Selasa, 08 Juli 2014

Aku Takkan Mengucapkan Selamat, Tapi Tolong Selamatkan Indonesia

H-beberapa jam Pilpres 2014

Aku takkan mengucapkan selamat kepadamu tentang pemilu ataupun demokrasi. Karena bagiku, tak pantas mengucapkan selamat sementara akidah ini dipertaruhkan ketika masuk ke dalamnya.

Tentang pesta demokrasi, itupun perlu hati-hati. Karena pesta, bagiku lebih identik dengan suatu perayaan atas sebuah pencapaian yang menyenangkan.
Cukuplah bagi kita, jika masuk ke dalamnya, hanya sebagai sarana untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Bukan untuk merayakannya. Bukan untuk menikmatinya hingga menjadi candu dan jalan praktis.

Karena perayaan, identik dengan sebuah kemenangan. Sementara bagiku, tak pantas ada perayaan sementara kita menderita kekalahan. Ya, kekalahan karena kita kehilangan sistem yang selama ini ditawarkan oleh Allah.

Cukuplah bagi kita, masuk ke dalamnya karena sebuah keadaan yang terlanjur mencengkram kehidupan kita. Sebuah keadaan yang jika tidak masuk, akan menyebar kecurangan dan ketidakadilan. Ya, cukup sampai di situ. Bukan untuk menikmati. Bukan untuk tenggelam dan terseret arus sehingga mematikan idealisme.

Aku takkan mengucapkan selamat padamu, tapi aku memohon pada Allah. Agar Dia berkenan menyelamatkan Indonesia. Lewat dirimu, kawan. Ya, lewat dirimu. Jadi tolong, jadilah orang yang diberi peran oleh Allah untuk menyelamatkan Indonesia.

Jadi tolong, selamatkan Indonesia. Pilihlah dia yang menurutmu mampu menenangkan hati Indonesia. Pilihlah dia yang menurutmu mampu menjadikan Indonesia bangkit kembali.

Tolong, selamatkan Indonesia. Bangkitkan Indonesia. Agar Indonesia mampu menegakkan harga dirinya kembali. Sebagaimana dulu saat Pak Karno membacakan Surat Al Hujurat ayat 43 “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu”.
Ayat itu belau bacakan dengan lantang dalam sidang PBB XV yang diselenggarakan di New York.

Tentu kita merindukan hadirnya nafas Islam yang sempurna dan menyeluruh di bumi Indonesia. Islam yang menghadirkan sebuah kesejukan dalam seluruh sendi kehidupan. Tentu kita merindukan itu. Namun kita juga tidak ingin kehilangan Islam sama sekali bukan?

Maka tolong, selamatkan Indonesia. Bangkitkan kembali Indonesia. Kita tidak pernah benar-benar tahu siapa yang akan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Yang kita tahu hanyalah apa yang disampaikan media.

Ya, hanya Allah yang tahu tentang ini. Maka, berdoalah agar Dia berkenan memberikan petunjuk kepada kita tentang siapa yang mampu memimpin Indonesia untuk kembali mempunyai mimpi yang selama ini hilang. Mimpi yang selama ini kita lupakan karena terlalu sibuk dengan badai korupsi, gelombang perzinahan, sekulerisme, liberalism, dan kampanye hitam.

Jadi kawan, aku takkan mengucapkan selamat padamu tentang pemilu ataupun demokrasi. Tapi tolong, lakukan sesuatu agar Indonesia tidak lagi terpaksa untuk mengikuti mimpi negara lain lagi. Maka, berdoalah agar petunjuk itu datang, siapa yang lebih pantas untuk memimpin negeri ini dengan realita yang kita hadapi seperti sekarang ini.

Jika ada yang mengatakan “Sama saja siapapun pemimpinnya, kita bakalan masih aja miskin dan kerja kayak gini,” maka biarkanlah. Biarkanlah dia begitu. Karena ia masih berfikir untuk dirinya sendiri. Dia belum terbiasa untuk memikirkan hidup orang lain yang berada di pelosok negeri yang berbeda.

Ini tentang tawakkal kepada-Nya. Ini tentang penyikapan kita terhadap sistem yang meski hati kita menolak, tapi kita tidak bisa lepas darinya untuk saat ini.

Aku paham, ada yang tidak setuju dengan tulisan ini. Tapi bahasan itu telah berlalu, dan perbedaan pendapat tentang ini masih belum usai. Aku paham, sejatinya nasehat ini lebih pantas kutujukan pada diriku sendiri. Bukan kepadamu.

Suara rakyat, bukanlah suara Tuhan. Karena tidak semua rakyat mengikuti apa yang telah difirmakan-Nya. Maju mundurnya negara kita, bukan kita yang menentukan. Tapi Allah yang menentukan. Dan kita tentu berharap, menjadi orang yang diberi peran oleh Allah, untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik.

Dalam imaji, berharap ada calon pemimpin yang berdo’a,

“ Ya Allah, Engkau yang mengetahui kualitas kami. Engkau yang mengetahui siapa yang terbaik untuk negeri kami. Maka Ya Allah, kami serahkan segala yang kami upayakan selama ini kepada-Mu. Kami bertawakkal kepada-Mu, maka cukupkanlah segala keperluan keperluan kami. Sebagaimana janji-Mu dalam suat ATh Thalaq ayat tiga.

“Ya Allah, jika yang Kau pilih adalah kami, tolong berikan kami pundak yang kuat untuk memikul amanah yang berta ini.Letakkan dunia di tangan kami, jangan di hati kami.
Tapi Ya Allah, JIKA BAGI-MU, YANG TERBAIK UNTUK MEMIMPIN INDONESIA BUKANLAH DARI KAMI, maka berikanlah kemampuan kepada kami untuk membantu pemimpin kami dalam membawa negeri ini mendapatkan rahmat dari-Mu.”

Surabaya, 11 Ramadhan 1435/ 08 Juli 2014

Menitip Salam

(Aku)

Maafkan aku yang tak bisa menyampaikan salammu
Mengapa tak kau titipkan saja pada angin?
Agar salam manismu dapat terdengar oleh mereka
Atau bisa saja kau titipkan apda ombak

(Reza)

Ah, tidak
Angin tak jelas kemana ia berhembus
Ombak pun hanya bergerak menepi pantai
Maka biar kutitipkan salamku pada kuncup bunga
Yang akan tersampaikan dia kala ia mekar
Di saat yang tepat dengan segala keindahannya

(Aku)

Benar
Aku takkan pernah lagi menitipkan salam pada angin
Karena ia pernah berkhianat padaku
Ia tak amanah ternyata
Ia pernah bocorkan salamku pada dedaunan sehingga mereka saling gemerisik kala angin berhembus

 Aku juga takkan lagi menitipkannya pada ombak
Ia pernah membelokkan salamku
Ia bersekongkol dengan angin
Hingga salamku berbelok ke arah samudera yang berbeda, bukan ke tepian pantai dimana dia berada

Aku juga takkan menitipkannya pada merpati
Sebagaimana kakek nenek di jaman dulu
Karena mereka seringkali hinggap di dahan pohon
Dan salamku tak sampai

 Aku sadar pada akhirnya
Tidak semua perasaan harus dipertururkan
Tidak semua perasaan harus diungkapkan saat itu juga

Maka kuputuskan
Agar kutitipkan salam ini pada-Nya yang mampu menjaga segala rahasia
Agar Dia sampaikan salam ini pada saat yang tepat

Kuceritakan segala kerinduan ini pada-Nya
Agar Dia tahu bahwa ingin sekali aku menyampaikan salam ini padanya
Agar Dia tahu bahwa ingin sekali aku ingin dekat dengan dirinya

Tapi aku tidak ingin
Di saat yang sama
Aku kehilangan cinta-Nya karena mendurhakai-Nya

Biar saja salam ini tersampaikan di atas sajadah
Melalui sunyi
Menanti hingga waktu yang tepat itu tiba
Saat kepastian telah mampu kuberikan

(Reza)

Jadi, kau memutuskan untuk menjaga rasa itu?
Akan kunantikan
Saat di mana kau ungkapkan janji suci itu
Dan saat itu juga, dia ada di sampingmu
Menatapmu dan menggenggam tanganmu dengan penuh haru
Menyadari bahwa dirimu telah memuliakannya
Dalam sikap diammu
Dalam untaian do'amu

Surabaya, 23-25 Sya'ban 1435 H/ 21-23 Juni 2014

Dengan diawali pertanyaan tentang kehadiran di Musyker JMMI. Awalnya ingin menitip salam dan pertanyaan pada pengurus, hingga percakapan dengan Mochammad Reza menjadi tak menentu.

Mengenang Masa Kecil

Mengenang masa kecil memang kadang menggelikan. Aku jadi ingat pertanyaan yang dulu kutujukan ke ibuku waktu nonton bola atau tinju. Waktu masih kecil.

"Ma, pemain bola sama petinju kalau mau eek boleh ijin nggak? Kalau kebelet gimana ya mereka"

Huruf e dibaca seperti baca kata bebek.

Ada yang pernah punya pengalaman lain?

Kita Hanya Memanfaatkan Potensi

Embun 1 Ramadhan:

"Kalau ada orang yang ditanya kenapa bisa jadi pintar, rata-rata jawabannya adalah karena belajar. Jawaban itu nggak salah memang. Tapi itu masih jawaban fase ibitdaiyah (SD, red). Ada yang lebih dalam. Dan ada yang lebih esensial dari sekedar belajar.

Kenapa kita bisa pintar adalah karena sebenarnya ada potensi kepandaian yang diberikan oleh Allaah ke dalam diri manusia. Coba saja, apakah ayam bisa jadi pintar setelah kita kasih pendidikan selama 35 tahun? Seandainay saja ada ayam yang bisa berumur panjang sampai sekian. Tidak! Karena tidak ada potensi untuk menjadi pintar pada diri ayam.

Sama halnya ketika kita ditanya, kenapa kertas bisa terlipat. Jawaban yang biasa diberikan adalah karena dilipat. Lagi-lagi tidak salah. Tapi masih fase ibtidaiyah. Sebenarnya karena di dalam kertas ada potensi untuk bisa dilipat. Manusia hanya memanfaatkan potensi itu. Tidak lebih.

Nah kita ini sering kali berbanggan diri atas prestasi kita. Ada yang berbangga diri dengan karyanya. Ada yang berbangga diri dengan hartanya. Ada yang berbangga diri dengan kemaksiatannya. Ada yang berbangga diri dengan kesalihannya, seringnya mengaji, ketaatannya, dan seringnya ke masjid. Manusia itu banyak sekali berbangga meski kontribusinya sedikit, itupun kalau ada kontribusinya.

Padahal sebenarnya, manusia hanyalah mengaktualisasikan potensi yang diberikan oleh Allaah. Hanya itu. Tidak lebih. Namun sayangnya banyak yang membanggakan apa yang telah dikerjakannya sebagai karyanya. Semoga Allaah senantiasa membersihkan hati kita dari segala penyakit hati dan dari rasa sombong. Dan semoga kita mampu menjadi manusia yang diberi peran oleh Allaah untuk menunjukkan kebesaran-Nya melalui diri kita."

-diadaptasi dari materi yang disampaikan Prof. Dr. Ir. Abdullah Shahab, M. Sc dengan kemungkinan ada beberapa perbedaan redakasi karena keterbatasan ingatan-

Setelah mendengarkan materi tersebut, aku diam. Menundukkan kepala seperti orang mengheningkan cipta saat upacara. Sambil mendengarkan bisik seorang teman yang mengakui kedalaman makna isi materi tersebut. Aku pun terpaksa kembali berfikir ulang tentang definisi arti seluruh hidupku selama ini.

Ya Rabbi, begitu sering aku sombong dan berbangga diri.

Ruang Utama Masjid Manarul 'Ilmi ITS.
Surabaya, 3 Ramadhan 1435/ 30 Juni 2014

Bertemu di Perjalanan

Embun Rabu:

Sebenarnya, aku ingin membahas tentang politik nasional sih. Tapi beberapa teman bilang, mereka sedang bosan melihat timelinenya dipenuhi dengan copras-capres. Baiklah, kita bahas yang lain saja deh.

Kawan, beberapa waktu yang lalu aku menemukan kalimat ini,
"Aku paham. Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan." (Kurniawan Gunadi dalam Sebelum Kita Bertemu)

Minggu, 06 Juli 2014

Bukankah Engkau Maha Mengetahui?

“Ya Allah, Kau tahu apa yang kumau. Aamiin,” cerita salah seorang sahabatku tentang masa kecil temannya. Saat itu, kami saling berbagi cerita tentang masa kecil masing-masing. Lumayan, menyegarkan otak setelah panas karena dimakan oleh caing-cacing integral di ujian sekolah saat aku masih berseragam putih abu-abu.

Mungkin di antara kita ada yang tertawa. Tidak habis pikir kok ya ada orang yang berdo’a seperti itu. Eh, jangan salah lho ya. Kadang-kadang, sadar ataupun tidak, kita juga melakukan itu. Aku yakin, pasti ada yang tidak terima karena aku mengatakan itu. Tapi coba kita renungkan dulu.

Contohnya saja, lebih lengkap mana kita menceritakan masalah yang sedang kita hadapi kepada teman curhat atau Allah? Lalu, saat kita minta solusi dari permasalahan tersebut, seberapa lengkap kita menjabarkan konsekuensi yang akan kita hadapi dari masing-masing solusi yang mungkin ada? Dan satu lagi, lebih mengharu biru mana, kita mencurahkan segala perasaan kita kepada orang lain atau kepada Allah?

Aha! Bukan hanya teman curhat, tapi lebih dalam manakah makna do’a yang kita panjatkan kepada Allah dibanding dengan status kita di media sosial seperti facebook? Lebih menghayati yang mana kita saat mengungkapkannya? Tidak perlu dijawab dengan lisan. Cukuplah kita jawab dengan hati, kawan. Jika sudah kita temukan jawabannya, semoga Allah semakin menambah keimanan kita dan melapangkan hati kita.

Mari kita renungkan. Kita seringkali tidak jujur kepada Allah. Kita seringkali lebih jujur kepada manusia. Kita lebih detail menyampaikan apa yang menjadi hajat kita kepada manusia daripada berdo’a pada-Nya.

Lho, Allah kan Maha Tahu? Tahu segalanya. Berarti nggak usah dijelaskan detail udah tahu.
Benar, kawan. Allah Maha Tahu. Tapi ini bukan masalah tentang-Nya. Tapi masalah kita sebagai hamba. Baiklah, mari kita bahas satu per satu:

1. Adakah kita dengan jujur meminta kepada-Nya dalam berdo’a? Jujur dalam artian kita sebutkan masalah kita. Kita jelaskan kesulitan kita. Dan kita sebutkan untuk apa kita datang kepada-Nya. Ini masalah kejujuran kita dalam meminta. Kita tunjukkan seberapa penting hajat tersebut bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2. Adakah kita mengakui kelemahan diri sebagai hamba dalam menghadap-Nya? Jangan-jangan kita bersikap sombong dalam berdo’a. Jangan-jangan kita hanya minta ini minta itu tanpa lebih dulu mengagungkan asma-Nya. Di sinilah yang penting. Dalamnya rasa keberhamabaan kita kepada Allah diuji. Seberapa jauh kita memiliki rasa sebagai hamba-Nya yang butuh pertolongan-Nya.
Allah Maha Mengetahui. Tahu segalanya. Tahu pikiran kita. Dia juga tahu apa yang terlintas dalam hati kita bahkan tanpa kita sebutkan. Dia juga tahu atas apa yang akan terjadi untuk peristiwa-peristiwa yang belum menjadi nyata.

Tapi di sinilah masalahnya. Kita jarang sekali, itupun kalau pernah, mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya. Kita jarang sekali mengakui keterbatasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita bahkan lebih sering memilih diksi-diksi yang indah untuk dituliskan di media sosial atau diceritakan kepada orang lain. Dan ketika berdo’a, kita menggunakan kata-kata seadanya, tanpa tersusun rapi, dan dengan perasaan yang tergesa-gesa.

3. Adakah kita punya alasan kenapa kita meminta itu? Contoh, kita minta dikasih uang yang banyak sehingga bisa beli ini beli itu. Lalu jika ditanya untuk apa semua itu? Kita diam. Kita membisu. Mungkin sambil garuk-garuk kepala.

Allah Maha Mengetahui. Dia tahu apa yang kita inginkan. Tapi adakah kita jujur pada-Nya tentang keinginan kita? Untuk apa? Kenapa? Bagaimana? Kita seringkali tidak mengutarakannya pada Allah.

4. Adakah kita bersyukur untuk do’a yang telah terkabul sebelumnya? Jangan-jangan kita lebih sering meminta hal-hal yang belum terjadi. Tapi kita lupa untuk bersyukur atas do’a yang telah terkabul.
Bersyukur, tidak cukup dengan mengucap hamdallah saja bukan? Ia perlu diiringi sikap ketundukan. Ia perlu diiringi sikap untuk senantiasa menjaga dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan. Contoh, kesehatan setelah sakit. Nggak cukup dengan hamdallah di lisan saja. Tapi kita nggak menjaga kesehatan, Tapi kita juga perlu menjaga kesehatan tubuh dengan pola makan yang teratur, istirahat yang cukup, makan makanan empat sehat lima sempurna, dan sebagainya.

Kawan, aku menulis ini bukan berarti aku telah baik dalam berdo’a. Bukaaan. Sama sekali bukan. Justru mungkin tulisan ini lebih pantas untuk ditujukan pada diriku sendiri.

Ah, cukup dulu tulisan kali ini. Semoga Allah senantiasa mengajarkan kita untuk takwa kepada-Nya.
Aamiin.
Kota Pahlawan, 8 Ramadhan 1435/ 6 Juli 2014