Jumat, 11 Desember 2015

Apakah Kau Mempunyai Amal yang Bisa Dibanggakan di Hadapan-Nya?


Allah tahu apa yang kita butuhkan. Dia menuntun kita ke dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya mendewasakan kita. Namun tampaknya benar apa yang disimpulkan oleh Andrea Hirata tentang teori realtivitas Einstein.

“Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong—ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup.”

Bahwa sebenarnya Allah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap manusia untuk tumbuh dewasa secara fisik maupun secara psikis. Secara jiwa maupun secara raga. Namun yang membedakan adalah bagaimana manusia menangkap tanda-tanda bahwa dia sedang diuji untuk menjadi dewasa. Ada yang tidak tahu. Ada yang tidak sadar. Ada yang tahu namun tidak sadar. Dan yang paling mengenaskan adalah mereka yang tidak tahu dan tidak sadar karena hati mereka telah mati.

Siang ini, saat shalat khutbah Jum’at, sang khatib mengingatkan saya pada sebuah hadits yang sangat panjang. Hadits tersebut berbunyi,

Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan amalan baik mereka.”

Salah seorang dari mereka berkata, “Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku pulang ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman tersebut. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar  mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang yang lain pun berdo’a, “Ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat menginginkannya. Namun ia menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku (karena sedang butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun pemberian itu dengan syarat ia mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau. Sampai ketika aku ingin menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal bagimu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal dengan nikah, bukan zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi meninggalkannya padahal dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas (dinar) yang telah kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka lagi, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)

Saya termenung. Mereka mempunyai amal yang bisa mereka banggakan di hadapan Allah. Sedangkan apakah yang bisa saya banggakan di hadapan Allah? Sekali lagi di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Tiba-tiba saya merasa menyesal atas banyak hal.

Adakah semua yang saya lakukan diterima oleh Allah? Pertanyaan itu berkali-kali menggema dalam hati saya. Lantas saya ingat-ingat, apakah sekiranya yang sudah saya lakukan selama ini dan mampu mengantarkan saya kepada ridha-Nya?
Belajar di sekolah, aktif di kegiatan kampus, bekerja hingga lembur, presentasi mengagumkan di hadapan banyak orang, meraih pengakuan sosial, apakah saya melakukan itu semua untuk Allah? Ataukah untuk dunia?

Saya khawatir bahwa semua yang saya lakukan tidak mampu mengantarkan saya untuk meraih ridha-Nya. Saya takut kalau apa yang selama ini saya anggap untuk memperjuangkan ajaran-Nya hanyalah untuk mendapatkan penghargaan manusia.

Lalu saya teringat tentang perkataan seorang ulama. Bahwa amal-amal kita sejatinya tidak akan pernah mengantarkan kita untuk mendapatkan surga-Nya. Karena tidak sebanding. Hanya rahmat-Nyalah yang mampu membantu kita untuk meraih surga-Nya.

‘Umar bin Khattab ra. Pernah mengatakan,

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh ALLAH SWT kelak. Bersiaplah menghadapi Hari Perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika di dunia.”  [Lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi].

Ya Allah, sekiranya aku ingat-ingat kembali amal-amalku, amalan apakah yang kelak bisa menolongku ketika aku berhadapan dengan-Mu? Amalan apakah yang bisa aku persembahkan untuk melapangkan kuburku kelak?

Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa fil 'akhirati hasanatan waqina 'adhaban-nar.
Surabaya, 11 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar