Jumat, 03 Juli 2015

Hikmah, Madu dari Ilmu

Kawan, pernahkah kau merasa kesulitan dalam belajar? Atau kau sudah memahami konsep dan teori namun susah dalam melaksanakannya? Atau kau pernah merasa bahwa logikamu bisa menerima tapi hatimu masih belum bisa menerima? Bahkan parahnya kau seringkali mendengar mereka yang mengaku pintar, kehadirannya justru tidak berpengaruh apa-apa.

Ternyata apa yang kita pelajari di masa kecil sebenarnya sangat sederhana. Namun mengandung mutiara yang berkilauan. Baiklah langsung saja.

“Al ‘ilmi murrun syadiidun fil bidayah, wa ahla minal ‘asali fin nihayah”
-Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya.-

  1. Pernahkah mendengar pepatah itu? Dulu waktu kecil, guru-guru di Taman Pengajian Al Qur’an (TPA) atau sekolah biasanya menyampaikan pepatah dari Arab tersebut. Sederhana memang. Tapi jika direnungkan, salah satu saripati hidup terkandung di dalamnya.



  2. “Ya belajar tentu baik adanya. Tapi belajar terus bisa jadi masalah kalau tidak sampai ketemu madunya,” kata Ustadz Yusuf Mansur dalam kajian 3 Da’i yang berjudul Ilmu dan Hikmah. Pernyataan ini bisa dijabarkan lewat gambar di bawah ini.


  3. Mengapa dikatakan pahit? Begitulah ilmu. Saat yang lain asyik tidur dan kau masih belajar, bukankah itu pahit?

  4. Saat yang lain santai dengan game di rumah sementara kau masih sibuk dengan tugas dari guru, bukankah itu pahit?

  5. Itulah pahitnya ilmu.

  6. Dalam penjelasan lebih lanjut, Ust YM mengatakan, Allah menghadiahkan kesusahan untuk negeri ini bukan hanya untuk belajar, tetapi untuk memetik hikmahnya juga. Kalau tidak berhasil menemukan message, bukan hikmah, maka terus-menerus bangsa Indonesia akan berada dalam suasana belajar.

  7. Itulah mungkin salah satu sebab banyak pelajar yang merasakan kejenuhan dalam belajar. Karena tidak ada hikmah yang mereka rasakan dari pelajaran. Yang ada hanya pelajaran dan pelajaran. Namun kering dengan hikmah.

  8. Kembali kepada pepatah di atas. Untuk merasakan manisnya ilmu, seorang pelajar perlu untuk di-tazkiyah (disucikan) terlebih dahulu. Dipahamkan kenapa begini begitu. Tidak langsung dipaksakan untuk belajar. Tetapi diluruskan hatinya, pikirannya, dan semangatnya. Sehingga ketika sudah belajar, dia tidak didominasi rasa sombong.

  9. Betapa banyak orang yang dengan ilmunya justru jauh dari Allah. Betapa banyak orang yang dengan segala kecerdasannya jutru menjadi intimidasi bagi orang lain. Mungkin hal tersebut karena belum adanya tazkiyatun nafs (pensucian diri) sebelum menuntut ilmu.

  10. Ust. Salim A. Fillah dalam Majelis Jejak Nabi Surabaya pernah menceritakan kisahnya saat memlih TK untuk anaknya. Awalnya, sang anak ingin disekolahkan di TK yang lulusannya mempunyai banyak hafalan surat. Namun batal karena murid-murid dan guru-guru di situ kurang baik dalam menyambut tamu. Dicarilah sekolah lain. Tidak menjamin hafalan surat yang banyak. Namun cocok. Karena begitu istri Ust. Salim datang, murid-murid di sana langsung menyambut dengan baik. Begitu pula dengan gurunya. Mugkin ada yang tidak sepakat. Tapi cobalah melihat dari sudut pandang lain.

  11. Mungkin karena itulah, jaman dulu, para guru menegakkan syarat tertentu kepada anak-anak yang ingin belajar kepadanya. Diperintah untuk mengepel, menyapu, memelihara sapi, bekerja bakti. Agar dalam memahami langit ilmu, tidak lupa memijak bumi. Agar para pelajar paham, mengapa mereka melakukan ini dan mengapa mereka melakukan itu.

  12. Selanjutnya barulah menuntut ilmu.

  13. Ilmu yang didapat tersebut tidak akan dirasakan madunya oleh pelajar sebelum mencapai hikmah.

  14. Hikmah tidak akan dicapai kecuali pelajar tersebut bergerak untuk melaksanakan ilmu yang telah didapat.

  15. Maksud dari bergerak bukan berarti harus melakukan. Contoh, untuk memahami ilmu tentang zina misalnya. Bagaimana penyesalan setelah melakukan zina, bagaimana takutnya untuk diketahui orang karena telah melakukannya missal saja. Bukan berarti harus melakukan zina terlebih dahulu.

  16. Namun yang dimaksud dengan bergerak adalah lebih menggerakkan hati dan pikiran untuk mengambil hikmah. Kalau perlu tubuh juga bergerak untuk melakukan perjalanan di muka bumi. Agar hati dan pikiran bisa memahami banyak hal.

  17. Dalam bergerak mencapai hikmah, diperlukan banyak pengorbanan. Seperti yang disampaikan Imam Syafi’I, setidaknya ada enam hal yang dibutuhkan oleh seorang pelajar. Akal, tekun, sabar, biaya, guru, dan waktu.

  18. Banyak orang, terutama di jaman yang serba praktis seperti sekarang ini, yang menginginkan untuk bisa pintar dalam banyak bidang namun dengan sikap santai-santai saja. Mereka berfikir bahwa dengan belajar sedikit, modal untuk ilmu seadanya (namun untuk hedonism tidak masalah berapapun yang keluar), waktu singkat, bisa mengantarkan mereka menjadi seorang expert.

  19. Dalam kasus ini, ada pepatah Arab lain yang tepat.

  20. Ilmu tidak akan memberikan sebagian dari dirinya untukmu, hingga engkau memberikan seluruh dari dirimu untuknya.

  21. Untukmu yang ingin menjadi ahli ilmu namun malas mencatat, lupakah engkau pada Imam Syafi’i wahai pelajar? Beliau mengatakan, “Saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya karena mengajari saya. Saya mendengar darinya (guru) hadits atau pelajaran, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis diatasnya. Apabila sudah penuh tulisanya, saya menaruhnya didalam guci/botol besar yang sudah tua.”[1]

  22. Untukmu yang ingin menjadi ahli ilmu namun lebih sering disibukkan dengan nafsu dan syahwat, lupakah engkau wahai pelajar? Bahwa ilmu ,kata Waki’, adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.[2]

  23. Maka untuk mencapai hikmah, diperlukan perjuangan keras. Agar para pelajar dapat merasakan manisnya madu.

  24. Jika telah mendapatkan hikmah, maka Insya’ Allah para pelajar akan mengembangkan ilmunya sendiri berbekal hikmah yang dia dapatkan. Mereka akan bersemangat mencari hikmah dari apa-apa yang mereka pelajari. Sehingga ilmu yang mereka pelajari terasa memiliki ruh. Memiliki jiwa. Dan hidup.

  25. Dengan demikian ilmu tersebut akan menerangi dirinya dan sekitarnya.

  26. Tidak hanya usaha keras. Untuk mencapai hikmah, diperlukan pengorbanan.

  27. Pengorbanan untuk mengesampingkan rasa egois diri sendiri. Salah satunya menjauhkan diri dari segala hal yang bisa menyebabkan terhalangnya ilmu.

  28. Seperti smartphone yang senantiasa bunyi dan menganggu konsentrasi. Facebook dan media social. Tapi kan itu penting?

  29. Ya, penting. Namun tidak bisakah wahai engkau para pelajar, menyingkirkannya untuk sementara. Lalu engkau khusyuk dengan ilmumu? Jika engkau bisa khusyuk dengan smartphone dan social media, mengapa kau tidak bisa khusyuk dalam menuntut ilmu.

  30. Berikan SELURUH dirimu untuk ilmu, maka ilmu akan memberikan SEBAGIAN dari dirinya.

  31. Benarlah apa yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah dalam kitab fenomenalnya Al Hikam. “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang sudah diketahuinya, maka Allah akan mewariskan ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya,”

  32. Demikian secara konseptual. Insya’ Allah akan bersambung dengan studi kasus tentang menggapai hikmah.



    *Tulisan ini lebih tepatnya ditujukan untuk diri saya sendiri. Sayang sekali, saya baru memahami konsep ini setelah lulus kuliah.
  33. *****
    [1] Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (1/98), Ibnu Abdil Baar
    [2] I’anatuth Tholibin, 2: 190

    -Nir-
    Ditulis sebagai piket di Kajian Literasi

2 komentar: