Jaman dahulu ada seseorang yang
telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya. Pendengarannya telah lemah. Matanya
telah rabun. Dalam catatan sirahnya tersebut, Ustadz Firanda melanjutkan bahwa
tidak satu anggota tubuh orang itu yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang
itu berkata,
"Ya
Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa
syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan
Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau
ciptakan"
There is nothing happens wihout any
reason. Tidak ada
yang terjadi tanpa adanya sebab. Dan dari semua kejadian di dunia ini, bahkan
di akhirat nanti, Allah-lah yang berperan sebagai sebab utama, Causa Prima.
Setiap peristiwa yang kita hadapi,
entah bagaimana lika-likunya, entah bagaimana ia menyesakkan dada, entah
sepanjang apa waktu yang diperlukan, entah seluas apa kesabaran yang
diperlukan, pasti ada maksud dari Allah untuk kita. Dari peristiwa-peristiwa
tersebut, pastinya Dia ingin mendewasakan kita. Kuncinya hanya satu, yakin.
Percaya bahwa Allah akan mendewasakan kita agar siap menjadi hamba-Nya yang
pantas untuk berada di kelas yang lebih tinggi. Seperti saat kita sekolah.
Sebelum naik kelas, kita diharuskan untuk lulus dari ujian kenaikan kelas
bukan?
Dewasa yang saya maksud di sini
adalah kemampuan bersabar dan bersyukur atas kehidupan yang kita jalani. Seperti
yang dikatakan ‘Umar bin Khattab radhliallahuanhu.
Andaikan
sabar dan syukur
Adalah
dua tunggangan
Aku jadi
tak peduli
Mana yang harus kukendarai
Sabar dan syukur. Keduanya telah
lama saya dengar. Namun begitulah manusia, seringkali melupakan hal-hal
sederhana yang sebenarnya menjadi sebab kebahagiaan. Begitu juga saya. Lupa. Belakangan
ini, ada dua kalimat yang mengingatkan saya tentang sabar dan syukur.
Pertama, seseorang yang mengatakan
kepada saya bahwa sabar bukanlah kemampuan menunggu. Melainkan kemampuan untuk
bersikap baik selama menunggu. Betapa sering kita mendefinisikan sabar sebagai
kemampuan untuk menunggu saja. Selama menunggu, kita terkadang hanya bengong, gelisah
tanpa arah, dan khawatir terhadap masa depan tanpa melakukan apapun.
Kepada dia yang mengingatkan saya
tentang kesabaran, saya ucapkan terima kasih. Semoga Allah membalasnya dengan
sebaik-baik balasan.
Menunggu memang sesuatu yang
menghadirkan kegelisahan. Tetapi dalam penantian, ada banyak hal yang bisa kita
lakukan. Itulah susahnya. Setiap orang pasti telah, sedang, dan akan menanti.
Penantian apa? Banyak. Penantian
datangnya pertolongan Allah. Penantian datangnya hidayah Allah. Penantian
datangnya kemenangan. Penantian datangnya rejeki. Penantian datangnya awal
bulan untuk menerima gaji. Penantian selesainya jam kuliah saat diajar dosen
yang killer. Penantian datangnya buah hati bagi mereka yang telah
menikah. Penantian datangnya kesembuhan bagi mereka yang sakit. Penantian
datangnya jodoh yang telah lama didamba dalam do’a harian. Dan banyak penantian
lain.
Maka dalam penantian tersebut,
jangan sampai kita kalah oleh perasaan galau. Jangan sampai kalah oleh
kegelisahan. Jangan sampai kita kalah oleh penantian yang tidak produktif. Kita
bisa meningkatkan kualitas diri kita selama penantian itu. Dan yang paling
penting, kita bisa meningkatkan kepasrahan kita kepada Allah selama penantian.
Kita bisa saja berusaha sekeras apapun
yang kita mau. Tapi lupakah kita bahwa segala keputusan ada pada-Nya? Maka
dalam penantian, kita bisa melakukan istikharah. Memohon petunjuk kepada
Allah apakah sesuatu/seseorang yang kita tunggu memang benar-benar harus kita
tunggu di tepi kesabaran yang terus meluas setiap harinya. Meski kita tidak tahu
kapankah sesuatu/seseorang itu datang kepada kita. Apakah sesuatu/seseorang itu
memang harus kita perjuangkan sedemikian kerasnya? Istikharah!
Dan itulah sabar yang sesungguhnya. Sabar
yang semakin mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin karena itulah, dalam Al Qur’an
Surat Az-Zumar ayat 10, Allah menjanjikan pahala yang tanpa batas bagi
orang-orang yang bersabar. Karena selama menunggu, kita tetap bisa bersikap
baik. Karena selama menunggu, kita tetap mengutamakan Allah dalam segala hal.
Itulah hal yang tidak banyak orang bisa melakukannya.
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ
وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
-١٠-
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai
hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhan-mu.” Bagi orang-orang
yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu
luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa
batas.” (Q.S. Az-Zumar: 10)
Kedua adalah Panglima Besar Jenderal
Soedirman. Melalui sumber dari internet, saya menemukan nasehat yang dinisbatkan
kepada beliau.
“Kadang kita terlalu sibuk
memikirkan kesulitan-kesulitan sehingga kita tidak punya waktu untuk mensyukuri
rahmat Tuhan.”
Saya termenung begitu membaca
kalimat jenderal karismatik ini. Benar rasanya. Semoga Allah memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau.
Kita kadang memikirkan
kesulitan-kesulitan yang akan saya hadapi esok, lusa, dan seterusnya. Sehingga kita
lupa mensyukuri apa yang telah Allah berikan untuk kita, padahal sebagian besar
dari yang diberikan-Nya tidak pernah kita minta.
Pernahkah kita meminta mata yang
bisa melihat? Telinga yang bisa mendengar? Otak yang cerdas? Hidup di negara
yang merdeka dan kaya ini? Pernahkah kita meminta itu semua? Tidak. Tapi kita
seringali lupa mensyukurinya. Entah syukur dalam bentuk pujian kepada Allah maupun
dalam bentuk perbuatan sebagi bukti bahwa kita bersyukur atas nikmat-Nya. Kita lupa.
Kita juga sering meminta hal-hal
yang belum kita miliki. Padahal apa-apa yang telah kita miliki saat ini dulunya
juga merupakan hasil terkabulnya do’a-do’a kita kepada-Nya. Sayangnya kita
seakan lupa mengucapkan terima kasih atas terkabulnya do’a-do’a tersebut. Yang
ada setelah terkabul, kita meminta hal lain. Bukan meminta agar diberi
kemampuan untuk bersyukur.
Allah menjanjikan dua hal terhadap
sikap manusia terhadap nikmat yang Allah berikan kepada kita.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ -٧-
‘Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu
Memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan Menambah
(nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab
-Ku sangat berat.”’ (Q.S.
Ibrahim: 7)
Mari kita syukuri semua yang telah
kita miliki. Sebelum ia dicabut oleh pemiliknya. Selama ini kita masih memiliki
segala sesuatu bukan berarti kita PASTI sudah bersyukur dengan baik, tetapi
bisa jadi semua itu karena sifat-Nya yang Maha Pengampun. Dia masih ingin
memberikan kepercayaan kepada kita. Dia masih memberikan kesempatan kepada kita
barangkali kita menyadari sifat kufur lalu bertaubat.
Bagi yang bisa kuliah, syukurilah. Karena
betapa banyak dari anak negeri ini yang mendamba bangku kuliah namun terbatas
oleh biaya dan tanggung jawab keluarga.
Bagi yang telah bekerja, syukurilah.
Karena betapa banyak dari mereka yang mencari rupiah dari lahan-lahan yang
diharamkan oleh Allah.
Bagi yang telah merasakan indahnya
mencintai dan dicintai, syukurilah benih-benih yang menggetarkan itu, bawalah
ia dalam sujud. Bagi yang telah menikah, bersyukurlah karena sudah ada dia yang
mengiringi langkah.
Dan bagi yang mimpinya belum
tercapai, syukurilah. Mungkin saat ini rezeki yang diberikan Allah adalah
rezeki berupa kesempatan untuk berdo’a, bersabar, dan berusaha. Karena rezeki
itu banyak wujudnya. Tinggal kepekaan kita saja yang perlu dipertajam. Hidup
terasa indah bukan?
Sabar dan syukur. Dua hal yang
mungkin sering kita lupakan. Tulisan ini lebih tepatnya saya tujukan untuk mengingatkan
diri saya sendiri. Dua kalimat yang saya temukan belakangan ini, saya yakin,
bukan tanpa sebab Allah mempertemukan saya dengan keduanya. Kalimat-kalimat
yang mengingatkan saya tentang sabar dan syukur.
“Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini
tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan
kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan
baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka
yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh
Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).
Surabaya, 3
Januari 2016.
Malam hari usai hujan deras mengguyur kota.
Malam hari usai hujan deras mengguyur kota.
0 komentar:
Posting Komentar