Rabu, 30 November 2016

Insya Allah, Saya Berangkat

Pada awalnya saya kehilangan harapan untuk bisa berangkat ke Jakarta. Karena ibu saya tidak memberikan restu. Maka saya hanya bisa bergerak pada pesan-pesan di WhatsApp, facebook, dan Instagram.

Hingga suatu hari, ada seseorang menanyakan apakah saya berangkat atau tidak. Saya jawab “tidak” dengan alasan di atas. Dia tidak merespon banyak. Tidak pula memberikan nasehat panjang. Penutup nasehatnya hanya berbunyi, “Siapin diri Mas berangkat.”


Kalimat ini, entah bagaimana ceritanya, kalimat itu membawa saya ke dalam perenungan yang panjang. Nasehat itu seakan mengingatkan saya untuk mempersiapkan diri dalam meraih tujuan dengan upaya yang terbaik, tidak hanya berdiam diri dalam bersabar. Karena hakikat kesabaran adalah mengikhtiarkan yang terbaik selama menunggu hasil.

Saya juga jadi teringat pada status facebook Ustadz Andre Raditya tentang titik Mastatho’tum. Tentang sebuah perjuangan tanpa henti. Biarkan Allah sendiri yang menghentikan kita, bukan diri kita yang menghentikan perjuangan kita dengan keputusan sepihak.

Maka dalam bait-bait doa di hari-hari setelah datangnya kalimat “Siapin diri Mas berangkat” itu, saya berdoa, “Ya Allah, jika keberangkatan saya ke Jakarta itu baik, maka berangkatkanlah.”  Tidak hanya itu, saya mencoba untuk melakukan negosiasi kembali dengan ibu saya.

Dan Alhamdulillah, H-4 aksi 212, ibu saya memberikan ijin untuk berangkat. Ternyata, meskipun beliau tidak memberikan ijin pada awalnya, beliau berusaha mencari data yang logis. Dibacanya berita dan ditontonnya video-video yang ada di youtube. Beliau menghindari berita-berita dari media yang tidak adil kepada umat Islam dan Islam.

Alhamdulillah. Bersyukur. Tapi upaya hanya sampai di situ. Sekarang fokus mencari sarana transporttasi. Sahabat saya menyarankan untuk berangkat sendiri saja daripada bingung. Tapi sebisa mungkin saya mengutamakan konsep jama’ah lebih dahulu dalam safar (perjalanan), kecuali benar-benar terpaksa sendirian. Karena saya sudah lama menahan kesendirian. Eh, yang ini tolong dilupakan ya.

Setelah dua hari mencari namun belum mendapatkan rombongan, saya tak henti berdoa “Ya Allah, jika keberangkatan saya ke Jakarta untuk aksi 212 itu baik, maka berangkatkanlah.” Dan Alhamdulillah, esoknya, dapat empat kabar sekaligus kalau ada kursi baru yang tersedia. Dan akhirnya, nama saya tercatat sebagai calon peserta. Jazakumullah ahsanal jaza kepada teman-teman yang membantu proses saya. Peristiwa ini sekaligus menyakinkan kepada saya bahwa siapa diri kita bisa dilihat dari teman-teman dekat kita. Maka berkumpul dengan orang-orang baik sangat perlu untuk dilakukan.

Saya tahu, keputusan saya ini dan keputusan teman-teman saya yang sama, akan membelah sikap teman-teman menjadi tiga. Sepakat, diam, dan antipasti. Untuk yang justru antipasti kepada saya, saya mohon maaf. Saya tak ingin memecha belah bangsa ini. Tak pula ingin melihat negara ini berantakan.
Tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan teman-teman yang mempertanyakan keberpihakan saya.
Saya hanya tak ingin bersikap seperti kebanyakan ummat Nabi Musa ‘alayhissalam yang dengan tega mengatakan ini kepada nabinya,

“Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasuki selama-lamanya, selagi masih ada orang yang gagah perkasa didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini.” (Qs. Al maidah:24)

Selain itu saya juga ingin meniru semut Ibrahim. Yang terus meneteskan air kepada api yang membakar Nabi Ibrahim ‘alahissalam saat dibakar oleh Namrud. Semut mengatakan, apa yang dilakukannya memang tak akan mampu memadamkan api. Tapi setidaknya cukup untuk menunjukkan di pihak siapa ia berada.

Bismillaah, Insya Allah besok saya berangkat. INSYA ALLAH. Kecuali jika takdir Allah berkata lain.

Surabaya dalam hujan deras, 30 November
-Nir-

0 komentar:

Posting Komentar