“Ya Allah, Kau tahu apa yang kumau. Aamiin,” cerita salah seorang sahabatku tentang masa kecil temannya. Saat itu, kami saling berbagi cerita tentang masa kecil masing-masing. Lumayan, menyegarkan otak setelah panas karena dimakan oleh caing-cacing integral di ujian sekolah saat aku masih berseragam putih abu-abu.
Mungkin di antara kita ada yang tertawa. Tidak habis pikir kok ya ada orang yang berdo’a seperti itu. Eh, jangan salah lho ya. Kadang-kadang, sadar ataupun tidak, kita juga melakukan itu. Aku yakin, pasti ada yang tidak terima karena aku mengatakan itu. Tapi coba kita renungkan dulu.
Contohnya saja, lebih lengkap mana kita menceritakan masalah yang sedang kita hadapi kepada teman curhat atau Allah? Lalu, saat kita minta solusi dari permasalahan tersebut, seberapa lengkap kita menjabarkan konsekuensi yang akan kita hadapi dari masing-masing solusi yang mungkin ada? Dan satu lagi, lebih mengharu biru mana, kita mencurahkan segala perasaan kita kepada orang lain atau kepada Allah?
Aha! Bukan hanya teman curhat, tapi lebih dalam manakah makna do’a yang kita panjatkan kepada Allah dibanding dengan status kita di media sosial seperti facebook? Lebih menghayati yang mana kita saat mengungkapkannya? Tidak perlu dijawab dengan lisan. Cukuplah kita jawab dengan hati, kawan. Jika sudah kita temukan jawabannya, semoga Allah semakin menambah keimanan kita dan melapangkan hati kita.
Mari kita renungkan. Kita seringkali tidak jujur kepada Allah. Kita seringkali lebih jujur kepada manusia. Kita lebih detail menyampaikan apa yang menjadi hajat kita kepada manusia daripada berdo’a pada-Nya.
Lho, Allah kan Maha Tahu? Tahu segalanya. Berarti nggak usah dijelaskan detail udah tahu.
Benar, kawan. Allah Maha Tahu. Tapi ini bukan masalah tentang-Nya. Tapi masalah kita sebagai hamba. Baiklah, mari kita bahas satu per satu:
1. Adakah kita dengan jujur meminta kepada-Nya dalam berdo’a? Jujur dalam artian kita sebutkan masalah kita. Kita jelaskan kesulitan kita. Dan kita sebutkan untuk apa kita datang kepada-Nya. Ini masalah kejujuran kita dalam meminta. Kita tunjukkan seberapa penting hajat tersebut bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Adakah kita mengakui kelemahan diri sebagai hamba dalam menghadap-Nya? Jangan-jangan kita bersikap sombong dalam berdo’a. Jangan-jangan kita hanya minta ini minta itu tanpa lebih dulu mengagungkan asma-Nya. Di sinilah yang penting. Dalamnya rasa keberhamabaan kita kepada Allah diuji. Seberapa jauh kita memiliki rasa sebagai hamba-Nya yang butuh pertolongan-Nya.
Allah Maha Mengetahui. Tahu segalanya. Tahu pikiran kita. Dia juga tahu apa yang terlintas dalam hati kita bahkan tanpa kita sebutkan. Dia juga tahu atas apa yang akan terjadi untuk peristiwa-peristiwa yang belum menjadi nyata.
Tapi di sinilah masalahnya. Kita jarang sekali, itupun kalau pernah, mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya. Kita jarang sekali mengakui keterbatasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita bahkan lebih sering memilih diksi-diksi yang indah untuk dituliskan di media sosial atau diceritakan kepada orang lain. Dan ketika berdo’a, kita menggunakan kata-kata seadanya, tanpa tersusun rapi, dan dengan perasaan yang tergesa-gesa.
3. Adakah kita punya alasan kenapa kita meminta itu? Contoh, kita minta dikasih uang yang banyak sehingga bisa beli ini beli itu. Lalu jika ditanya untuk apa semua itu? Kita diam. Kita membisu. Mungkin sambil garuk-garuk kepala.
Allah Maha Mengetahui. Dia tahu apa yang kita inginkan. Tapi adakah kita jujur pada-Nya tentang keinginan kita? Untuk apa? Kenapa? Bagaimana? Kita seringkali tidak mengutarakannya pada Allah.
4. Adakah kita bersyukur untuk do’a yang telah terkabul sebelumnya? Jangan-jangan kita lebih sering meminta hal-hal yang belum terjadi. Tapi kita lupa untuk bersyukur atas do’a yang telah terkabul.
Bersyukur, tidak cukup dengan mengucap hamdallah saja bukan? Ia perlu diiringi sikap ketundukan. Ia perlu diiringi sikap untuk senantiasa menjaga dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan. Contoh, kesehatan setelah sakit. Nggak cukup dengan hamdallah di lisan saja. Tapi kita nggak menjaga kesehatan, Tapi kita juga perlu menjaga kesehatan tubuh dengan pola makan yang teratur, istirahat yang cukup, makan makanan empat sehat lima sempurna, dan sebagainya.
Kawan, aku menulis ini bukan berarti aku telah baik dalam berdo’a. Bukaaan. Sama sekali bukan. Justru mungkin tulisan ini lebih pantas untuk ditujukan pada diriku sendiri.
Ah, cukup dulu tulisan kali ini. Semoga Allah senantiasa mengajarkan kita untuk takwa kepada-Nya.
Aamiin.
Kota Pahlawan, 8 Ramadhan 1435/ 6 Juli 2014
Mungkin di antara kita ada yang tertawa. Tidak habis pikir kok ya ada orang yang berdo’a seperti itu. Eh, jangan salah lho ya. Kadang-kadang, sadar ataupun tidak, kita juga melakukan itu. Aku yakin, pasti ada yang tidak terima karena aku mengatakan itu. Tapi coba kita renungkan dulu.
Contohnya saja, lebih lengkap mana kita menceritakan masalah yang sedang kita hadapi kepada teman curhat atau Allah? Lalu, saat kita minta solusi dari permasalahan tersebut, seberapa lengkap kita menjabarkan konsekuensi yang akan kita hadapi dari masing-masing solusi yang mungkin ada? Dan satu lagi, lebih mengharu biru mana, kita mencurahkan segala perasaan kita kepada orang lain atau kepada Allah?
Aha! Bukan hanya teman curhat, tapi lebih dalam manakah makna do’a yang kita panjatkan kepada Allah dibanding dengan status kita di media sosial seperti facebook? Lebih menghayati yang mana kita saat mengungkapkannya? Tidak perlu dijawab dengan lisan. Cukuplah kita jawab dengan hati, kawan. Jika sudah kita temukan jawabannya, semoga Allah semakin menambah keimanan kita dan melapangkan hati kita.
Mari kita renungkan. Kita seringkali tidak jujur kepada Allah. Kita seringkali lebih jujur kepada manusia. Kita lebih detail menyampaikan apa yang menjadi hajat kita kepada manusia daripada berdo’a pada-Nya.
Lho, Allah kan Maha Tahu? Tahu segalanya. Berarti nggak usah dijelaskan detail udah tahu.
Benar, kawan. Allah Maha Tahu. Tapi ini bukan masalah tentang-Nya. Tapi masalah kita sebagai hamba. Baiklah, mari kita bahas satu per satu:
1. Adakah kita dengan jujur meminta kepada-Nya dalam berdo’a? Jujur dalam artian kita sebutkan masalah kita. Kita jelaskan kesulitan kita. Dan kita sebutkan untuk apa kita datang kepada-Nya. Ini masalah kejujuran kita dalam meminta. Kita tunjukkan seberapa penting hajat tersebut bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Adakah kita mengakui kelemahan diri sebagai hamba dalam menghadap-Nya? Jangan-jangan kita bersikap sombong dalam berdo’a. Jangan-jangan kita hanya minta ini minta itu tanpa lebih dulu mengagungkan asma-Nya. Di sinilah yang penting. Dalamnya rasa keberhamabaan kita kepada Allah diuji. Seberapa jauh kita memiliki rasa sebagai hamba-Nya yang butuh pertolongan-Nya.
Allah Maha Mengetahui. Tahu segalanya. Tahu pikiran kita. Dia juga tahu apa yang terlintas dalam hati kita bahkan tanpa kita sebutkan. Dia juga tahu atas apa yang akan terjadi untuk peristiwa-peristiwa yang belum menjadi nyata.
Tapi di sinilah masalahnya. Kita jarang sekali, itupun kalau pernah, mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya. Kita jarang sekali mengakui keterbatasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita bahkan lebih sering memilih diksi-diksi yang indah untuk dituliskan di media sosial atau diceritakan kepada orang lain. Dan ketika berdo’a, kita menggunakan kata-kata seadanya, tanpa tersusun rapi, dan dengan perasaan yang tergesa-gesa.
3. Adakah kita punya alasan kenapa kita meminta itu? Contoh, kita minta dikasih uang yang banyak sehingga bisa beli ini beli itu. Lalu jika ditanya untuk apa semua itu? Kita diam. Kita membisu. Mungkin sambil garuk-garuk kepala.
Allah Maha Mengetahui. Dia tahu apa yang kita inginkan. Tapi adakah kita jujur pada-Nya tentang keinginan kita? Untuk apa? Kenapa? Bagaimana? Kita seringkali tidak mengutarakannya pada Allah.
4. Adakah kita bersyukur untuk do’a yang telah terkabul sebelumnya? Jangan-jangan kita lebih sering meminta hal-hal yang belum terjadi. Tapi kita lupa untuk bersyukur atas do’a yang telah terkabul.
Bersyukur, tidak cukup dengan mengucap hamdallah saja bukan? Ia perlu diiringi sikap ketundukan. Ia perlu diiringi sikap untuk senantiasa menjaga dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan. Contoh, kesehatan setelah sakit. Nggak cukup dengan hamdallah di lisan saja. Tapi kita nggak menjaga kesehatan, Tapi kita juga perlu menjaga kesehatan tubuh dengan pola makan yang teratur, istirahat yang cukup, makan makanan empat sehat lima sempurna, dan sebagainya.
Kawan, aku menulis ini bukan berarti aku telah baik dalam berdo’a. Bukaaan. Sama sekali bukan. Justru mungkin tulisan ini lebih pantas untuk ditujukan pada diriku sendiri.
Ah, cukup dulu tulisan kali ini. Semoga Allah senantiasa mengajarkan kita untuk takwa kepada-Nya.
Aamiin.
Kota Pahlawan, 8 Ramadhan 1435/ 6 Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar