Kawan, pernahkah kau merasa
kesulitan dalam belajar? Atau kau sudah memahami konsep dan teori namun susah
dalam melaksanakannya? Atau kau pernah merasa bahwa logikamu bisa menerima tapi
hatimu masih belum bisa menerima? Bahkan parahnya kau seringkali mendengar
mereka yang mengaku pintar, kehadirannya justru tidak berpengaruh apa-apa.
Ternyata apa yang kita pelajari di
masa kecil sebenarnya sangat sederhana. Namun mengandung mutiara yang
berkilauan. Baiklah langsung saja.
“Al ‘ilmi murrun syadiidun fil
bidayah, wa ahla minal ‘asali fin nihayah”
-Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya.-
-Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya.-
- Pernahkah mendengar pepatah
itu? Dulu waktu kecil, guru-guru di Taman Pengajian Al Qur’an (TPA) atau
sekolah biasanya menyampaikan pepatah dari Arab tersebut. Sederhana
memang. Tapi jika direnungkan, salah satu saripati hidup terkandung di
dalamnya.
- “Ya belajar tentu baik adanya.
Tapi belajar terus bisa jadi masalah kalau tidak sampai ketemu madunya,”
kata Ustadz Yusuf Mansur dalam kajian 3 Da’i yang berjudul Ilmu dan
Hikmah. Pernyataan ini bisa dijabarkan lewat gambar di bawah ini.
- Mengapa dikatakan pahit?
Begitulah ilmu. Saat yang lain asyik tidur dan kau masih belajar, bukankah
itu pahit?
- Saat yang lain santai dengan game
di rumah sementara kau masih sibuk dengan tugas dari guru, bukankah itu
pahit?
- Itulah pahitnya ilmu.
- Dalam penjelasan lebih lanjut,
Ust YM mengatakan, Allah menghadiahkan kesusahan untuk negeri ini bukan
hanya untuk belajar, tetapi untuk memetik hikmahnya juga. Kalau tidak
berhasil menemukan message, bukan hikmah, maka terus-menerus bangsa
Indonesia akan berada dalam suasana belajar.
- Itulah mungkin salah satu sebab
banyak pelajar yang merasakan kejenuhan dalam belajar. Karena tidak ada
hikmah yang mereka rasakan dari pelajaran. Yang ada hanya pelajaran dan
pelajaran. Namun kering dengan hikmah.
- Kembali kepada pepatah di atas.
Untuk merasakan manisnya ilmu, seorang pelajar perlu untuk di-tazkiyah (disucikan)
terlebih dahulu. Dipahamkan kenapa begini begitu. Tidak langsung
dipaksakan untuk belajar. Tetapi diluruskan hatinya, pikirannya, dan
semangatnya. Sehingga ketika sudah belajar, dia tidak didominasi rasa
sombong.
- Betapa banyak orang yang dengan
ilmunya justru jauh dari Allah. Betapa banyak orang yang dengan segala
kecerdasannya jutru menjadi intimidasi bagi orang lain. Mungkin hal
tersebut karena belum adanya tazkiyatun nafs (pensucian diri)
sebelum menuntut ilmu.
- Ust. Salim A. Fillah dalam
Majelis Jejak Nabi Surabaya pernah menceritakan kisahnya saat memlih TK
untuk anaknya. Awalnya, sang anak ingin disekolahkan di TK yang lulusannya
mempunyai banyak hafalan surat. Namun batal karena murid-murid dan
guru-guru di situ kurang baik dalam menyambut tamu. Dicarilah sekolah
lain. Tidak menjamin hafalan surat yang banyak. Namun cocok. Karena begitu
istri Ust. Salim datang, murid-murid di sana langsung menyambut dengan
baik. Begitu pula dengan gurunya. Mugkin ada yang tidak sepakat. Tapi
cobalah melihat dari sudut pandang lain.
- Mungkin karena itulah, jaman
dulu, para guru menegakkan syarat tertentu kepada anak-anak yang ingin
belajar kepadanya. Diperintah untuk mengepel, menyapu, memelihara sapi,
bekerja bakti. Agar dalam memahami langit ilmu, tidak lupa memijak bumi. Agar
para pelajar paham, mengapa mereka melakukan ini dan mengapa mereka
melakukan itu.
- Selanjutnya barulah menuntut
ilmu.
- Ilmu yang didapat tersebut
tidak akan dirasakan madunya oleh pelajar sebelum mencapai hikmah.
- Hikmah tidak akan dicapai
kecuali pelajar tersebut bergerak untuk melaksanakan ilmu yang telah
didapat.
- Maksud dari bergerak bukan berarti harus
melakukan. Contoh, untuk memahami ilmu tentang zina misalnya. Bagaimana
penyesalan setelah melakukan zina, bagaimana takutnya untuk diketahui
orang karena telah melakukannya missal saja. Bukan berarti harus melakukan
zina terlebih dahulu.
- Namun yang dimaksud dengan
bergerak adalah lebih menggerakkan hati dan pikiran untuk mengambil
hikmah. Kalau perlu tubuh juga bergerak untuk melakukan perjalanan di muka
bumi. Agar hati dan pikiran bisa memahami banyak hal.
- Dalam bergerak mencapai hikmah,
diperlukan banyak pengorbanan. Seperti yang disampaikan Imam Syafi’I,
setidaknya ada enam hal yang dibutuhkan oleh seorang pelajar. Akal, tekun,
sabar, biaya, guru, dan waktu.
- Banyak orang, terutama di jaman
yang serba praktis seperti sekarang ini, yang menginginkan untuk bisa
pintar dalam banyak bidang namun dengan sikap santai-santai saja. Mereka
berfikir bahwa dengan belajar sedikit, modal untuk ilmu seadanya (namun
untuk hedonism tidak masalah berapapun yang keluar), waktu singkat, bisa
mengantarkan mereka menjadi seorang expert.
- Dalam kasus ini, ada pepatah Arab lain yang tepat.
- Untukmu yang ingin menjadi ahli
ilmu namun malas mencatat, lupakah engkau pada Imam Syafi’i wahai pelajar?
Beliau mengatakan, “Saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia
menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak
memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya
karena mengajari saya. Saya mendengar darinya (guru) hadits atau
pelajaran, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu
untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya
mengambilnya dan menulis diatasnya. Apabila sudah penuh tulisanya, saya
menaruhnya didalam guci/botol besar yang sudah tua.”[1]
- Untukmu yang ingin menjadi ahli
ilmu namun lebih sering disibukkan dengan nafsu dan syahwat, lupakah
engkau wahai pelajar? Bahwa ilmu ,kata Waki’, adalah cahaya Allah. Dan
cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.[2]
- Maka untuk mencapai hikmah,
diperlukan perjuangan keras. Agar para pelajar dapat merasakan manisnya
madu.
- Jika telah mendapatkan hikmah,
maka Insya’ Allah para pelajar akan mengembangkan ilmunya sendiri berbekal
hikmah yang dia dapatkan. Mereka akan bersemangat mencari hikmah dari
apa-apa yang mereka pelajari. Sehingga ilmu yang mereka pelajari terasa
memiliki ruh. Memiliki jiwa. Dan hidup.
- Dengan demikian ilmu tersebut
akan menerangi dirinya dan sekitarnya.
- Tidak hanya usaha keras. Untuk
mencapai hikmah, diperlukan pengorbanan.
- Pengorbanan untuk
mengesampingkan rasa egois diri sendiri. Salah satunya menjauhkan diri
dari segala hal yang bisa menyebabkan terhalangnya ilmu.
- Seperti smartphone yang
senantiasa bunyi dan menganggu konsentrasi. Facebook dan media social.
Tapi kan itu penting?
- Ya, penting. Namun tidak
bisakah wahai engkau para pelajar, menyingkirkannya untuk sementara. Lalu
engkau khusyuk dengan ilmumu? Jika engkau bisa khusyuk dengan smartphone
dan social media, mengapa kau tidak bisa khusyuk dalam menuntut ilmu.
- Berikan SELURUH dirimu untuk
ilmu, maka ilmu akan memberikan SEBAGIAN dari dirinya.
- Benarlah apa yang disampaikan
oleh Ibnu Athaillah dalam kitab fenomenalnya Al Hikam. “Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amalan yang sudah diketahuinya, maka Allah akan
mewariskan ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya,”
- Demikian secara konseptual.
Insya’ Allah akan bersambung dengan studi kasus tentang menggapai hikmah.
*Tulisan ini lebih tepatnya ditujukan untuk diri saya sendiri. Sayang sekali, saya baru memahami konsep ini setelah lulus kuliah.
Ilmu tidak akan memberikan sebagian dari dirinya untukmu, hingga engkau memberikan seluruh dari dirimu untuknya.
*****
[1] Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi
(1/98), Ibnu Abdil Baar
[2] I’anatuth Tholibin, 2: 190
-Nir-
Ditulis sebagai piket di Kajian Literasi
-Nir-
Ditulis sebagai piket di Kajian Literasi
mensuport banget tulisanya. :)
BalasHapusNurul, aku baru cek komen. Duh, parah banget.
HapusSemoga bermanfaat ya.