Keringat yang keluar dari pori-pori tubuhnya membasahi kemeja biru yang dikenakannya. Ia berharap sang dosen memberikan toleransi dan pemakluman kepadanya. Begitu melihat batang hidungnya, sang pengajar mengawasi mahasiswanya itu dengan tatapan tajam. Seisi kelas terdiam secara mendadak. Semua mata tertuju pada Fulan bagai pemangsa kelaparan mengincar sasaran.
“Saudara, berapa menit toleransi keterlambatan di kelas kita?” Suasana kelas tetap hening.
“Lima belas menit, Pak” jawab Fulan terbata-bata karena rasa grogi yang menggelayutinya.
“Lalu, mau apa Anda di sini?”
“Ingin mengikuti mata kuliah ini, Pak,” jawab Fulan. Wajahnya pucat.
“Anda sudah terlambat satu jam lebih, masih mengharapkan saya memberi toleransi keterlambatan? Dan ini sudah tiga kali Anda terlambat. Tidak ada lagi toleransi! Silakan Anda tutup pintu dari luar. Itu adalah konsekuensi yang harus Anda terima. Toleransi keterlambatan hanya 15 menit!”
Dengan langkah gontai, Fulan menyeret kakinya keluar kelas. Batinnya menyesal. Yang ia harapkan hanyalah toleransi, tidak lebih. “Salahkah aku?” tanyanya dalam hati.
*********************
Jika dilihat dari sudut pandang emosi, bisa jadi muncul rasa iba dan simpatik terhadap Fulan. Iba karena diusir dan simpatik atas usaha dan kenekatannya untuk tetap masuk, meski pada akhirnya tetap gagal.
Di sisi lain, sang dosen bisa saja dinilai sebagai tokoh antagonis yang tidak toleran terhadap mahasiswanya. Main usir tanpa mau mendengarkan penjelasan si Fulan.
Apa yang dilakukan dosen bukanlah tindakan yang keliru. Apa yang akan terjadi jika dosen tersebut tetap mengijinkan Fulan untuk masuk? Psikis mahasiswa lain bisa jadi terpengaruh dan membatin, Ah, dia aja telat nggak papa, berarti nanti aku terlambat juga nggak papa. Nanti-nanti aku juga telat deh…
Dan itu bisa menyebabkan proses belajar mengajar terganggu. Bisa jadi juga, Fulan tidak akan belajar dari kesalahannya, tetap berbuat seenaknya sendiri dengan melanggar kesepakatan jam masuk kuliah.
Bukan kasus Fulan yang ingin kita bicarakan di sini. Cuplikan kejadian tersebut hanyalah sebuah contoh menggambarkan perlunya toleransi yang tegas.
Toleransi. Sebuah kata yang aplikasinya dalam kehidupan adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan manusia. Tanpa toleransi, perang akan senantiasa berkobar. Tanpa toleransi, rasa sakit di hati akan selalu memelihara dendam bertunas. Tanpa toleransi, hidup akan terasa monoton, kaku, dan membosankan.
Tapi jangan sampai toleransi dilakukan secara berlebihan dari porsi yang disediakan. Apakah Anda akan membiarkan seorang tamu masuk ke rumah Anda dengan sandal penuh lumpur dan noda? Walaupun atas nama toleransi perbedaan kebiasaan?
Jika Anda mencintai kebersihan, tentu Anda tidak akan mengijinkannya. Anda akan meminta tamu itu untuk melepas sandal tersebut lalu mengantarkannya untuk cuci kaki sampai benar-benar bersih, mengeringkannya, baru Anda persilakan tamu tersebut masuk. Bukankah begitu, kawan?
Toleransi. Hal yang dianjurkan dan akan berakibat baik jika kita tegas untuk menjaga batasan-batasannya. Toleransi ada untuk memberikan ruang interaksi satu sama lain selama tidak mengganggu kenyamanan dan kebebasan kita sebagai makhluk yang dijamin oleh Allah untuk merdeka.
Bukan berarti dengan bertoleransi, kita menjadi “Yes human” . Mau mengalah tidak ada salahnya, tapi bukankah kita tidak ingin menjadi orang yang didzalimi? Maka saat batas toleransi telah dilanggar, bersikap tegas adalah sikap yang bijak. Bukan untuk memperkeruh keadaan, melainkan untuk mempertahankan siapa jati diri kita sebenarnya.
Bukankah pelangi itu indah karena biru tetap menjadi biru, merah menjadi merah, dan semua warnanya menjadi dirnya sendiri? Apa jadinya saat masing-masing warnanya tidak terang dan tidak jelas? Buram bukan?
Dalam sosial, boleh saja berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan muhrim atau istri. Namun untuk berinteraksi yang menabrak syari’at Islam yang indah, kita harus tegas agar kita tak terjerumus dalam zina.
Pun dalam beragama, bukankah Islam mengajarkan untuk bertoleransi dalam beragama? Allah swt berfirman dalam Q. S. Al Baqarah ayat 256.
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Dan ayat keenam Q. S. Al Kafirun.
“Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”
Dari sini, kita belajar. Islam tidaklah memaksakan kehendak. Namun Islam telah memberikan penjelasan yang kompleks. Jika mau terima, Alhamdulillah. Jika tidak, ya terserah dan siap-siap menanggung segala konsekuensinya. Bukan berarti atas nama toleransi, kita harus mau terseret arus.
Tidak hanya dalam beragama, dalam kasus apapun, kita diajari untuk bersikap tegas namun santun. Dan ada baiknya kita kembali pada konsep, sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Tidak bijak jika kita berlebihan dalam bertoleransi. Ada ruang untuk toleran, namun ada juga ruang untuk kemerdekaan diri.
Pun juga dalam mengungkapkan ketegasan. Mindset yang tertanam pada kebanyakan orang, tegas artinya keras dan kasar. Tegas itu hanya seperti komandan yang menginstruksikan untuk berperang. Tegas berarti marah!
Tidak! Bukan seperti itu. Adakalanya kita bersikap tegas dengan gaya komandan, ada saatnya seperti seorang seniman, ilmuwan, dan sebagainya. Situasi dan kondisi menjadi perimbangan utama kita.
Saat bersikap tegas pun, ada toleransi perasaan yang perlu kita perhatikan. Akhlak membungkus toleransi itu. Namun, karena agama kita adalah agama yang mulia dan penuh dengan ilmu, kita tetap kembali pada konsep dasar. Tidak berlebihan.
Toleransi tidak berarti bersikap lembah lembut selamanya. Ada saat kita berkasih sayang dan ramah, namun ada pula saatnya kita bersikap tegas. Lalu, apakah dengan ini kita masih dikatakan tidak toleran? Jika demikian, bagaiamanakah toleransi yang seharusnya? Apakah dengan membiarkan semua hak orang lain memasuki dan merusak privasi kita?
Wallaahu ‘alam bisshowwab.
Tulisan ini untuk dimasukkan ke dalam Catatan Arek Kampus Edisi 3 yang diterbitkan oleh Jama'ah Masjid Manarul 'Ilmi ITS.
0 komentar:
Posting Komentar