Aku sangat merindukannya. Gadis bermata
bening yang anggun perangainya. Sudah satu pekan ini ia tak duduk bersamaku dan
menceritakan hari-hari yang dijalaninya. Saat ini ia hanya mampu terbaring
lemah tanpa sedetik pun sempat menyadarkan diri.
Kuharap ia segera bangkit dari kritis
yang mengancam hidupnya. Berjuang kembali membantu kemanusiaan. Sepekan yang
lalu, beberapa peluru yang ditembakkan secara brutal bersarang di tubuh tak
berdosa itu saat ia bertugas di tenda darurat.
*****
Aku menyaksikannya saat predikat cumlaude untuk tesisnya mampu ia raih.
Gelar dokter spesialis yang selama ini ia cita-citakan akhirnya tercapai. Air
mata haru tumpah, membasahi jilbab biru yang dikenakannya. Usaha kerasnya
selama berbulan-bulan membuahkan hasil yang setimpal.
Aku senang mendengar kabar itu dan
merasa turut berperan dalam salah satu hari bersejarah dalam hidupnya.
Kuhabiskan waktuku untuk selalu menemaninya, membantunya mencari bahan tulisan
dan lokasi untuk penelitian. Rasanya tak sia-sia.
Begitu lulus, puluhan rumah sakit
menawarinya untuk bergabung. Imbalan yang dijanjikan tak main-main. Rumah dinas
mewah, tunjangan biaya hidup, gaji ratusan juta, jaminan masa pensiun, dan mobil
Mercedes Benz seri terbaru dijanjikan kepadanya. Aku yakin perempuan sekualitas
dia akan memilih rumah sakit yang terbaik.
Tapi apa yang diputuskannya membuatku
tak habis pikir. Aku kecewa berat. Saat pihak dari sebuah rumah sakit datang ke
rumahnya untuk menawarkan kontrak kerja, ia memberi jawaban, “Terima kasih atas
tawaran yang Anda berikan. Alhamdulillah, saya semakin dekat dengan cita-cita
saya.” Pihak rumah sakit melambung, merasa tawarannya telah memikat hati sang
dokter spesialis.
Belum sempat delegasi rumah sakit itu menanggapi, sang gadis
melanjutkan kalimat yang ternyata belum tuntas. “Cita-cita saya ada di Gaza,” jawabnya
mengikis harapan pihak rumah sakit untuk merekrutnya sebagai direktur utama.
Aku terhenyak, konyol sekali yang dipilihnya. Daerah konflik lebih dipilihnya
ketimbang hidup yang menjanjikan.
Malamnya, ia ceritakan semuanya
kepadaku. Ia tak ingin cita-cita yang lama dipendamnya itu melayang karena
iming-iming materi. Walaupun ia tahu resiko keselamatan dirinya, desingan
peluru, jauh dari keluarga, bersahabat dengan darah, dan bau tak sedap mayat.
Ia tetap bersikukuh walau kembang api akan sering menghiasi langit Gaza.
Ancaman deru mesin tank yang siap memekakkan telinganya tak digubris. “Aku
ingin memberi sumbangsih bagi kemanusiaan,” ungkapnya sederhana. Akhirnya aku maklum.
Tak lama berselang, beberapa pemuda datang
untuk meminangnya sebagai istri. Beberapa di antaranya ganteng, tegap badannya,
wirausahawan, dan terpandang kedudukannya. Secara kasat mata, mereka sempurna.
Aku tidak heran. Siapa yang tidak
tertarik dengan gadis ayu itu? Mata yang tajam namun teduh saat memandang, dagu
yang meruncing, lesung pipit saat tersenyum, tentang alisnya, parasnya yang
mengundang decak kagum, serta hidung yang mancung. Belum lagi dibungkus dengan
keindahan perilakunya yang anggun, kata-kata yang tegas tapi santun, kecerdasan
yang cemerlang namun tidak mengintimidasi. Ia menjadi buah bibir para pemuda
dan harapan para lelaki yang mendamba istri ideal.
Namun mereka satu per satu mundur secara
teratur begitu tahu syarat yang diajukan, yakni menemaninya ke Gaza setelah
menikah. Tak ada yang melanjutkan maksud pinangan. Hingga akhirnya, ia
berangkat ke sana bersama bibinya yang juga relawan di daerah tersebut.
Diam-diam aku merasa takjub padanya, terharu pada perjuangannya untuk memberi
sumbangsih kemanusiaan.
Semua berjalan normal pada awalnya,
penghuni tenda darurat tidak hanya mencintainya sebagai dokter. Tetapi juga
sebagai sahabat, saudara, sekaligus guru. Ia telah mendapat tempat di hati
masyarakat.
Sampai pada suatu saat, ia sedang
mengobati seorang bocah. Tanpa diketahui asalnya, desingan peluru menerobos
tenda dan menghujani siapapun dan apaun yang ada di dalam tenda tersebut. Tiga
peluru mengarah pada dokter ayu itu, aku menghalanginya. Peluru terus menyerang,
aku tak kuat. Dan peluru menghampiri sang dokter.
*****
Seandainya saja aku dapat melindunginya
secara utuh, tak peduli walaupun harus hancur. Namun sayang, aku hanyalah
sebuah laptop berlapis baja yang terbuka di hadapannya saat ia duduk untuk
mengobati luka di kepala seorang bocah.
0 komentar:
Posting Komentar