Kamis, 17 Desember 2015

Untuk Mereka yang Bertanya “Kapan Menikah?”


           Tak ada yang tidak memerlukan proses. Semuanya memerlukan proses. Bahkan peristiwa penurunan kitab suci pun memerlukan proses yang bertahap, tidak langsung turun sekaligus. Tentunya, penurunan kitab suci secara bertahap ini juga mengandung hikmah yang besar. Salah satunya adalah untuk menjadi pelajaran yang lebih berkesan, karena ia turun saat diperlukan. Ia menasehati saat hati manusia membutuhkannya.


            Hidup kita pun begitu. Memerlukan proses. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditujukan ke kita pun memiliki proses. Pada usia tertentu, kita akan ditanya tentang bercita-cita menjadi apa, sekolah di mana, kuliah di mana, setelah lulus kuliah akan melakukan apa, kapan menikah, kerja di mana, anaknya berapa, dan seterusnya.
            Di usia saya saat ini, saya berungkali mendaatkan pertanyaan “Kapan menikah?” Satu kali, dua kali, tidak masalah saya menjawabnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, pertanyaan itu datang secara terus-menerus dari orang yang berbeda-beda. Bahkan ada beberapa kawan yang sama, menanyakan hal tersebut berulangkali.

            Pertanyaan tersebut semakin gencar saya terima. Terlebih mulai banyak undangan yang berdatangan kepada saya. Pada kondisi tertentu, saya merasa lelah juga dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan terkadang saya ikut menjadi galau. Seakan-akan hidup ini kurang sempurna tanpa ada pasangan hidup yang resmi. Memang benar juga sih. Maaf keceplosan.

            Dulu, saya menghadapi pertanyaan itu dengan senyuman dan penjelasan yang panjang. Dan saat ini, jika pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya (lagi), maka Insya’ Allah akan saya jawab,

            “Aku sedang menunggu seorang gadis shalihah yang saat ini sedang mengejar mimpinya. Kami akan saling mengenggam jemari masing-masing dengan erat untuk menuju ke surga. Dan kami akan memiliki anak yang mampu mengembalikan peradaban Islam di muka bumi, Insya' Allah.”[1]

            Siapakah dia? Inginkah kau mengetahuinya? Ah, kawan. Lihatlah. Kita, manusia, seringkali menjadi ingin tahu urusan orang lain melebihi keinginan kita untuk mengetahui urusan diri kita sendiri. Walaupun aku sendiri masih belum tahu dia itu siapa dan ada di mana.

Catatan:
[1] Diadaptasi dari jawaban Najmuddin, ayah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, saat beliau ditanya tentang waktu menikah.

Tulisan ini saya dediskasikan kepada seseorang yang kusemogakan pada-Nya. Walaupun saya sendiri masih belum tahu dia itu siapa, bagaimana, dan ada di mana.

Surabaya, 17 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar