Kamis, 29 Desember 2011

Di Hampir Seperlima Abad yang Tengah Berlangsung

Di sudut sebuah masjid kampus, aku sendirian. Tak seperti biasanya yang ada teman di samping kiri dan kananku untuk kuajak bicara. Tapi kali ini masjid benar-benar sepi. Aku pun hanya salah satu dari segelintir orang yang ada, itu pun jarak antara aku dengan orang lain berjauhan satu sama lain. Kusandarkan punggungku pada sebuah tiang masjid, meluruskan tulang punggung yang terasa lelah. Pikiranku tak mau diam, mengembara dan membuka klise-klise ingatan di masa lalu.


Kudiamkan diriku untuk mengingat perjalanan hidup yang telah kulalui. Membuka lembar-lembar ingatan akan peristiwa-peristiwa yang kualami dalam hidupku dari dulu hingga aku berada di detik ini. Menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan menghubungkan antara kejadian satu dengan yang lain dan mengambil suatu kesimpulan atas apa yang telah terjadi.Ada suka, ada duka, ada cita-cita, ada minder, ada cinta, ada harapan, ada luka yang menyayat, ada darah, ada air mata dan ada yang lainnya yang menjadi lanskap kehidupan yang telah kujalani. Semuanya  mengisi dimensi ruang dan waktu dalam takdir yang telah ditetapkan pada diriku.

Seharusnya ini telah manjadi masa lalu. Seharusnya ini tak pernah terjadi lagi kini, tak boleh terulang. Penyesalan demi penyesalan yang dulu sering kurasakan akibat kelalaianku sendiri, kini hadir kembali dalam hidupku. Penyesalan itu memenuhi rongga dadaku, menyesakkan hatiku, dan mengganggu kinerja otakku. Yang lebih membuatku menyesal adalah tidak ada satupun yang mengundang penyesalan itu hadir kembali, kecuali aku sendiri. Janji-janji dan rencana  yang kususun rapi agar penyesalan itu tidak terulang, pada akhirnya selalu saja hanya menjadi konsep belaka tanpa realita. Dan kini, kembali penyesalanlah yang menjadi realita. Selalu begitu, dari dulu.

Hampir seperlima abad sudah aku menjalani hidup. Dan selama itulah seharusnya aku mampu belajar dari kehidupan ini agar aku mampu menjadi diriku sendiri dan agar aku berada “ di tempat” di mana seharusnya aku berada. Aku kira aku telah berada pada garis finish dari suatu perlombaan yang mengutamakan kecepatan. Aku pikir tinggal jalan lurus yang terlihat mulus yang akan kutempuh untuk sampai pada tujuanku. Aku kira aku telah berhasil. Ternyata aku salah. Aku belum sampai pada tujuanku. Perjalananku masih panjang.

Garis yang baru saja kuinjak ternyata bukanlah garis finish, melainkan garis yang menunjukkan bahwa aku telah menempuh perjalanan sekian meter dari yang seharusnya kutempuh. Jalan lurus yang terlihat mulus tadi ternyata tidak semulus yang kukira pada awalnya. Pada kenyataannya, jalan itu terlihat mulus jika kulihat dari kejauhan, tapi begitu kulihat dari jarak dekat batu cadas dan kerikil tajam berserakan.  Kerikil tajam dan batu cadas siap melukai kakiku lagi. Ternyata darah dan air mata itu  akan tetap mengalir.

Udara di luar begitu dingin. Desau angin yang bertiup, membuat daun-daun yang ada pada pohon-pohon di pinggir jalan saling bergesekan sehingga sedikit merubah suasana sunyi menjadi berisik. Titik-titik air perlahan turun dari langit dan membasahi bumi. Aroma segar tanah basah menyentuh syaraf indera penciumanku. Sunyi begitu terasa. Tiba-tiba ada rasa rindu yang menyelinap pelan masuk ke dalam hatiku. Mungkin benar kata salah satu seorang sastrawan idolaku, bahwa hujan selalu mengundang rindu. Entah pada apa dan siapa.

Ada yang sedang kurindukan saat ini.  Apa? Ketenaran ? Kata DR. Aidh Al Qarni, mencari ketenaran adalah penyakit kronis yang harus dihilangkan. Jabatan ? Kata orang pintar, jabatan itu amanah yang berat. Harus orang yang ahli untuk memegangnya. Dan masih banyak orang-orang yang lebih ahli di dunia ini. Harta ? Memang saat ini hampir seluruhnya membutuhkan harta, tapi bukan berarti harus harta yang menjadi tujuan utama dalam hidup ini. Pacar cantik? Tidak, tidak. Lalu apa?

Yang kurindukan adalah kemenangan. Kemenangan yang hadir sebagai akibat dari kekalahan demi kekalahan, kegetiran demi kegetiran yang telah menimpaku di masa lalu hingga kini. Kemenangan yang hadir akibat do’a- do’a yang kupanjatkan pada Tuhan. Tapi hingga kini, setumpuk sesal yang terpendam akibat kemenangan itu belum hadir masih sering menghantuiku.

Semangatku pun mengalami fluktuasi seperti kurva arus bolak-balik pada Pelajaran Fisika. Kadang ia membuatku membawaku ke puncak kurva sehingga akudapat meilhat semuanya terlihat menjadi mudah. Terkadang aku berada di lembah kurva hingga tak ada apapun yang dapat kulihat.

Sebenarnya, saat ini aku ingin menenangkan diri sejenak. Menjauh dari persoalan-persoalan yang ada. Menjauh dari rumus-rumus yang terkadang membuatku pusing, menenangkan diri dari sesal atas diri yang tak seideal yang kuinginkan, atas hari yang tak sesempurna yang kurencanakan, dan menenangkan diri dari seluruh yang menyesakkan dada. Tapi selalu dan selalu, penyesalan itu selalu muncul. Padahal dalam keadaan seperti ini aku ingin tenang. Tapi pada akhirnya, aku kembali jatuh pada kubang penyesalan.

Detik demi detik berlalu, menit demi  menit terus melaju, jam demi jam berganti.Seperti itulah waktu, terus mengalir tanpa pernah kembali ke posisi di mana sebelumnya dia berada. Aku juga sadar bahwa waktu bukanlah besaran vektor yang mempunyai arah untuk dapat kembali ke titik yang lebih negatif daripada titik di saat kita berada. Aku juga sadar bahwa dimensi waktu tak pernah berhenti, ia selalu bergerak. Apa pun itu kondisi kita, waktu tetap bergerak.

Rasanya aku mulai menemukan sumber penyesalan-penyesalan yang selalu menggangguku. Ya, dialah waktu. Entah sudah berapa juta detik yang kubunuh hanya untuk mengistirahatkan tubuhku yang sebenarnya belum berhak untuk beristirahat. Tak dapat kuhitung berapa kali kubiarkan waktuku mengendap, mengkristal, lalu membeku untuk menciptakan sebuah es yang bernama penyesalan pada akhirnya. Aku tak dapat menghitung berapa kuantitas waktu yang kusia-siakan, karena itu tak mungkin bagiku dapat menghitungnya. Tapi efek samping secara kualitas diriku, dapat kurasakan jika jumlah waktu yang tersia-siakan itu dikumulatifkan.

Hujan masih turun, kemerlap lampu jalanan kampus sedikit buram. Aroma segar tanah basah masih tercium. Beberapa orang baru saja mulai memasuki masjid. Beberapa yang lain mengenakan jaket dan ada juga yang tertidur, mungkin kelelahan setelah beribadah dari tadi. Tentu saja ada alasan bagi mereka yang baru masuk ke masjid mengapa baru tiba, ada alasan bagi mereka yang mengenakan jaket, ada alasan bagi mereka yang tidur, dan ada alasan bagi mereka yang masih terjaga. Apa pun alasannya, salah satunya adalah mereka tetap ingin survive dalam kehidupan ini. Begitu pula aku, ada alasan untuk duduk dan tetap bertahan di sini.

Ada alasan mengapa aku memanjatkan do’a pada Tuhan. Di sini, di masjid ini, aku sering mengadu pada Tuhan tentang cita-cita, cinta, dan harapan. Kadang juga tak dapat kutahan lelehan air mataku akibat hal-hal yang kuadukan kepada-Nya. Aku sadar, aku memang lemah. Karena-Nya aku selalu mengadu pada-Nya. Aku selalu butuh pertolongan dari-Nya dalam menjalani kehidupan ini.

Tapi baru saja aku sadar terhadap hal baru, ada yang terlupa dalam bait-bait do’aku. Begitu banyak pengaduan yang kusampaikan pada-Nya, tapi sedikit sekali kutemukan rasa terima kasih pada Dzat Yang Telah Memberiku Kehidupan. Bodoh, betapa seringnya aku memohon dan mengadu pada-Nya secara khusus untuk hajat tertentu, namun jarang sekali aku bersyukur secara khusus atas tercapainya hajat tersebut. Yang ada, setelah hajat itu dikabulkan aku memohon untuk kelancaran hajat berikutnya tanpa mengucapkan rasa terima kasih yang dalam atas keberhasilan hajat sebelumnya. Beruntung Tuhan adalah Dzat yang Maha Pengampun, sehingga dia tetap sudi memberiku  keniscayaan-keniscayaan atas do’a yang kupanjatkan.

Kini, penyesalan itu tak sedalam tadi. Aku pun sudah tak sendirian lagi. Dua orang sahabatku datang menghampiriku dan mengajak ngobrol bareng. Hujan juga sudah mulai mereda. Harapan itu selalu ada. Keajaiban selalu ada bagi mereka yang meyakininya. Kekalahan dan kegetiran itu akan berubah menjadi kemenangan dan kebahagiaan.

Do’a-do’a yang terpanjat akan dikabulkan. Dan aku akan berada di mana  tempat seharusnya aku berada. Walau aku tak tahu kapan itu terjadi, di mana aku berada saat itu, bagaimana jalan yang kulalui untuk sampai ke sana, dan dengan siapa aku di sana. Karena aku tidak sendiri dalam perjalanan hidup ini. Aku masih punya Tuhan Yang Terlalu Pengasih untuk membiarkan aku selamanya terluka. Dia-lah yang menjadi sebab utamaku untuk bertahan. Dan di sana,aku masih punya sahabat-sahabat yang terlalu lembut hatinya untuk membiarkanku berjalan sendirian dan tersesat.


Nb: Cahaya harapan dan kemenangan sebenarnya telah terbit. Hanya saja, terkadang mata kita terlalu untuk melihat cahaya tersebut.


Surabaya, 070910
Alur cerita Terinspirasi dari www.kemudian.com/node/106827

2 komentar:

  1. kemampuan kita memang terbatas.. tapi pertolongan Allah tak pernah terbatas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siip. Insya Allaah.
      Wa mayyattaqillaaha yaj'allahu makhraja. Semoga masuk ke dalam golongan yang bertakwa. Aamiin

      Hapus