tanpa ampun Mas Agus (Kadept HuGa 1011). Saat beliau juga membangunkanku tengah malam, pulu dua dini hari untuk menggoreng kembali bebek goreng agar tetap hangat dan tidak basi saat dihidangkan kepada jama’ah sahur. Pakai kompornya Cak Jo. Sudah ijin kok. Saat masuk angina kronis akibat jalan-jalan di Jembatan Mer bersama panitia RDK lainnya. Saat Saat diskusi seru tentang Buku Jilbab dengan Mas Agil (Kadept KD 1112). Saat membahagiakan itu, saat burung-burung berkicau di pagi Manarul, saat semburat jingga menghiasi atap tempat kami melakukan syuro’, saat yang merindukan itu, Insya Allaah takkan terlupa.

Dan benar rasanya kata salah seorang dosenku. “Jangan berharap jadi orang besar jika kualitasmu masih kualitas orang kebanyakan. Jangan jadi pemimpin jika levelmu masih level umat,”

Mereka yang tertulis dalam sejarah, bukanlah orang-orang kebanyakan. Saat yang lain tidur, mereka msih terjaga. Saat yang lain terkapar tak berdaya, dia masih berdiri tegap. Itulah jalan Rasulullah saw, jalan para sahabat, jalan Sultan Muhammad Al Fatih dengan Konstantinopel yang beliau bersama tentaranya bebaskan.

Sahabatku, kalian bukanlah tumbal. Bukanlah orang-orang yang dipilih karena keterpaksaan. Bahwa kami melihat sinar harapan itu dari binar mata kalian. Bahwa kami melihat kecerdasan itu dari caramu berbicara. Bahwa kami melihat ketakwaan dari kesalehan yang tak kasat mata. Bahwa kalian memang sudah saatnya menjadi pemimpin. Bahwa kalian sudah sekelas panglima. Bagaimana mungkin kau bisa beristirahat sedang tugasmu masih menumpuk? Berdakwah bagi seorang da’i bagaikan kebutuhan seorang perokok yang mengeluarkan asap yang dihisapnya. Jika ia tak keluarkan asap itu, bisa sakit atau mati (benar nggak ya?) “Kewajibanku masih berjebah, bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?" (Imam Nawawi)

Jikalah DERITA akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang KETEGARAN akan lebih indah dikenang nanti.
Jikalah KESEDIHAN akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak DINIKMATI saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalah LUKA dan KECEWA akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,
Sedang KETABAHAN dan KESABARAN adalah lebih utama.

Jikalah KEBENCIAN dan KEMARAHAN akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,
Sedang MENAHAN DIRI adalah lebih berpahala.
Jikalah KESALAHAN akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,
Sedang TAUBAT itu lebih utama.

~Yuni Lisnawati ( e-Book Motivasi.exe — Tafakur)~
Surabaya, 7 Rabiul Akhir 1434 H
17 Februari 2013 M

Ttd Kurir Surat

Nb:

Sahabatku. Berat memang. Tapi apalah arti perjuangan jika tidak berat. Yang kita minta kepada Allah adalah punggung yang kuat untuk menerima beban yang berat. Bukan beban yang diperingan. Karena apa yang dibebankan Allah kepada kita, tidak lain hanyalah kita sebenarnya mampu. Karena Dia tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang berlebihan.

Yuk, yang tertarik kita mulai wujudkan dengan pelan2 dan signifikan. Bukan hanya lewat kata setuju atau kritik tanpa solusi. Seandainya dakwah hanya butuh lisan, pasti banyak yang akan ikut berjihad.

0 komentar:

Posting Komentar