Belajar dan kuliah adalah salah satu tugas utama dari seorang mahasiswa. Tetapi apa jadinya jika status mahasiswa tersebut hanya mampu menghasilkan manfaat untuk diri sendiri saja? Denga prinsip hidupnya yang berusaha untuk bermanfaat bagi orang lain tanpa menjadi pribadi orang lain, mahasiswa yang bersala dari Tuban ini menrajut kisah dengan daerah prostitusi. Seperti apa kisahnya?
Namanya Nur Huda. Perawakannya sederhana. Ketika ditemui di kantornya, dia menyambut dengan ramah. Selembar kertas tugas telah terbuka di depannya. Dia mempunyai hobi menulis sejak kelas tiga SD. Selain itu, dia juga pernah menulis novel, tapi saying softcopy novelnya tersebut terjangkit virus error. Baginya menulis itu sangat penting, apalagi membaca. Karena dengan membaca dia mampu berimajinasi tentang dunia selain di desanya sehingga dia tahu budaya daerah lain lewat buku.
Kegiatannya selain kuliah adalah berkunjung di Putat Jaya gang II A nomor 30, daerah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Untuk apa? Jangan salah sangka dulu. Dia ke sana untuk tujuan mulia, yakni mengajar anak-anak di daerah itu dengan sukarela. Saya sendiri pernah beberapa kali ikut ngajar di sana. Dan saya menyaksikan bagaimana mereka dengan sabarnya mendidik anak-anak di sana yang luar biasa.
Saat di bulan puasa, kami mengadakan acara buka bersama di sana. Tahukah kau kawan, dari 30 anak yang ada di sana, hanya 1 orang yang puasa. Ada seorang bocah yang saya tanya, "Kamu puasa nggak, dik?" Dia mengangguk. Aku lega. Tapi beberapa menit kemudian dia menelan permen. Aku tersenyum kecut.
Saya harus memberikan acungan jempol kepada mereka yang dengan ikhlas mengajar di sana. Bayangkan, mereka mengajar di daerah bisnis birahi yang konon terbesar di Asia Tenggara, tanpa menerima imbalan sepeser rupiah pun. Bahkan mereka terkadang menambahi kekurangan dengan uang pribadi.
Dia bercerita bahwa pada awalnya, dia diajak temannya yang bernama Mafi untuk mengajar anak-anak yang berada di daerah itu. Miris, anak-anak seumuran mereka harus terbiasa denga lingkungan yang sangat tidak mendukung perkembangan merka. Karena keinginannya yang kuat untuk bisa bermanfaat bagi orang lain, dia ingin tetap mengasuh anak-anak kecil di sana. Padahal tidak sedikit dari teman-temannya yang mampu bertahan.
Di Dolly, dia tidak mengajar sendirian. Selain bersama Mafi temannya yang mengajaknya tadi, di sana ada pengajar-pengajar lain. Jumlah pengajar di sana yang aktif berjumlah sekitar 15 orang, 7 laki-laki dan 8 wanita. Mereka bekerja sama dengan lembaga KAMMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Agar tidak terkesan monoton dan membosankan, kegiatan tidak hanya diisi dengan belajar mata pelajaran sekolah dan mengaji saja, tapi terkadang juga ada up grading pendidikan akademis, olahraga bareng, membuat barang kerajinan bareng, melukis da mewarna, dan pelatihan. Tidak tanggung-tanggung, untuk pelatihan dihadirkan penulis buku nasional, yakni Sinta Yudisia.
“Kesan yang paling mendalam adalah ketika berpisah dengan adik-adiknya. Mereka nangis dan bodohnya Mafi juga ikutan nangis. Untungnya saya tidak ikutan nangis. Hehe”, kenangnya. Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin tersebut mengaku bahwa kini kehadiran mereka diterima dengan baik oleh warga sekitar. Tidak seperti dulu yang tidak disambut dengan ramah bahkan di antar para pengajar ada yang pernah dirayu oleh mucikari di sana.
“Suatu cahaya dakwah itu adalah hak bagi semua orang, tak terkecuali orang-orang yang berada di daerah lokalisasi “ ucapnya menirukan kata-kata Sinta Yudisia yang sangat memotivasinya. Menurutnya, sekarang anak-anak di sana sudah lumayan lebih baik perilakunya dan lebih bisa menghargai orang lain. Kalau dulu, susahnya minta ampun. Tidak hanya itu, para orang tua merka pun yang statusnya belum pasti sekarang sangat-sangat berterima kasih pada Huda dkk.
Redaktur ITS Online ini bercita-cita untuk menjadi seorang engineer, penulis ( bukan wartawan), dan pengusaha. Dia adalah bocah ndeso yang dulu di daerahnya sempat merasakan tidak adanya aliran listrik.
Tulisan ini saya ketik saat Open Recruitmen Reporter ITS Online, tahun 1431 H/ 2010 M, sebagai syarat dalam babak On The Job Training. Karena ini sudah lama, jadi saya edit. Sehingga unsur jurnalistiknya sudah berkurang.
Namanya Nur Huda. Perawakannya sederhana. Ketika ditemui di kantornya, dia menyambut dengan ramah. Selembar kertas tugas telah terbuka di depannya. Dia mempunyai hobi menulis sejak kelas tiga SD. Selain itu, dia juga pernah menulis novel, tapi saying softcopy novelnya tersebut terjangkit virus error. Baginya menulis itu sangat penting, apalagi membaca. Karena dengan membaca dia mampu berimajinasi tentang dunia selain di desanya sehingga dia tahu budaya daerah lain lewat buku.
Kegiatannya selain kuliah adalah berkunjung di Putat Jaya gang II A nomor 30, daerah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Untuk apa? Jangan salah sangka dulu. Dia ke sana untuk tujuan mulia, yakni mengajar anak-anak di daerah itu dengan sukarela. Saya sendiri pernah beberapa kali ikut ngajar di sana. Dan saya menyaksikan bagaimana mereka dengan sabarnya mendidik anak-anak di sana yang luar biasa.
Saat di bulan puasa, kami mengadakan acara buka bersama di sana. Tahukah kau kawan, dari 30 anak yang ada di sana, hanya 1 orang yang puasa. Ada seorang bocah yang saya tanya, "Kamu puasa nggak, dik?" Dia mengangguk. Aku lega. Tapi beberapa menit kemudian dia menelan permen. Aku tersenyum kecut.
Saya harus memberikan acungan jempol kepada mereka yang dengan ikhlas mengajar di sana. Bayangkan, mereka mengajar di daerah bisnis birahi yang konon terbesar di Asia Tenggara, tanpa menerima imbalan sepeser rupiah pun. Bahkan mereka terkadang menambahi kekurangan dengan uang pribadi.
Dia bercerita bahwa pada awalnya, dia diajak temannya yang bernama Mafi untuk mengajar anak-anak yang berada di daerah itu. Miris, anak-anak seumuran mereka harus terbiasa denga lingkungan yang sangat tidak mendukung perkembangan merka. Karena keinginannya yang kuat untuk bisa bermanfaat bagi orang lain, dia ingin tetap mengasuh anak-anak kecil di sana. Padahal tidak sedikit dari teman-temannya yang mampu bertahan.
Di Dolly, dia tidak mengajar sendirian. Selain bersama Mafi temannya yang mengajaknya tadi, di sana ada pengajar-pengajar lain. Jumlah pengajar di sana yang aktif berjumlah sekitar 15 orang, 7 laki-laki dan 8 wanita. Mereka bekerja sama dengan lembaga KAMMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Agar tidak terkesan monoton dan membosankan, kegiatan tidak hanya diisi dengan belajar mata pelajaran sekolah dan mengaji saja, tapi terkadang juga ada up grading pendidikan akademis, olahraga bareng, membuat barang kerajinan bareng, melukis da mewarna, dan pelatihan. Tidak tanggung-tanggung, untuk pelatihan dihadirkan penulis buku nasional, yakni Sinta Yudisia.
“Kesan yang paling mendalam adalah ketika berpisah dengan adik-adiknya. Mereka nangis dan bodohnya Mafi juga ikutan nangis. Untungnya saya tidak ikutan nangis. Hehe”, kenangnya. Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin tersebut mengaku bahwa kini kehadiran mereka diterima dengan baik oleh warga sekitar. Tidak seperti dulu yang tidak disambut dengan ramah bahkan di antar para pengajar ada yang pernah dirayu oleh mucikari di sana.
“Suatu cahaya dakwah itu adalah hak bagi semua orang, tak terkecuali orang-orang yang berada di daerah lokalisasi “ ucapnya menirukan kata-kata Sinta Yudisia yang sangat memotivasinya. Menurutnya, sekarang anak-anak di sana sudah lumayan lebih baik perilakunya dan lebih bisa menghargai orang lain. Kalau dulu, susahnya minta ampun. Tidak hanya itu, para orang tua merka pun yang statusnya belum pasti sekarang sangat-sangat berterima kasih pada Huda dkk.
Redaktur ITS Online ini bercita-cita untuk menjadi seorang engineer, penulis ( bukan wartawan), dan pengusaha. Dia adalah bocah ndeso yang dulu di daerahnya sempat merasakan tidak adanya aliran listrik.
Tulisan ini saya ketik saat Open Recruitmen Reporter ITS Online, tahun 1431 H/ 2010 M, sebagai syarat dalam babak On The Job Training. Karena ini sudah lama, jadi saya edit. Sehingga unsur jurnalistiknya sudah berkurang.
0 komentar:
Posting Komentar