Allah tahu apa yang kita butuhkan.
Dia menuntun kita ke dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya mendewasakan
kita. Namun tampaknya benar apa yang disimpulkan oleh Andrea Hirata tentang
teori realtivitas Einstein.
“Jika hidup ini seumpama rel kereta
api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang
menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam
gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat
mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen
itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu
relatif tergantung kecepatan gerbong—ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang
sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman
yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif
satu sama lain.
Banyak orang yang panjang
pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek
mencerahkan sepanjang hidup.”
Bahwa sebenarnya Allah memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap manusia untuk tumbuh dewasa secara fisik
maupun secara psikis. Secara jiwa maupun secara raga. Namun yang membedakan
adalah bagaimana manusia menangkap tanda-tanda bahwa dia sedang diuji untuk
menjadi dewasa. Ada yang tidak tahu. Ada yang tidak sadar. Ada yang tahu namun
tidak sadar. Dan yang paling mengenaskan adalah mereka yang tidak tahu dan
tidak sadar karena hati mereka telah mati.
Siang ini, saat shalat khutbah Jum’at,
sang khatib mengingatkan saya pada sebuah hadits yang sangat panjang. Hadits
tersebut berbunyi,
“Ada tiga orang dari orang-orang
sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir
bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah
sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya.
Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari
batu besar tersebut kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan
menyebutkan amalan baik mereka.”
Salah seorang dari mereka berkata,
“Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan
aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum
memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada
keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di
tempat yang jauh. Ketika aku pulang ternyata mereka berdua telah terlelap
tidur. Aku pun memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun
enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya
aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika
Shubuh, dan gelas minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah
keduanya bangun lalu mereka meminum minuman tersebut. Ya Allah, jikalau aku
mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah
kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu
besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari
goa.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, lantas orang yang lain pun berdo’a, “Ya Allah, dahulu ada puteri
pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat menginginkannya. Namun ia
menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku (karena sedang
butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun pemberian itu dengan syarat ia
mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau. Sampai ketika aku ingin
menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal bagimu membuka cincin
kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal dengan nikah, bukan
zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi meninggalkannya padahal
dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas (dinar) yang telah
kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan
niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang
kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba
terbuka lagi, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah
mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun
ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan
hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata
padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata
padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah
dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai
hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak
sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan
menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku
mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka
lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi
kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan
berjalan.
(Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)
Saya termenung. Mereka mempunyai
amal yang bisa mereka banggakan di hadapan Allah. Sedangkan apakah yang bisa
saya banggakan di hadapan Allah? Sekali lagi di hadapan Allah, bukan di hadapan
manusia. Tiba-tiba saya merasa menyesal atas banyak hal.
Adakah semua yang saya lakukan
diterima oleh Allah? Pertanyaan itu berkali-kali menggema dalam hati saya.
Lantas saya ingat-ingat, apakah sekiranya yang sudah saya lakukan selama ini
dan mampu mengantarkan saya kepada ridha-Nya?
Belajar di sekolah, aktif di
kegiatan kampus, bekerja hingga lembur, presentasi mengagumkan di hadapan
banyak orang, meraih pengakuan sosial, apakah saya melakukan itu semua untuk
Allah? Ataukah untuk dunia?
Saya khawatir bahwa semua yang saya
lakukan tidak mampu mengantarkan saya untuk meraih ridha-Nya. Saya takut kalau
apa yang selama ini saya anggap untuk memperjuangkan ajaran-Nya hanyalah untuk
mendapatkan penghargaan manusia.
Lalu saya teringat tentang perkataan
seorang ulama. Bahwa amal-amal kita sejatinya tidak akan pernah mengantarkan
kita untuk mendapatkan surga-Nya. Karena tidak sebanding. Hanya rahmat-Nyalah
yang mampu membantu kita untuk meraih surga-Nya.
‘Umar bin Khattab ra. Pernah mengatakan,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian
dihisab oleh ALLAH SWT kelak. Bersiaplah menghadapi Hari Perhitungan yang amat
dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan terasa ringan bagi orang yang
selalu menghisab dirinya ketika di dunia.” [Lihat
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi].
Ya Allah, sekiranya aku ingat-ingat
kembali amal-amalku, amalan apakah yang kelak bisa menolongku ketika aku
berhadapan dengan-Mu? Amalan apakah yang bisa aku persembahkan untuk
melapangkan kuburku kelak?
Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa
fil 'akhirati hasanatan waqina 'adhaban-nar.
Surabaya,
11 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar