Jumat, 30 Desember 2011

Hati-Hati Dengan Mereka !

Seorang gadis dengan dengan tubuh langsing, berkulit putih, wajah tirus, alis mata melengkung, mata bulat hitam, bulu mata panjang lentik, bibir merah agak tipis, rambut lebat lurus. Dengan diskripsi seperti itu, akan banyak wanita yang mendambakan “kecantikan” seperti itu. Seperti itulah definisi kecantikan yang dipahami oleh kebanyakan wanita saat ini.


Jika kita mau menengok ke belakang, kita akan temukan  bahwa definisi cantik pada wanita mengalami pergeseran dari waktu ke waktu yang lain. Pada abad ke 17-18, predikat wanita cantik diberikan kepada mereka yang memiliki bongkahan lemak pada daerah tertentu. Hal ini dapat disimpulkan dengan banyaknya lukisan-lukisan wanita gemuk di jaman tersebut.

Kemudian pada tahun 80-an, definisi cantik tersebut pada wanita yang memilki tubuh setipis papan. Hingga pada tahun 90-an cantik diidentikkan dengan tubuh yang cukup berisi dan agak berotot seperti yang dimiliki Jennifer Lopez. Lalu manakah yang benar? Mengapa definisi cantik mengalami pergeseran? Saya akan menjawabnya dengan pertanyaan. Dari mana masyarakat dapat menyimpulkan bahwa cantik seperti itu? Bukankah masyarakat menyimpulkan berdasarkan informasi yang didapat terus-menerus? Rasanya media menjadi jawaban dari semua pertanyaan itu. Bagaimana bisa?

Kawan, tahukah engkau berapa banyak iklan makanan dan minuman yang memperlihatkan modelnya sedang makan dan minum sambil berdiri dengan tenangnya? Tidak duduk, bahkan ada yang sambil berjalan. Ironisnya, mereka melakukannya sambil senyum dan ketawa gembira juga. Saya tidak mau menyebut merk, tapi mungkin kau bias menerka-nerka sendiri.

Padahal bersabda Nabi saw dari Abu Hurairah, ”Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” (HR. Muslim)

Namun hal itu menjadi hal yang biasa dalam pola pikir masyarakat kita. Karena contoh yang mereka lihat setiap hari seperti itu, sehingga mereka mengira itulah yang pantas dan benar untuk ditiru. Dan sekarang coba kita perhatikan berapa banyak orang yang makan dan minum sambil berdiri? Dan parahnya, di kampus saya banyak juga yang menggunakan tangan kiri.

Studi kasus lain. Sinetron, film, iklan, dan media-media hiburan lainnya banyak menayangkan tentang “indahnya” menjalin cinta secara berlebihan dengan lawan jenis sebelum menikah. Berpacaran. Bahkan pernah saya sekilas tahu ada sinetron dan video klip yang menunjukkan anak SD sudah berpacaran dengan lawan jensinya. Tahukah engkau akibatnya, kawan? Tidak sedikit remaja kita yang memiliki pola pikir bahwa inilah pemuda yang ideal. Punya kekasih yang rupawan dan hubungan mereka “romantis”. Menjalani hari-hari indah hanya berdua. Ah, dunia seakan-akan milik kita berdua. Begitu kata mereka. Di sini, walaupun saya tidak bisa memberikan definisi pasti tentang pacaran. Anda bisa memahami sendiri kan?

Pemuda-pemudi yang tidak pacaran dengan alasan tidak mau melanggar ajaran agama (bukan karena nggak laku, kalau ini mah beda lagi) dianggap sok suci, munafik, kuno, ketinggalan jaman, kolot, atau apalah. Pacaran terlihat salah satu syarat wajib hidup ideal (Ideal dari mananya?).  Tak heran jika pada akhirnya, anak-anak SD tidak sedikit yang sudah pacaran. Dan mereka menganggap itulah jalan yang terbaik. Dari pacaran naik ke tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya, statistik nominal jumlah seks pra nikah meningkat.

Kasus yang lain, video klip, acara musik, dan pemberitaan di media cetak ataupun elektronik banyak dan sering mengabarkan tingkah laku keseharian  BANYAK (saya tidak menyebut semua) artis yang hidup glamor dan suka-suka gue. Masyarakat awam dengan lahap menyantap asupan "gizi" tersebut tanpa filter. Akibatnya, mereka menganggap apa yang dilihat, didengar, dan dicontohkan setiap hari adalah yang benar dan mebuat hidup menjadi bahagia.

Kawan, sebenarnya masih banyak lagi studi kasus yang lain. Tapi untuk kali ini memberikan tiga studi kasus di atas. Kenapa media begitu besar pengaruhnya pada suatu peradaban? Karena di jaman yang serba canggih saat ini, informasi dengan mudah dapat kita perolah. Informasi-onformasi yang ditampilkan dari KEBANYAKAN media pun juga tidak jauh beda. Akibatnya, masyarakat menontonnya ya “itu-itu” saja.  Ditampilkan di banyak tempat dan dilakukan berulang kali. Dalam ilmu psikologi, ada teori yang menyebutkan bahwa “Sesuatu yang selalu divisualisasikan manusia akan mudah terekam dalam pikiran bawah sadar. Lalu muncul kekuatan pikiran tersebut, yang berperan sebagai penghubung antara jiwa dengan tubuh. Sehingga tubuh pun bereaksi dengan mengerahkan seluruh potensi yang sebelumnya tidak pernah digunakan, dalam bentuk kreatifitas atau tindakan…”

Jika apa yang sering dilihat dapat membentuk pola pikir seseorang, maka pola piker akan mampu membentuk kehidupan seseorang. Kaisar Romawi jaman dahulu, Marcus Aurelius Antonius mengatakan, “Kehidupan manusia ialah bagaimana mereka memikirkannya,”

Kawan, mengikuti perkembangan media tidak ada salahnya. Ingin mengetahui perkembangan jaman tidak ada yang melarang. Yang tidak bijak adalah mengikuti dan menelan mentah-mentah apa yang telah disajikan media tanpa klarifikasi. Skeptis (bertanya-tanya tentang kebenaran suatu hal), sifat itu mungkin kita butuhkan. Tidaklah bijak jika kita mengkonsumsi obat mag untuk mengobati rasa pusing di kepala. Semua tentu ada petunjuk serta akal pikiran dan hati nurani kita tentu mampu menimbang perlu tidak kita mengkonsumsinya. Pun demikian dengan penyikapan kita terhadap media.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al Hujuraat:6]

Wallahu’alam bishowwab
Sby, 051111

0 komentar:

Posting Komentar