Rabu, 06 November 2013

Waktu yang Pandai Menipu


Waktu yang pandai menipu demikian cepat berlalu. Begitu kata Andrea Hirata dalam Sang Pemimpi-nya. Tampaknya benar juga. Tidak terasa setahun selama 1434 H sudah berlalu. Masih kuingat tahun lalu ketika aku baru membuat sketsa mimpiku dan kini aku harus membuat sketsa yang baru.



Memang sampai saat ini belum aku tuangkan di atas kertas. Tapi aku sudah ada bayangan. Sayangnya, beberapa gambaran mimpi yang menyelinap di kepalaku masih sama dengan mimpi tahun lalu. Meski tak sepenuhnya sama. Kau tahu artinya, kawan? Artinya, banyak mimpiku di tahun lalu yang belum tercapai.

Bahkan tidak hanya mimpi-mimpiku mulai setahun yang lalu. Bahkan mimpi-mimpiku sejak beberapa tahun silam juga masih ada yang belum tercapai. Sebut saja aku lupa untuk meraihnya, karena berbagai kesibukan yang menghantam belakangan ini. Ah, mungkin kau menganggap ini sebagai pembelaan diri. Tapi biarlah, karena memang demikian adanya. Aku masih saja membela diriku atas kegagalan-kegagalan di masa lalu.

Masih teringat jelas dalam kepalaku, ketika dulu menjelang Ujian Nasional (Unas) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009, aku pontang-panting untuk mempelajari materi-materi Sekolah Menengah Atas (SMA). Karena aku dulu di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), maka aku harus belajar ekstra keras untuk mengejar kekurangan materi secara teori yang diterima anak-anak SMA pada umumnya. Saat itu, masih kuingat otakku berkali-kali rasanya keram karena dimakan cacing-cacing integral. Setiap hari, tanpa henti aku belajar, terutama Fisika. Hingga teman sekosku, Okky bertanya padaku.

‘’Nda, nda! Nggak bosen ta sinau Fisika terus? Aku ae sing ndelok awakmu sinau Fisika ae bosen (Apakah kamu tidak bosan selalu belajar Fisika? Saya saja yang hanya melihat kamu belajar Fisika sudah bosan, red)’’ Sebenarnya bosan juga, tapi aku ingin kuliah dan menjadi fisikawan, batinku. Dan semuanya berubah ketika pengumuman telah keluar. Namaku tercantum sebagai peserta SNMPTN yang diterima di ITS! Ya, aku diterima! Aku dan sekeluarga sujud syukur.

Telah kukatakan kepadamu, kawan. Semuanya berubah sejak pengumuman itu. Aku langsung bermimpi, kelak di kampus itu, aku akan berdiri dengan sikap yang anggun di atas mimbar, di hadapan para ilmuwan dan professor terhormat untuk berdebat masalah teori kemungkinan dan ketidakpastian, tenaga nuklir, teleportasi kuantum, meraih medali emas di berbagai ajang bergengsi, dan masih banyak lagi.

Tapi yang kutahu saat ini aku telah gagal. Kegagalan demi kegagalan, kegetiran demi kegetiran telah mengubur mimpiku dalam-dalam. Dan aku merasa aku telah gagal total.

Saat teman-temanku merayakan kemenangan mereka, sementara aku harus puas hanya dengan membaca kisah kesuksesan mereka. Sementara aku di sini, terasing untuk menngedit berita tentang mereka. Karena aku menjadi salah satu editor berita di kampusku. Bukan, aku tak ingin diriku dikenal banyak orang, tapi kemenangan mereka, dulu pernah menjadi mimpiku. Ya, hanya mimpi. Kini menguap bersama kegagalan. Dan aku tak tahu kapan aku mampu memberikan sumbangsih untuk kemanusiaan dan peradaban.

Waktu yang pandai menipu demikiin cepat berlalu. Tak terasa kini aku sudah memasuki tahun akhir kuliah. Dan mimpi-mimpi itu masih tertuang manis. Ya, tertulis rapi dan tergolek manja seperti pesakitan di buku agenda harianku.

Pada suatu pagi yang paling saturasi, aku menghambur ke Perpustakaan Pusat ITS lantai 7, di atas kantor redaksi aku bernaung. Aku keluar dan memandangi seluruh penjuru Kota Surabaya. Aku berkata pada Tuhan,

‘’Ya Allaah, tolong beri aku petunjuk apa yang harus kulakukan dalam hidupku agar Engkau ridha kepadaku. Aku merasa telah gagal untuk menjadi hamba-Mu yang baik,’’

Pagi itu juga, setelah sehari sebelumnya aku menemui seseorang yang aku melihat diriku bagaimana seharusnya menjadi di dalam dirinya, aku berusaha mendefinisikan ulang keseluruhan arti hidupku. Aku melihat cerminan diriku di dalam dirinya, dan aku menemukan darinya beberapa kalimat tentang pencarian jati diri yang selama belum kutemukan. Sekali lagi, saat itu juga, aku berusaha untuk mendefinisikan ulang keseluruhan arti hidupku. Karena aku merasa kurang totalitas selama ini, di bidang apapun.

Sejak aku memutuskan diam dan mengalihkan perhatian untuk sebuah perwujudan rasa, saat aku mulai menggunakan jas putih, sejak aku menentukan pilihan atas sebuah tawaran, semuanya berubah.

Pada akhirnya, aku juga sadar bahwa memang tak sepenuhnya mimpi-mimpi yang kubuat telah dan akan kucapai. Tapi di sisi lain, tanpa kusadari, ada beberapa pencapaian lain yang tanpa aku impikan dapat aku raih. Dan aku sendiri terkejut bisa sampai sejauh itu aku melangkah.

Maka mulai detik ini, masih akan ada air mata, keringat, dan darah yang akan menemani hari-hariku. Kehidupan di masa lalu telah memberikan tantangan yang besar untuk masa depanku. Mulai detik ini, semuanya akan mulai berjalan kembali.

"Every story has an end. But in life, every ending is just a new beginning." - Ray, Uptown Girls
Karena pejuang itu tidak boleh kalah. Kalah dengan dirinya sendiri. Kalah dengan kepentingan pribadi. Kalah dengan ambisi. Kalah dengan ketidakberdayaannya. Dia hanya boleh jatuh untuk bangun lagi. Dia hanya boleh lelah untuk bekerja lagi. Dan dia hanya boleh salah untuk jadi lebih baik.

Aku ingin mengatakan pada diriku sendiri, mulai hari ini berlaku ayat Allah SWT. “Lambung mereka tak bersahabat dengan tempat tidur.” Tak ada lagi waktu tidur sejak hari ini, tak ada lagi waktu bersantai ria sejak hari ini. Mulai detik ini, tak ada lagi tanpa totalitas.

Dalam penantian hujan dengan penuh rindu
Surabaya, 3 Muharram 1435 H/ 6 November 2013 M

0 komentar:

Posting Komentar