Selasa, 11 Maret 2014

Timnas dan Negeri Nina Bobo


Dulu, anak-anak kecil, ketika menjelang tidur sering diperdengarkan lantunan lagu Nina Bobo oleh ibundanya. Tetapi tidak bagi saya. Karena bunda saya tak pernah melantunkannya. Beliau hanya melantunkan lagu Ambilkan Bulan, Bu. Katanya, agar saya berani bermimpi tinggi, memeluk bulan. ‘’Benarkah begitu?,’’ tanya teman saya. Ah, mana saya ingat! Lha wong saat itu saya masih bayi. Tapi karena bunda saya yang cerita, maka jawab saya: Ya!

Tahun 2008, Amerika dan Eropa sedang dicengkram krisis global. Tapi ajaib! Indonesia menjadi salah satu negara yang selamat dari ancaman tersebut, meski tak sepenuhnya. Tepuk tangan untuk negeri ini pun membahana. Mungkin tepatnya standing applaus. Hasilnya, banyak negara yang mengantri untuk menjadi investor di negeri subur ini. Indonesia bangga, karena harga dirinya terangkat setelah sekian lama dipandang sebelah mata, terlebih dari ujung sedotan.

Namun pada Desember 2012, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa hutang Indonesia mencapai angka Rp 1.850 trilyun. Dan hingga bulan Mei 2013 (maaf tidak up date), angka tersebut meningkat menjadi Rp 2.036 trilyun. Fantastis! Hanya dalam kurun waktu sekian hutang bertambah Rp 186 trilyun.

Kita sedikit menengok ke jaman kemerdekaan. Sekutu yang saat itu menyandang sebagai pemenang Piala Dunia II, maaf maksud saya Perang Dunia II, harus dibikin  malu oleh pejuang kemerdekaan Indonesia. Betapa tidak, justru saat mereka baru saja merasakan euforia kemenangan militer dan politik itu, mereka harus kehilangan dua brigadir jenderalnya, Brigjen Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder Symonds. Tidak main-main, konon mereka turut menjadi pahlawan penting saat menghadapi Jerman, Jepang, dan Itali. Tapi di negeri ini, mereka dipaksa untuk mengibarkan bendera putih, bahkan para serdadu Inggris menyebut pertempuran di Surabaya itu sebagai neraka di timur Jawa. Hebat bukan buatan negaraku ini.

Namun, kabarnya di beberapa sekolah, guru-guru dipaksa bermain petak umpet oleh murid-muridnya karena tidak ikut upacara bendera, tak hafal lagu Indonesia Raya, atau bolos karena tawuran yang disebabkan berebut sepuntung rokok. Beberapa dosen juga ada yang dipermudah oleh mahasiswanya. Sebab sang dosen akan memberi nilai dengan konsep satu untuk semua sebagai hadiah untuk beberapa mahasiswa yang coretan jawaban di kertas ujiannya sama persis.

Belum lagi hasil survei yang menunjukkan, 21 persen remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi. Itu masih yang terhitung saja. Yang belum terhitung? Yang melakukan seks bebas namun tak sampai hamil? Yang melakukan perbuatan mesum? Masya Allah!
Dari akademik, kita perlu berbangga banyaknya raihan medali di ajang internasional yang digondol oleh akademisi-akademisi cerdas di tanah air ini. Sebut saja bunga, maksud saya Septinus George Sa’a yang mampu menyabet medali emas dalam ajang First Step to Nobel Prize in Physics, pada 30 Maret 2004 silam. Ia berhasil menemukan rumus baru tentang cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Tapi sekali lagi, hanya dia dan beberapa rekannya yang memiliki kemampuan seperti itu. Sementara masyarakat, mungkin termasuk saya, hanya sibuk membangga-banggakan Indonesia dengan konsep Pars pro Toto, mendomplengkan nama padanya.

Hangat-hangat Tahi Ayam
Sepertinya kita memang terlalu asyik dan terlena oleh kejayaan sementara. Sehingga isu-isu yang berkembang di masyarakat hanyalah sekedar isu yang hangat-hangat tahi ayam. Isu yang hangat ketika peristiwanya baru terjadi, namun akan menguap bersama lunturnya kejayaan itu. Dan akhirnya hilang dari peradaban. Negara ini telah ternina bobokan oleh sanjungan atau prestasinya.

Kita terlalu banyak membanggakan sejarah masa lalu dan terlalu bangga dari mana kita berasal Dan sayangnya, kita menikmati itu. Fakta bahwa negeri ini besar, negeri ini kaya, negeri ini berpotensi, bisa jadi hanya akan diulas oleh buku-buku Ilmu Pengetahuan Sosial yang membuat anak-anak SD menjadi percaya diri. Namun setelah dewasa, rasa PD itu akan hilang ditelan minder yang tak bertepi.

‘’Pada akhir zaman, yang penting bukan siapa dirimu saat dilahirkan. Tapi siapa dirimu didalam hati’’ (Godfrey dalam Kingdom of Heaven)

Anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa ini seakan-akan hanya kita syukuri dengan mengucapkan hamdallah di awal saja. Setelah itu, terserah mau digunakan untuk apa. Terserah gue donk. punya-punya gue juga. Padahal, salah satu konsep syukur adalah memanfaatkan nikmat dengan optimal sehingga bisa digunakan untuk kebaikan. Bukan sembarang pakai setelah mengucapkan hamdallah.
Ah, sepertinya sepertinya saya berbicara terlalu tinggi. Saya terlalu muluk mengangkat masalah ini hingga level negara. Barangkali ada baiknya, saya membahas per orang saja. Mungkin itu lebih ringan dan lebih aman.

Mari kita sedikit merenung. Berapa banyak orang yang mengatakan kita memiliki potensi ini-itu yang besar dan memiliki masa depan yang cerah karena potensi tersebut? Tapi pada akhirnya kita terlena oleh pujian itu. Kita dinina bobokan oleh pujian itu hingga kita tertidur. Kemudian baru bangun ketika yang lain akan menyentuh garus finish namun kita masih di tengah perjalanan. Jauh tetinggal di belakang. Meski sebenarnya lari kita jauh lebih deras.

Kita perlu memaksimalkan sumber daya yang kita miliki hingga titik nadir. Hingga kita payah. Soal hasil, kita serahkan pada Tuhan yang bersemayam di atas 'Arsy. Ini bukan soal promosi, tapi untuk gampangnya, mungkin bisa dijadikan contoh. Mobil-mobil hemat energi yang dikreasikan arek-arek ITS yang katanya CAK itu, seringkali mendapatkan penghargaan.

Bahkan seandainya mereka tak mendapatkan piala pun, mereka juga pantas mendapatkan penghargaan. Sebab apa, usaha mereka yang maksimal sebagi bentuk ungkapan rasa syukur. Mereka tak kenal lelah. Dan saya yakin, mereka bekerja bukan karena uang tapi karena ingin berkontribusi. Indah sekali kata kontribusi ini, terdengar beradab. Nah, sayangnya, karya mereka beberapa kali harus duduk manis menempati singgasananya di museum.

Sayang sekali, hasil kerja keras mereka yang cemerlang tersebut hanya menjadi pajangan. Bapak-bapak pemegang kebijakan bisa saja membiayai penelitian mereka lebih lanjut, kemudian diproduksi massal. Hasilnya? Sungguh luar biasa, Insya Allah. Indonesia bisa lebih menghemat energi. Ah, mudahnya memberi saran. Ohoi, kamu pikir gampang ngurus negara yang kompleks begini. Ah, maaf. Hanya beropini dengan pengetahuan saya yang rendah. Lah ini ujung-ujungnya ngomongin negara lagi.

Timnas
Namun belakangan ini ada kabar yang menggembirakan dari negara Zamrud Khatulistiwa ini. Prestasi Evan Dimas dkk di kancah ASEAN, Piala AFF sedikit mengobati rasa jenuh masyarakat Indonesia akan badai masalah yang doyan mampir. Pujian melangit ditujukan kepada tim dan ofisial. Mereka disambut bak pahlawan.
Menariknya, mereka tidak atau tepatnya belum, namun semoga tidak, ternina bobokan oleh prestasi dan pujian-pujian itu. Justru mereka mampu meraih prestasi yang lebih mencengangkan. Mereka mampu menekuk Juara Piala Asia sebelumnya, Korea Selatan, dengan skor 3-2.

Syukur
Ternyata setelah ditelisik lebih lanjut, ada salah satu faktor yang turut membantu Timnas U-19 ini. Yakni syukur. Hal ini dibuktikan dengan selebrasi mereka dalam merayakan gol. Ya, mereka sujud syukur. Satu hal yang jarang dilakukan pemain sepak bola Indonesia. Dan lagi, mereka berusaha fokus pada karir, berusaha menjauhi suatu hal yang sifatnya foya-foya dan hedonism. Barangkali ada yang mengatakan, ah, itu sih biasa saja. Terserah Anda, ini hanya opini saja. Wallahu’alam.

Selebrasi kemenangan dan mencetak gol kemudian disorot oleh banyak media. Jawaban yang diberikan Indra Sjafri, Pelatih Timnas U-19 Indonesia, ‘‘Kenapa sih setiap gol buka baju atau joget? Ini pengaruh budaya asing. Tapi ini masalahnya, kita mau apa nggak untuk mengangkat nilai-nilai budaya kita sendiri. Kan nggak ada hal istimewa yang kita lakukan. Cuma sujud syukur dan masyarakat merasa ini istimewa.’‘

Banyak suporter yang merasakan sujud syukur adalah istimewa. Barangkali karena selama ini kita telah lama melupakannya. Aha! Bisa jadi kita terninabobokan selama ini karena kurang maksimal dalam mensyukuri nikmat yang Dia berikan. Ya, saat kita jarang bersyukur, kita merasakan bahwa bersyukur adalah hal yang istimewa. Ah, mungkin lain kali kita bisa bahas tema Saat Tontonan Menjadi Tuntunan dan Tuntunan Menjadi Tontonan. Sepertinya asyik juga.

Nina bobo… Ooh Nina bobo..
Kalau tidak bobo digigit nyamuk

Asing : Tidurlah Indonesia! Jangan lawan kami! Kau akan aman!

Indonesia: Tidak! Aku ingin merdeka!

Asing: Kalau begitu, kau tidak akan tenang! Kami akan menyerangmu dengan kekuatan yang kami miliki.

Indonesia: (Berfikir, Apakah lebih baik tidur saja agar tidak merasakan derita. Sepertinya nyaman juga. Ah, tidak-tidak. Bukankah justru itu deirta yang sebenarnya.) Tidak! Lebih baik aku merasakan derita dari pada harus mengikuti keinginanmu yang melawan hati nuraniku!

Asing: (Melongo, tak menyangka Indonesia seberani itu)

Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu Memaklumkan, ‘’Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan Menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab -Ku sangat berat.’’ (Q. S. Ibrahim: 7)

Nanda Iriawan Ramadhan
Mahasiswa Jurusan Fisika
-Dalam Insomnia-

Saya sadar, saya belum melakukan banyak hal untuk Indonesia. Tapi kita bisa berbagi peran di level masing-masing. Saya hanya ingin belajar menjadi mahasiswa yang baik dengan menjalankan dua dari empat peran dan fungsi mahasiswa, social control  dan moral force. Ah, elegan sekali kelihatannya.

Tulisan ini juga dimuat di website ITS

0 komentar:

Posting Komentar