Tulisan
ini saya buat dengan menjadikan ceramah Shalat Tarawih yang disampaikan oleh
Prof. Dr. Ir. Abdullah Shahab, MSc pada 17 Juni 2016/ 13 Ramadhan 1437 H
sebagai referensi utama. Namun demikian, akan tetap ada materi dari sumber lain
yang masih mempunyai korelasi.
Segala sesuatu di dunia ini
mempunyai idealitas masing-masing. Gajah mempunyai cetak biru sehingga ideal
untuk disebut gajah. Harimau mempunyai cetak biru sendiri sehingga ideal untuk
disebut harimau. Burung juga mempunyai idealitas sendiri sehingga ideal untuk bisa
disebut sebagai burung.
Kalau saja ada makhluk planet
luar angkasa yang datang ke bumi dan dia bertanya kepada kita tentang kelapa,
maka kita harus menunjukkan pohon kelapa yang asli. Pohon kelapa yang sudah
tumbuh tegak. Akarnya menghunjam, batangnya kokoh, serta yang buah kelapanya
banyak dan berisi. Tidak mungkin kita menunjukkan kepada alien tersebut pohon
kelapa yang masih berumur satu tahun, atau kita menunjukkan kelapa yang sudah
diparut. Tidak mungkin. Karena hal itu akan membuat definisi pohon kelapa yang
sebenarnya menjadi buram.
Kalau ada gajah yang tidak buas maka dia
bukanlah gajah yang sesungguhnya. Kalau ada harimau yang mempunyai sifat
malu-malu dan penurut seperti kucing maka ia adalah harimau yang kehilangan
jati dirinya. Dan jika ada burung yang hanya menggelepar di dalam sangkar, maka
ia bukanlah burung yang sebenarnya.
Oleh karena itu, gajah dan harimau yang
ada di dalam sirkus bukanlah mereka yang sesungguhnya. Dan seringkali manusia
adalah pihak yang membuat makhluk di muka bumi ini kehilangan jati dirinya.
Begitu pula dengan seorang muslim. Ada
cetak biru tertentu sehingga seseorang dikatakan sebagai muslim yang ideal. Ketika
kita berbicara ideal, itu sulit untuk dicapai. Karena dalam alam semesta ini,
sifat “ideal” hampir mustahil untuk dicapai. Tetapi kalau tidak bisa,
setidaknya kita berusaha untuk mendekati ideal. Dalam penyampaian materinya
yang padat, Prof. Abdullah Shahab menjelaskan bayangan yang muncul di kepala
beliau tentang muslim ideal.
1.
Tampan
Maka bagi Anda-anda yang
tidak tampan sebenarnya kurang ideal untuk menjadi seorang muslim. Anda harus
tampan. Karena para nabi dan rasul merupakan orang-orang yang rupawan dan
wajahnya bercahaya.
2.
Tubuhnya bersih
Sudah sepatutnya seorang
muslim terlihat bersih. Bajunya bagus dan terlihat rapi. Tidak awut-awutan.
Sedap dipandang. Parlente. Atau kalau tidak bisa demikian, minimal tidak
terlihat kemproh dan nggilani.
3.
Baunya harum
Seperti Rasulullah
shallaahu ‘alayhi wassalam. Ketika beliau meninggalkan rumah, maka yang
tertinggal di rumah adalah bau harumnya. Maka jangan sampai kita-kita di sini
malas mandi karena alasan kelelahan lalu beribadah kepada Allah dengan kondisi awut-awutan
dan badan masih bau. Kita persambahkan yang terbaik untuk Allah.
4.
Cerdas
Muslim harus cerdas. Bahkan
lulusan Ecole Centrale de Nantes, Prancis ini berani mengatakan kepada
mahasiswanya, “Haram hukumnya orang-orang beriman kalah cerdas dan kalah pintar
dibandingkan orang-orang yang tidak beriman. Saya meminta ampun kepada Allah
jika perkataan saya ini salah.
Tapi kalian tidak boleh
kalah dengan mereka. Adapun ketika kalian kalah cerdas, kalian seringkali
mencari alasan dengan mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena takdir
Allah. Tidak! Bukan! Demi Allah itu terjadi karena kalian yang membiarkan
mereka menjadi lebih cerdas. Tidak mungkin. Tidak mungkin Allah memihak kepada
mereka.”
Karena
bumi dan segala isinya diwariskan Allah kepada orang-orang beriman.
5.
Kaya
Orang muslim harus punya
duit yang banyak. Pak Shahab, demikian ia kerab dipanggil, tidak sepakat dengan
pendapat yang mengatakan bahwa jika seorang Muslim boleh miskin. Pasalnya,
seorang muslim dilarang untuk meminta-minta.
Memang benar, ada sebuah
riwayat hadits yang berbunyi,” Orang beriman yang miskin akan masuk surga
sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan lima
ratus tahun” [1]
Namun demikian, perlu
diperhatikan lagi perbandingan keadaan ini. Masalah ini akan dibahas lebih
panjang. Jadi bersabarlah, kawan.
Di jaman Nabi Muhammad saw
dulu, pernah ada suatu demonstrasi yang unik. Jika demonstrasi yang terjadi di
jaman sekarang ini dikarenakan orang-orang kaya berlaku dzalim dalam
menyalurkan hartanya, maka yang terjadi di jaman nabi adalah kebalikannya. Di
jaman itu, orang-orang miskin melakukan protes karena hati mereka tertekan atas
ketidaksanggupan mereka dalam menyamai pencapaian amal ibadah orang-orang kaya
yang juga beriman. [2]
Dari Abu Hurarirah radhiallahuanhu
dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah saw) pernah
datang menemui beliau saw, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah saw,
orang-orang (kaya) yang memiliki harta berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari
harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah ta’ala) dan kenikmatan yang
abadi (di surge), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan
shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa. Tapi mereka memiliki
kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad,
dan harta…”
Dalam riwayat Imam Muslim,
di akhir hadits ini Rasulullah saw bersabda, “Itu adalah karunia (dari) Allah
yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” [3]
Maka seorang muslim yang
ideal adalah yang kaya. Yang selalu dapat memberi tanpa pernah meminta. Yang
selalu memberi lebih banyak dari yang diminta. Yang selalu memberi sebelum
diminta. Yang selalu memberi sesuai dengan permintaan. Jika kita miskin, maka
kita tidak bisa mengambil pahala dari zakat, infaq, dan sedekah.
6.
Istrinya Cantik
Sudah menjadi suatu
kewajaran jika seorang yang tampan akan bersanding dengan seorang yang cantik.
Jika muslim yang ideal adalah pria yang tampan, maka sudah sepatutnya istrinya
cantik.
“Kalau ada yang mengatakan
‘nggak papa ustadz istri saya nggak cantik’, saya tidak yakin
kalau dia ikhlas waktu bilang begitu. Dia bilang begitu dengan penuh tekanan
batin. Kalau dia tidak menginginkan istri yang cantik, dia ini bukan jenis
manusia. Dia ini sepertinya jenis reptil.” ujar Pak Shahab bercanda yang
disambut tawa oleh jamaah di masjid.
7.
Anak-anaknya cerdas dan menggemaskan.
8.
Pandai mengungkapkan gagasan
Jika boleh, saya ingin
menambahkan poin ini. Bagaimanapun, seorang muslim adalah agen perubahan.
Tentunya agen perubahan perlu memiliki kemampuan untuk menyampaikan
gagasan-gagasannya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dimengerti,
mencerahkan, dan mendidik.
Lihatlah pemimpin-pemimpin
besar, kebanyakan dari mereka bisa membakar semangat juang para prajuritnya.
“Ajarkan sastra pada
anak-anakmu, agar yang pengecut bisa menjadi pemberani.“ Begitu nasehat ‘Umar bin Khattab ra.
“Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam…,” [4]. Perhatikan
bahasanya, berkata yang baik disebutkan terlebih dahulu. Jika tidak bisa
berkata baik, barulah kita memilih diam. Jika orang lain mengatakn silent is
golden, maka kita katakana talking good things is diamond.
Terakhir, Pak Shahab menutup
ceramah dengan sebuah cerita. Di sebuah kampung, terdapat seorang laki-laki
yang kerjaannya menganggur dan tidak bisa melakukan apa-apa. Saat itu dia
sedang duduk-duduk di masjid kampung. Sebut saja namanya Paijo.
Tiba-tiba datang seorang laki-laki dari
kota mampir ke masjid untuk shalat. Diajaklah Paijo untuk shalat. “Tidak bisa
shalat,” kata Paijo.
Entah bagaimana ceritanya, terjadilah
obrolan di antara mereka berdua.
“Saya ingin bekerja,” tutur Paijo.
“Sampeyan bisa apa?” tanya laki-laki yang
satunya. Paijo menggeleng. Bingung, karena ia tak mempunyai ketrampilan apapun.
“Bisa nyetir mobil?” Paijo tetap
menggelengkan kepala.
“Benerin rumah?” Paijo tetap setia pada
jawabannya, tak berusaha untuk merubah pendiriannya. Hingga akhirnya laki-laki
yang satunya mengajak Paijo untuk ikut ke rumah. Paijo diberi kursus untuk
mengendarai mobil.
Suatu saat, setelah Paijo sudah bisa
mengendarai mobil, mereka berada dalam perjalanan. Laki-laki tadi yang kini
menjadi bosnya Paijo mendengar adzan dan meminta untuk mampir ke masjid.
Sesampai masjid, si bos turun dari mobil. Paijo tetap duduk manis di kursi
mobil.
“Ayo Jo, shalat sekalian,” maka turunlah
Paijo untuk ikut melaksanakan shalat.
“Kamu biasanya shalat Ashar berapa
rakaat? Lima ralaat atau enam rakaat?” tanya si bos.
“Saya sih ambil yang lima rakaat aja,
Pak,” jawab Paijo polos.
“Ya udah, kali ini kamu dapat diskon.
Sekarang kamu shalat empat rakaat saja. Nggak usah lima rakaat,
sekali-sekali dikasih keringanan. Oke?” si bos memberikan tawaran yang
menggiurkan. Dengan semangat Paijo mengangguk.
Dalam shalat, justru si bos yang kurang
khusyuk. Karena ia ingin melihat bagaimana Paijo shalat. Saat sujud, si bos
sengaja memperlama waktu sujud. Ternyata Paijo sujud dengan khidmat. Tenang.
Tidak tergesa-gesa sedikitpun.
“Lihat saudara,” kata Pak Shahab
memberikan kesimpulan,”si bos ini berdakwah tanpa menggunakan ayat sama sekali.
Dia hanya memakai uang dan sudah mampu mengajak Paijo untuk melaksanakan shalat
dengan tenang.
Kita butuh uang. Duit kita harus banyak.
Bukan dengan maksud agar kita bergantung pada dunia. Tapi justru dengan uang,
kita bisa membebaskan diri kita kekangan-kekangan dunia. Bohong besar kalau
kita tidak butuh uang.
Lembaga pendidikan kita kekurangan uang
dan tertinggal. Sementara dana mereka mengalir deras lalu mereka hidup dalam
sejahtera. Fasilitas mereka memadai, sementara kita hidup kekurangan. Mereka
dengan uang mereka menyogok lembaga-lembaga negara. Sehingga lahirlah
pemimpin-pemimpin busuk yang akan menjerumuskan kita.”
Referensi
pendukung:
[1]
HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafidz Ibnu Thohir mengatakan
bahwa sanad ini hasan.
[2]
Isi kutbah Jum’at (17 Juni 2016/ 12 Ramadhan 1437 H) di Masjid Jenderal
Sudirman, Rungkut, yang disampaikan oleh Ustadz Drs. Djali Toyib.
[3]
HR. Bukhari no. 807dan 5970 dan HR. Muslim no 595.
[4]
HR. Bukhari Muslim dari Hadits Arba’in nomor 15 karya Imam An-Nawawi
-Nir-
Ruang
Utama Masjid Manarul ‘Ilmi
Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
NB:
Tulisan ini dibuat dengan kekurangan ilmu. Jika ada makna ceramah yang penulis
kurang tepat dalam mengintrepetasikannya, mohon diingatkan.
Edisi telat upload.
Wallahu’alam…
0 komentar:
Posting Komentar