Saat ini, aku bingung apakah harus bersedih ataukah senang? Sepertinya, selama satu tahun ke depan aku tidak akan melihat senyumnya yang menyenangkan bagi siapapun yang melihatnya. Senyum itu, senyum yang sedang kulihat saat ini, selalu mengembang dari bibirnya ketika bertemu dengan orang yang bertatap muka dengannya Senyum yang ikhlas dikembangkan oleh sang empunya. Sore ini, di sekretariat organisasi ini, aku menjadi saksi bahwa Allah memang Maha Adil. Ya, aku menjadi saksi.
Sudah tiga tahun aku bersamanya. Berbagai perjalanan hidup aku lalui bersamanya. Ada suka, duka, air mata, dan terkadang darah yang menjadi simphoni kebersamaan kami. Bukan, bukan pertumpahan darah yang aku maksudkan, tetapi cobaan dan masalah yang mendera kami hingga terkadang membuat hati dan tubuh kami terluka. Seperti grafik sinusoidal. Yang terkadang membawa kami ke titik puncak grafik, namun di saat lain membenamkan kami di lembahnya yang lebih rendah dari permukaannya.
Dia sahabatku, guruku, dan saudaraku. Banyak hal yang kusukai darinya. Salah satu yang kusuka darinya adalah kesederhanaannya. Kesederhanaan dalam bersikap dan berfikir dari dirinyalah yang paling aku suka. Dan aku yakin, keistimewaannya inilah yang mengantarkannya di tempat ini dan tempat yang akan dia tuju beberapa hari lagi.
Aku masih ingat ketika kami melakukan pengiriman bantuan untuk korban bencana alam. Saat itu truk yang mengangkut kami mengalami masalah pada mesinnya. Sayangnya, hujan turun dengan sangat deras. Kami semua turun dari truk dan berteduh di teras sebuah rumah kosong yang kami temui. Tidak ada lagi akses untuk ke sana. Hingga tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali menunggu hujan berhenti. Aku mendengar ada sebagian temanku yang menyalahkan hujan turun pada yang tidak tepat. Mengeluh tentang cuaca yang tidak bersahabat. Sebagian teman-temanku yang lain tampak berusaha mengistirahatkan tubuhnya yang mungkin kelelahan. Sebagai ketua organisasi dan penanggung jawab perjalanan ini, aku ingin memastikan bahwa timku lengkap, tidak kurang satu pun. Dan aku menyuruh mereka untuk tetap berteduh di teras rumah kosong ini.
Saat teman-teman yang lain masih ada yang menyalahkan hujan dan mengistirahatkan badannya, dia memandangi hujan dengan perasaan ragu. Matanya secara bergantian memandangi kardus-kardus makanan instan dan guyuran air hujan. Langkahnya maju mundur. Aku memperhatikannya. Tak lama kemudian, dia mengambil sebuah plastik besar, lalu memasukkan dua kardus makanan instan dan sekardus minuman mineral ke dalam plastik yang diambilnya tadi. Aku berjalan ke arahnya.
“ Jangan sekarang, Ndy! Hujan masih deras! Kau lihat kilatan-kilatan petir itu. Lagian udah dekat kok. Kita tunggu hujannya reda dulu aja! Baru kita antar sumbangan ini” Aku melarang Andy untuk mengantar sumbangan untuk korban bencana sendirian dan menembus hujan.
“ Terlalu lama, Jok ! Mereka sedang kelaparan. Anak-anak kecil sedang menangis dan merengek pada ibunya untuk disuapi makanan. Mereka menunggu bantuan dari kita.” Andy langsung menembus hujan, aku meneriakinya dan menyuruhna kembali. Tapi dia lenyap dari jangkauan pandanganku akibat hujan yang turun semakin deras. Garis-garis air hujan mengaburkan pandanganku. Aku mengkhawatirkannya.
Lima belas menit kemudian Andy kembali ke tempat kami berteduh dengan pakaian basah kuyup, kaki gemetar, dan nafas yang tersengal-sengal. Badannya bertumpu kedua kakinya. Sambil memasukkan kardus makanan dan minuman yang lain ke dalam plastik besar, dia mengatakan kepada kami bahwa para korban sangat membutuhkan bantuan makanan untuk saat ini. Aku dan teman-teman masih ragu. Andy membaca keraguan kami. Dia menatap kami dan gilanya dia kembali lari menembus hujan. Aku bingung. Aku ingin membantu Andy, tapi bagaimana kalau... Ah, tidak ada alasan yang jelas bagiku untuk tidak membantu Andy.
*Ketika semua sumbangan sudah diantarkan ke lokasi bencana.*
Aku memeluk Andy erat-erat. Aku minta maaf kepadanya karena telah sempat membiarkannya berjuang sendirian untuk mengantarkan sumbanagn-sumbangan itu kepada para korban bencana alam. Sebagai pemimpin, aku malu pada Andy dan diriku sendiri. Aku mengungkapkan rasa maluku kepadanya.
“ Iman dan malu itu tidak bisa dipisahkan. Saling melengkapi. Tanpa salah satunya, tidak artinya. Syukurlah kalau kamu masih punya malu, berarti kamu masih punya iman. Hehehe.” Katanya dengan bercanda seolah menganggapnya biasa. Mungkin bagi dia biasa, tapi tidak bagiku. Inilah salah satu yang kusuka darinya. Tidak perlu banyak kata yang doibral, dia banyak melakukan sesuatu. Ah, Ndy, kaulah yang sebenarnya pantas menjadi pemimpin.
Aku juga ingat ketika dia duduk kuliah di sebelahku dengan tenang menyimak penjelasan dosen tentang Mekanika, sedangkan aku sibuk dengan laporan praktikum yang sampai pembahasan saja belum. Dia melirik ke arahku dan berkata dengan tenang dan kalem, tapi membuatku menertawakan diriku sendiri.
“ Makanya, dicicil dikit-dikit kan enak. Daripada gini, langsung ngerjain rombongan. Kan jadi kewalahan sendiri. Sesuatu yang besar itu dimulai dari yang kecil.”
“ Tapi nggak sempat lho, Ndy! Tugasku banyak banget. Belum tugas kuliah sama organisasi, ditambah presentasi ke dosen...” Aku protes.
“ Tapi sampai kapan kamu gini terus, Jok? Perasaan setiap hari Selasa kamu mesti bingung sama laporan aja .Kuliah, berorganisasi, dan bermasyarakat itu baik. Sangat baik. Tapi semua itu kan udah ada porsinya. Kalau nggak sesuai porsi atau berlebihan kan nggak bagus.” Aku mau bersuara tapi dia segera menambahkan.
“ Ingat Surat ar Ra’d ayat 11 ! Dan jadikan kepemimpinanmu di organisasi sebagai sarana bagimu untuk meningkatkan kemampuanmu, bukan untuk menjadi alasan atas kelalaian yang kau buat sendiri.” Aku terdiam. Astaghfirullah. Ndy, terima kasih kau telah mengingatkanku.
Saat ini, detik ini, di acara yang diadakan untuk melepas keberangkatan sahabatku yang mendapat beasiswa ke Prancis, aku melihatnya sedang bercanda dengan teman-teman yang lain. Aku akan merindukan senyummu, nasehat-nasehatmu, dan ide-ide gilamu, Ndy. Berangkatlah! Belajarlah dan selami samudera ilmu yang kau impikan itu.
semangat mas nanda... antum juga bisa.
BalasHapusIya, Ris. Ini catetan lama. Makasih. Udah dapet pembicara buat Art of Wrtingnya?
Hapus