Pada awalnya saya kehilangan
harapan untuk bisa berangkat ke Jakarta. Karena ibu saya tidak memberikan restu.
Maka saya hanya bisa bergerak pada pesan-pesan di WhatsApp, facebook, dan Instagram.
Hingga suatu hari, ada seseorang
menanyakan apakah saya berangkat atau tidak. Saya jawab “tidak” dengan alasan
di atas. Dia tidak merespon banyak. Tidak pula memberikan nasehat panjang.
Penutup nasehatnya hanya berbunyi, “Siapin diri Mas berangkat.”
Kalimat ini, entah bagaimana
ceritanya, kalimat itu membawa saya ke dalam perenungan yang panjang. Nasehat
itu seakan mengingatkan saya untuk mempersiapkan diri dalam meraih tujuan
dengan upaya yang terbaik, tidak hanya berdiam diri dalam bersabar. Karena
hakikat kesabaran adalah mengikhtiarkan yang terbaik selama menunggu hasil.
Saya juga jadi teringat pada
status facebook Ustadz Andre Raditya tentang titik Mastatho’tum. Tentang sebuah
perjuangan tanpa henti. Biarkan Allah sendiri yang menghentikan kita, bukan
diri kita yang menghentikan perjuangan kita dengan keputusan sepihak.
Maka dalam bait-bait doa di
hari-hari setelah datangnya kalimat “Siapin diri Mas berangkat” itu, saya
berdoa, “Ya Allah, jika keberangkatan saya ke Jakarta itu baik, maka
berangkatkanlah.” Tidak hanya itu, saya
mencoba untuk melakukan negosiasi kembali dengan ibu saya.
Dan Alhamdulillah, H-4 aksi 212,
ibu saya memberikan ijin untuk berangkat. Ternyata, meskipun beliau tidak
memberikan ijin pada awalnya, beliau berusaha mencari data yang logis. Dibacanya
berita dan ditontonnya video-video yang ada di youtube. Beliau menghindari
berita-berita dari media yang tidak adil kepada umat Islam dan Islam.
Alhamdulillah. Bersyukur. Tapi
upaya hanya sampai di situ. Sekarang fokus mencari sarana transporttasi.
Sahabat saya menyarankan untuk berangkat sendiri saja daripada bingung. Tapi
sebisa mungkin saya mengutamakan konsep jama’ah lebih dahulu dalam safar (perjalanan),
kecuali benar-benar terpaksa sendirian. Karena saya sudah lama menahan
kesendirian. Eh, yang ini tolong dilupakan ya.
Setelah dua hari mencari namun belum
mendapatkan rombongan, saya tak henti berdoa “Ya Allah, jika keberangkatan saya
ke Jakarta untuk aksi 212 itu baik, maka berangkatkanlah.” Dan Alhamdulillah,
esoknya, dapat empat kabar sekaligus kalau ada kursi baru yang tersedia. Dan
akhirnya, nama saya tercatat sebagai calon peserta. Jazakumullah ahsanal jaza
kepada teman-teman yang membantu proses saya. Peristiwa ini sekaligus
menyakinkan kepada saya bahwa siapa diri kita bisa dilihat dari teman-teman
dekat kita. Maka berkumpul dengan orang-orang baik sangat perlu untuk dilakukan.
Saya tahu, keputusan saya ini dan
keputusan teman-teman saya yang sama, akan membelah sikap teman-teman menjadi
tiga. Sepakat, diam, dan antipasti. Untuk yang justru antipasti kepada saya,
saya mohon maaf. Saya tak ingin memecha belah bangsa ini. Tak pula ingin
melihat negara ini berantakan.
Tulisan ini sekaligus menjawab
pertanyaan teman-teman yang mempertanyakan keberpihakan saya.
Saya hanya tak ingin bersikap
seperti kebanyakan ummat Nabi Musa ‘alayhissalam yang dengan tega mengatakan
ini kepada nabinya,
“Hai Musa, kami sekali-kali tidak
akan memasuki selama-lamanya, selagi masih ada orang yang gagah perkasa
didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini.” (Qs. Al maidah:24)
Selain itu saya juga ingin meniru
semut Ibrahim. Yang terus meneteskan air kepada api yang membakar Nabi Ibrahim ‘alahissalam
saat dibakar oleh Namrud. Semut mengatakan, apa yang dilakukannya memang tak
akan mampu memadamkan api. Tapi setidaknya cukup untuk menunjukkan di pihak
siapa ia berada.
Surabaya dalam hujan deras, 30
November
-Nir-
0 komentar:
Posting Komentar