Sabtu, 10 Mei 2014

Di Kampus, Saya Dibesarkan oleh...


“Ada yang mengatakan bahwa matinya idealisme seorang mahasiswa dimulai ketika ia diwisuda. Tapi saya yakin, mas-mas yang ada di sini tidak akan melupakan idealisme itu…” kata seorang gadis berjilbab putih dalam sebuah momen perpisahan di kantor redaksi ITS Online. Saya trenyuh. Kata-kata itu, pernah saya baca di sebuah cover dari buletin yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa 1.0 ITS. Dan saat gadis ini mengucapkan kata-kata itu di momen perpisahan, saya bertanya dalam hati, bisakah saya menjaga idealisme di masa depan seperti saya menjaganya semasa mahasiswa?

Pernyataan itu sering muncul dalam ingatan saya. Ya, saya tahu. Betapa banyak orang yang berubah setelah mereka merasakan euforia wisuda. Saat mahasiswa, mereka selalu memegang erat-erat Peran dan Fungsi Mahasiswa (PFM). Kau tahu kawan apa isinya? Agent of change (agen perubahan), Social Control (pengontrol sosial), Iron stock (stok kekuatan yang seperti besi), dan Moral Force (orang-orang yang mempunyai kekuatan untuk menjaga moral masyarakat). Keren bukan? Sungguh elegan sekali. Saya yang pertama kali mendengarnya semasa pengaderan saja langsung jatuh hati pada PFM.

Baiklah, kita kembali ke bahasan kita. Dulu semasa mahasiswa mereka menjadi garda depan dalam membendung arus kehancuran moral. Dulu sewaktu jaket almamater masih mereka kenakan, mereka menjadi ujung tombak dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasa tidak berpihak pada rakyat.

Tapi kini, beberapa di antara dari mereka justru menjadi bagian yang merusak moral bangsa. Kini, sebagian dari mereka justru menjadi pendukung utama kebijakan yang dulu mereka tentang. Kini, iron stock itu telah terkontaminasi oleh material-material korosif, sehingga ia karatan, rapuh, dan akhirnya hancur.

Masa transisi yang saya alami saat ini membuat saya untuk banyak melakukan perenungan. Kenapa saya katakan transisi? Karena saat ini saya berada dalam kondisi peralihan status dari mahasiswa menuju dunia kerja. Saya begitu khawatir jika saya tidak dapat menjaga idealisme sewaktu menjadi mahasiswa.

Dalam kontemplasi, saya justru merasa bersyukur bahwa saya sempat dibesarkan oleh lingkungan kemahasiswaan yang membentuk karakter saya. Saya menggunakan kata “dibesarkan” dalam artian saya tumbuh di sana. Lingkungan-lingkungan tersebut dulunya sempat saya benci pada awalnya. Tempat-tempat itu pernah saya keluhkan ketika saya baru merasakannya.

Tapi saya sadar, bahwa merekalah yang membesarkan dan membentuk karakter saya selama di kampus. Atmosfer perjuangan yang mereka berikan, mengantarkan saya untuk berada di titik ini.

Saya tahu, ini semua bagian dari qadha yang telah ditetapkannya. Takdir yang telah Allah tulis sejak 50 ribu tahun sebelum alam semesta diciptakan. Saya tahu, Dia menempatkan saya ada di lingkungan-lingkungan seperti itu agar saya tumbuh.

Lingkungan-lingkungan itu adalah:
1. Pengkaderan.
Inilah sistem yang aneh di ITS. Meski tidak semua konsep yang diterapkan di dalamnya saya setuju, tapi tidak bisa saya nafikan bahwa pengaderan itu penting. Tidak ada yang sempurna memang, dan memang perlu banyak perbaikan. Namun saya merasakan adanya akselerasi perubahan karakter dan sifat saya.

2. Fisika
Cara berfikir runtut dan sistematis di dalam kurikulum setiap mata kuliahnya, memaksa saya untuk bersikap teliti. Termasuk mata kuliah Tugas Akhir yang penuh perjuangan segala hal.

3. Himpunan Mahasiswa Fisika (Himasika) ITS
Awalnya saya sangat berharap tidak diterima di organsisasi ini. Tapi takdir berbicara lain. Salah saya juga, mengirimkan lamaran untuk menjadi staff. Harusnya saya tegas, ya atau tidak sama sekali. Namun di sinilah saya banyak mempelajari bagaimana menjalankan sistem pengaderan yang sistematis. Meski banyak yang saya pelajari, tapi hanya sedikit yang saya pahami. Hehe.

4. ITS Online.
Tidak cukup rasanya jika saya sampaikan dalam sub bab ini. Rasanya setiap lingkungan harus saya kasih space tersendiri, termasuk di sini. Tiga setengah tahun saya di ITS Online membuat saya mengingat banyak kenangan bersama mereka. Di sinilah saya dilatih untuk bersikap skeptis (menanyakan kebenaran suatu hal). Di sinilah saya bertemu dengan orang-orang yang sebenarnya pantas untuk diprofilkan namun mereka justru memprofilkan orang lain untuk kepentingan berita website www.its.ac.id dan majalah ITS POINT.
Di sinilah saya bertemu dengan orang-orang yang open mind namun tidak liberal dan sekuler. Mesti wibawa mereka sangat terasa dan diakui para aktivis di penjuru kampus, namun kehadiran mereka tidak mengancam.

5. Jama’ah Masjid Manarul ‘Ilmi (JMMI) ITS
Lembaga inilah yang mengantarkan saya untuk kembali pada-Nya setelah jauh melangkah tanpa arah. Saat saya tersesat jauh, JMMI hadir dalam hidup saya seolah menunjukkan jalan hidup yang benar. Saat saya terjebak dalam kasus-kasus umum remaja yang termasuk dalam kategori ababil (ABG labil), JMMI menghadirkan suasana yang berbeda. JMMI mengajarkan saya untuk apa saya hidup di dunia ini.

Ia menawarkan persahabatan tanpa harus ada kemaksiatan pada Allah. Ia menyajikan keakraban tanpa harus hidup glamour. Ia mengajarkan arti perjuangan, tanpa harus meminta pamrih. Meski saya sempat kecewa dan berkali-kali kecewa kepada JMMI, tapi hidup saya tidak pernah lepas darinya.

Ibarat pepatah, hidup matai saya di kampus ya di JMMI. Mulai dari mahasiswa baru sampai saya lulus tidak pernah lepas dengan JMMI. Sekali lagi, meski ia tak sempurna dan banyak hal yang mesti diperbaiki, saya tetap mencintainya. Saya tetap bersyukur pada Allah karena saya pernah menjadi bagian dari pergerakan yang berslogan Santun dan Bersahabat ini.

Kawan, itulah lingkungan-lingkungan yang membesarkan  saya selama saya belajar di ITS. Kini saya tahu, bahwa mahasiswa tidak hanya belajar di bangku kuliah. Tetapi juga belajar di lapangan.

Kawan, jika saya ingin mematikan idealisme yang saya miliki selama mahasiswa, saya dipaksa berfikir berulang kali. Mereka, lingkungan-lingkungan yang mendidik saya selama di kampus, mungkin tidak akan kecewa. Karena mereka masih memiliki banyak kader yang menjadi penerus mereka.

Tapi saya, siapa saya ini sehingga berani-beraninya tidak mensyukuri nikmat-Nya? Karena saya telah diberi kesempatan yang tidak semua orang berkesempatan untuk berada di lingkungan-lingkungan seperti itu.

Surabaya, 11 Rajab 1435

0 komentar:

Posting Komentar