Preambule
Kalau dihitung-hitung, bisa dikatakan saya terlambaaat sekali menulis resensi buku ini. Tapi tak apalah. Saya tidak mampu menhahan tangan saya untuk tidak menulis resensi ini.
Saya tidak sengaja membaca buku ini. Saat seorang sahabatku di Kediri di Kost Q6, Mas Kahfi mengajakku untuk belanja buku. Dia mengambil buku dengan cover perempuan bercadar. Dan aku sendiri mengambil Ibadah Sepenuh Hati karya Amru Khalid.
Kukira Ayat-ayat Cinta merupakan buku fiqh yang berisi perbandingan dalil. Buku berat, pikirku. Saat ia istirahat membacanya, aku iseng membukanya. Satu lembar, dua lembar, tiga lembar, hingga tak terasa puluhan lembar telah kubaca. Ternyata sudah seperempat buku.
Saat itu saya baru sadar, ternyata buku ini novel! Bukan buku Fiqh Islam. Saya terkejut. Kok ada ya novel kayak gini? Saya mulai menikmati. Dan Mas Kahfi hanya senyam-senyum saja saat melihat saya sudah tidak sabar untuk membaca buku itu. “Sik, tak marikno lekku moco, baru awakmu!”
Saat itu saya sangat anti sekali dengan yang namanya novel. Karena yang saya tahu saat SMP, novel tidak beda jauh dengan cerita kebenyakan sinetron. Cinta monyet remaja, cinta yang mengharu biru yang alay. Apalagi saat itu, teman-teman SMP-ku mulai menggandrungi jalan cinta anak muda jaman ini. Di sana-sini pacaran. Ah, saya jadi terlalu jauh bercerita.
Singkat cerita, inilah novel pertama yang saya baca dalam hidup saya. Novel yang mengubah cara pandang saya terhadap hidup. Kau tahu, kawan? Saat masih sekolah di sekolah menengah, saya membaca novel ini sebanyak empat kali full. Hingga saat ini, mungkin sudah sepuluh kali lebih baca buku ini. Tak lupa, terima kasih Mas Kahfi! Matur nuwun ingkang ingkang katah.
Resensi
Fahri bin Abdullah Shidiq nama pemuda itu. Dengan menjual sawah warisan dari kakeknya, ia menuntut ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Tak ada beasiswa, tak ada kiriman uang. Sambil menimba ilmu, ia menjual tempe keliling.
Ia serumah dengan empat mahasiswa Indonesia lainnya yang menjadi muslim taat. Mereka memiliki tetangga yang akrab dan baik hati, Tuan Boutros, Madame Nahed, Maria, dan Yousef yang menganut agama Kristen Koptik. Meski berbeda keyakinan, mereka saling menghormati tanpa melukai satu sama lain.
Hingga suatu saat, Fahri yang akan talaqqi ke Syekh Usman Abdul Fattah di Masjid Abu Bakar Ash Shidiq. Karena jaraknya sekitar 50 km, ia naik metro (kereta bawah tanah). Dari kejadian di dalam metro ini, saya mendapat pelajaran bagaimana berinteraksi dengan banyak manusia.
Bertemu dengan Aisha
Mungkin dia terlihat kalem dan lembut. Tapi saya salut pada sifat beraninya. Saat Aisha dikatai sebagai seorang pelacur oleh orang-orang Mesir karena menolong seorang nenek Amerika, Fahri masih berharap ada orang Mesir lain yang datang sebagai penengah. Ternyata tidak ada. Fahri tak bisa tinggal diam.
Setelah suasana reda, Aisha hendak turun. Ia mengucapkan terima kasih pada Fahri. Ia pun menjawab dengan bahasa Jerman. Aisha tidak percaya bahwa Fahri bisa berbahasa Jerman.
Salah satu bagian yang saya suka dalam novel ini adalah saat Fahri sakit karena kelelahan. Badan greges tidak karuan. Saat saya meriang, saya paling suka membaca bagian ini. Entah jadi terasa gimana gitu.
Bagian lain yang mengharukan adalah saat Fahri mimpi bertemu sahabat Rasulullah saw, Abdullah ibn Mas’ud ra waktu opname di rumah sakit. Mengharukan karena saya merasa diri ini terlalu kotor dan hina. Hanya orang-orang terpilih yang bisa mimpi bertemu sahabat nabi. Suasana yang digambarkan oleh penulis saat itu tengah malam. Pas sekali deh. Sunyi, sepi, dan hening. Andaikan bisa bangun saat itu, menggelar sajadah, lalu menempelkan kening dengan linangan air mata di atas sajadah, nikmat sekali rasanya.
Fahri sangat tegas dalam agama dan prinsip hidup, namun penuh toleransi ketika berinteraksi dengan manusia. Dia berjuang mati-matian untuk menuntut ilmu. Hingga ia lebih memfokuskan seluruh tenaga, pikiran, dan kemampuannya untuk mempelajari Alquran. Ini kutipannya.
Kuakui ada satu nama yang membuatkuselalu bergetar bila mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor pungguk dan seluruh mahasiswi Indonesia di Cairo adalah bulan. Aku tidak pernah berusaha merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan diriku merindukannya. Karena aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih mencurahkan seluruh rindu dendam, haru biru rindu, dan deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Alquran. Telah kusumpahkan dalam driku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa? (Hal. 222)
Aku lebih memilih mencurahkan seluruh rindu dendam, haru biru rindu, dan deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Alquran. Telah kusumpahkan dalam driku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa? (Hal. 222)
Judulnya saja sudah ada embel-embel cinta. Jadi tidak lengkap jika tidak ada bumbu cinta dalam ceritanya. Keteguhannya dalam memegang prinsip hidup tersebut melahirkan konsekuensi. Empat gadis yang berinteraksi dengannya, memendam rasa pada Fahri.
Nurul misalnya, menulis surat pada Fahri yang telah menikah dengan Aisha.
Kutulis surat ini dengan lelehan air mataku yang tiada berhenti dari detik ke detik. Kutulis surat ini kala hati tiada lagi mampu menahan nestapa yang mendera-dera perihnya luar biasa. Kak Fahri, aku ini perempuan paling bodoh. Dan aku harus menelan kepahitan dan kegetiran tiada tara atas kebodohanku itu. Kini aku didera penyesalan tiada habisnya. Semestinya aku katakana sendiri perasaanku padamu…
…Aku berusaha membuang rasa cintaku padamu jauh-jauh. Tapi sudah terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu dan berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa yang kurasa semuanya telah terlambat… (Hal 287)
…Aku berusaha membuang rasa cintaku padamu jauh-jauh. Tapi sudah terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu dan berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa yang kurasa semuanya telah terlambat… (Hal 287)
Dan cinta Maria pada Fahri, membuatnya menulis diarinya.
Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi. (Hal 371)
Dan Aisha,
Tidak Fahri. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu. (Hal 381)
Wahai para pemuda, di mana wajah tampan dan sikap sombong yang kau banggakan selama ini? Bukan, bukan itu yang membuat membuat wanita memilihmu. Tapi keindahan akhlak dan agama.
Dengan segala kelebihannya, novel ini terbaik dari yang pernah saya baca. Ada sebuah testimony yang saya suka dari pembacanya.
Thanks banget, buknya two thumbs up! Dan gue nangis di tengah malam sekitar jam 2 pas baca buku itu dan nagisnya tambah heboh pas qiyamul lail.
Kadang terasa saya menjadi Fahri karena kuatnya penulis dalam membentuk karakter tokoh utama cerita ini. Terlebih lagi, cerita ini dibawakan dengan kata ganti orang pertama. Alhamdulillaah. Sejak saat itu, paradigma sempit saya tentang novel dan sastra berubah.
Surabaya, 15 Syawal 1434 H/ 22 Agustus 2013 M
0 komentar:
Posting Komentar