Tulisan ini merupakan tantangan dari sekelompok teman yang sama-sama belajar menulis. Dengan model tulisan bebas, namun topik yang ditentukan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada sebuah kisah menarik yang dapat kita menjadi pelecut semangat bagi kita yang merasa selalu sibuk. Kisah ini bisa kita temui di berbagai sumber di dunia maya.
Seorang professor berdiri di depan kelas filsafat. Saat kelas dimulai, dia mengambil stoples kosong dan mengisi dengan bola-bola golf. Kemudian ia bertanya kepada murid-muridnya, apakah stoples sudah penuh? Mereka setuju.
Kemudian dia menuangkan batu koral ke dalam stoples, mengguncang dengan ringan. Batu-batu koral pun mengisi tempat yang kosong di antara bola-bola golf.
Kemudian dia bertanya kepada murid-muridnya, apakah stoples sudah penuh? Mereka setuju,
Selanjutnya dia menabur pasir ke dalam stoples. Tentu saja pasir menutupi semuanya. Profesor sekali lagi bertanya apakah stoples sudah penuh? Murid, "Yes".
Kemudian dia menuangkan dua cangkir kopi ke dalam stoples dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir. Para murid tertawa.
"Sekarang, saya ingin kalian memahami bahwa stoples ini mewakili kehidupanmu."
"Bola-bola golf adalah hal yang penting; Tuhan, keluarga, anak-anak dan kesehatan. Jika yang lain hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh makna."
"Batu-batu koral adalah hal-hal lain, seperti pekerjaanmu, rumah dan mobil."
"Pasir adalah hal-hal yang sepele. Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam stoples, maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu-batu koral ataupun untuk bola-bola golf. Hal yang sama akan terjadi dalam hidupmu."
"Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal yang sepele, kalian tidak akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang penting buat kalian. Jadi beri perhatian untuk hal-hal yang penting untuk kebahagiaanmu. Bermainlah, berbincanglah, dengan anak-anakmu. Luangkan waktu untuk check up kesehatan."
"Ajak pasanganmu untuk keluar makan malam. Berikan perhatian terlebih dahulu kepada bola-bola golf. Hal-hal yang benar-benar penting. Atur prioritasmu. Baru yang terakhir, urus pasirnya."
Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya, "Kalau kopi mewakili apa Prof?"
Profesor tersenyum, "Saya senang kamu bertanya."
"Itu untuk menunjukkan kepada kalian, meski hidupmu tampak sudah sangat penuh, tetap selalu tersedia waktu bagi sahabat, dengan secangkir kopi."
Ya, secangkir kopi. Dengan minum kopi yang panas, kita bisa berbincang untuk berbagi kabar dan cerita sambil menunggu kopi tersebut menjadi dingin. Ada waktu yang kita sisihkan untuk sahabat, untuk orang-orang yang menyayangi kita.
Pertama kali membaca kisah ini, tiba-tiba ada rasa berdosa pada orang-orang terdekat. Selama tiga tahun, aku lebih mengutamakan perhatian pada semua kegiatan kemahasiswaan yang aku jalani. Alhasil, agenda buka bersama dengan keluarga tercinta sering tertinggal. Memang, saat kulihat iklan-iklan di televisi yang menampilkan sebuah keluarga melakukan buka bersama, aku iri. Aku merindukan saat-saat itu. “Nanti dulu, Insya Allaah lain kali ada waktu.” pikirku saat itu.
Alhamdulillaah… Jika salah seorang temanku menulis tentang Ramadhannya yang tanpa ibunya, kini aku menjalani hal sebaliknya. Suasana macet Kota Surabaya yang dulu membuatku bosan, tiba-tiba aku ingin merasakannya di tengah menanti waktu buka sebelum tiba dalam pelukan hangat keluarga. Suasana berbuka di meja makan saat adzan Maghrib berkumandang, sebisa mungkin kujalani di rumah.
“Nah, gini kan enak. Kalau kamu pulang lebih awal, jadi terasa ramai, nak,” ujar bundaku.
“Iyo, mas, mas! Ojo nang kampus ae! Koyok sing nduwe kampus ae” Kata saudara sepupuku yang masih kecil.
Yah, barangkali, menurut kita sepele. Barangkali, menurut kita ada banyak tugas menanti di luar yang lebih penting. Barangkali, kita di sana justru berjuang untuk kebahagiaan mereka, orang-orang tercinta. Tapi, mereka tak pernah merasakan bukti keberadaan kita di sisi mereka. Karena bagaimanapun, ruang yang telah lama terisi oleh kehampaan ini hanya dapat terisi oleh perjumpaan.
belati yang kaupinjamkan itu
tak sanggup memutus nadi rindu
percuma juga kaukirimkan sebilah pedang
ia takkan sanggup menebas bayang-bayang
yang kutunggu adalah kehadiran
bukan suara dan kata yang memintas ruang [1]
“…Sesungguhnya dirimu mempunyai hak, dan keluargamu pun mempunyai hak…” (HR. Shahih Bukhari Bab Sikap Berlebihan dalam Beribadah yang Dibenci)
Sumber:
1. Sajak yang Tak Asing Untuk Sebuah Kerinduan karya Adi Toha.
Surabaya, 15 Ramadhan 1434 H
23 Juli 2013 M
0 komentar:
Posting Komentar