Selasa, 15 April 2014

Andai Saja Aku Mampu Melindunginya.


Aku sangat merindukannya. Gadis bermata bening yang anggun perangainya. Sudah satu pekan ini ia tak duduk bersamaku dan menceritakan hari-hari yang dijalaninya. Saat ini ia hanya mampu terbaring lemah tanpa sedetik pun sempat menyadarkan diri.

Kuharap ia segera bangkit dari kritis yang mengancam hidupnya. Berjuang kembali membantu kemanusiaan. Sepekan yang lalu, beberapa peluru yang ditembakkan secara brutal bersarang di tubuh tak berdosa itu saat ia bertugas di tenda darurat.
*****
Aku menyaksikannya saat predikat cumlaude untuk tesisnya mampu ia raih. Gelar dokter spesialis yang selama ini ia cita-citakan akhirnya tercapai. Air mata haru tumpah, membasahi jilbab biru yang dikenakannya. Usaha kerasnya selama berbulan-bulan membuahkan hasil yang setimpal.

Aku senang mendengar kabar itu dan merasa turut berperan dalam salah satu hari bersejarah dalam hidupnya. Kuhabiskan waktuku untuk selalu menemaninya, membantunya mencari bahan tulisan dan lokasi untuk penelitian. Rasanya tak sia-sia.

Begitu lulus, puluhan rumah sakit menawarinya untuk bergabung. Imbalan yang dijanjikan tak main-main. Rumah dinas mewah, tunjangan biaya hidup, gaji ratusan juta, jaminan masa pensiun, dan mobil Mercedes Benz seri terbaru dijanjikan kepadanya. Aku yakin perempuan sekualitas dia akan memilih rumah sakit yang terbaik.

Tapi apa yang diputuskannya membuatku tak habis pikir. Aku kecewa berat. Saat pihak dari sebuah rumah sakit datang ke rumahnya untuk menawarkan kontrak kerja, ia memberi jawaban, “Terima kasih atas tawaran yang Anda berikan. Alhamdulillah, saya semakin dekat dengan cita-cita saya.” Pihak rumah sakit melambung, merasa tawarannya telah memikat hati sang dokter spesialis.

Belum sempat delegasi rumah sakit itu menanggapi, sang gadis melanjutkan kalimat yang ternyata belum tuntas. “Cita-cita saya ada di Gaza,” jawabnya mengikis harapan pihak rumah sakit untuk merekrutnya sebagai direktur utama. Aku terhenyak, konyol sekali yang dipilihnya. Daerah konflik lebih dipilihnya ketimbang hidup yang menjanjikan.

Malamnya, ia ceritakan semuanya kepadaku. Ia tak ingin cita-cita yang lama dipendamnya itu melayang karena iming-iming materi. Walaupun ia tahu resiko keselamatan dirinya, desingan peluru, jauh dari keluarga, bersahabat dengan darah, dan bau tak sedap mayat. Ia tetap bersikukuh walau kembang api akan sering menghiasi langit Gaza. Ancaman deru mesin tank yang siap memekakkan telinganya tak digubris. “Aku ingin memberi sumbangsih bagi kemanusiaan,” ungkapnya sederhana. Akhirnya aku maklum.

Tak lama berselang, beberapa pemuda datang untuk meminangnya sebagai istri. Beberapa di antaranya ganteng, tegap badannya, wirausahawan, dan terpandang kedudukannya. Secara kasat mata, mereka sempurna.

Aku tidak heran. Siapa yang tidak tertarik dengan gadis ayu itu? Mata yang tajam namun teduh saat memandang, dagu yang meruncing, lesung pipit saat tersenyum, tentang alisnya, parasnya yang mengundang decak kagum, serta hidung yang mancung. Belum lagi dibungkus dengan keindahan perilakunya yang anggun, kata-kata yang tegas tapi santun, kecerdasan yang cemerlang namun tidak mengintimidasi. Ia menjadi buah bibir para pemuda dan harapan para lelaki yang mendamba istri ideal.

Namun mereka satu per satu mundur secara teratur begitu tahu syarat yang diajukan, yakni menemaninya ke Gaza setelah menikah. Tak ada yang melanjutkan maksud pinangan. Hingga akhirnya, ia berangkat ke sana bersama bibinya yang juga relawan di daerah tersebut. Diam-diam aku merasa takjub padanya, terharu pada perjuangannya untuk memberi sumbangsih kemanusiaan.

Semua berjalan normal pada awalnya, penghuni tenda darurat tidak hanya mencintainya sebagai dokter. Tetapi juga sebagai sahabat, saudara, sekaligus guru. Ia telah mendapat tempat di hati masyarakat.

Sampai pada suatu saat, ia sedang mengobati seorang bocah. Tanpa diketahui asalnya, desingan peluru menerobos tenda dan menghujani siapapun dan apaun yang ada di dalam tenda tersebut. Tiga peluru mengarah pada dokter ayu itu, aku menghalanginya. Peluru terus menyerang, aku tak kuat. Dan peluru menghampiri sang dokter.
*****
Seandainya saja aku dapat melindunginya secara utuh, tak peduli walaupun harus hancur. Namun sayang, aku hanyalah sebuah laptop berlapis baja yang terbuka di hadapannya saat ia duduk untuk mengobati luka di kepala seorang bocah.

0 komentar:

Posting Komentar