Tak
ada yang tidak memerlukan proses. Semuanya memerlukan proses. Bahkan peristiwa
penurunan kitab suci pun memerlukan proses yang bertahap, tidak langsung turun
sekaligus. Tentunya, penurunan kitab suci secara bertahap ini juga mengandung
hikmah yang besar. Salah satunya adalah untuk menjadi pelajaran yang lebih
berkesan, karena ia turun saat diperlukan. Ia menasehati saat hati manusia
membutuhkannya.
Hidup kita pun begitu. Memerlukan
proses. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditujukan ke kita pun memiliki
proses. Pada usia tertentu, kita akan ditanya tentang bercita-cita menjadi apa,
sekolah di mana, kuliah di mana, setelah lulus kuliah akan melakukan apa, kapan
menikah, kerja di mana, anaknya berapa, dan seterusnya.
Di usia saya saat ini, saya berungkali
mendaatkan pertanyaan “Kapan menikah?” Satu kali, dua kali, tidak masalah saya
menjawabnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, pertanyaan itu datang secara
terus-menerus dari orang yang berbeda-beda. Bahkan ada beberapa kawan yang
sama, menanyakan hal tersebut berulangkali.
Pertanyaan tersebut semakin gencar
saya terima. Terlebih mulai banyak undangan yang berdatangan kepada saya. Pada
kondisi tertentu, saya merasa lelah juga dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Bahkan terkadang saya ikut menjadi galau. Seakan-akan hidup ini kurang sempurna
tanpa ada pasangan hidup yang resmi. Memang benar juga sih. Maaf keceplosan.
Dulu, saya menghadapi pertanyaan itu
dengan senyuman dan penjelasan yang panjang. Dan saat ini, jika pertanyaan
tersebut ditujukan kepada saya (lagi), maka Insya’ Allah akan saya
jawab,
“Aku sedang menunggu seorang gadis
shalihah yang saat ini sedang mengejar mimpinya. Kami akan saling mengenggam
jemari masing-masing dengan erat untuk menuju ke surga. Dan kami akan memiliki
anak yang mampu mengembalikan peradaban Islam di muka bumi, Insya' Allah.”[1]
Siapakah dia? Inginkah kau
mengetahuinya? Ah, kawan. Lihatlah. Kita, manusia, seringkali menjadi ingin tahu
urusan orang lain melebihi keinginan kita untuk mengetahui urusan diri kita
sendiri. Walaupun aku sendiri masih belum tahu dia itu siapa dan ada di mana.
Catatan:
[1] Diadaptasi dari jawaban Najmuddin, ayah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, saat beliau ditanya tentang waktu menikah.
[1] Diadaptasi dari jawaban Najmuddin, ayah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, saat beliau ditanya tentang waktu menikah.
Tulisan ini saya dediskasikan kepada seseorang yang kusemogakan pada-Nya. Walaupun saya sendiri masih belum tahu dia itu siapa, bagaimana, dan ada di mana.
Surabaya, 17 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar