Minggu, 20 November 2016

Sejenak Mencari Pembeda

"Mas, antara KEBAIKAN dan KEBURUKAN, HALAL dan HARAM, kan beda-beda tipis. Susah bedainnya. Gimana caranya kita biar nggak salah dalam menentukan sikap?" seorang adik kelas di jurusan kuliah (dulu) pernah mendiskusikan ini. Pertanyaan yang berat, karena saya sendiri masih harus banyak meminta petunjuk dalam memilih sikap.

Untuk menuliskan tulisan ini, saya perlu berulang kali melakukan konfirmasi pada diri saya sendiri, perlu atau tidak? Hingga akhirnya ketika jari saya telah mulai untuk mengetik satu per satu hurufnya, saya ucapkan Bismillah, saya hanya ingin mengungkapkan kegelisahan ini.

Kembali pada pertanyaan kawan saya di atas, benarkah hanya ada TEMBOK  TIPIS YANG RAPUH di antara yang haq dan yang bathil? Sehingga kita sulit untuk membedakan mana yang putih dan mana yang hitam. Dan karena alasan SULITNYA DALAM MEMBEDAKAN inilah, tidak sedikit orang yang mengambil sikap abu-abu, cari aman. Saya pun dulu sekali pernah setuju dengan pendapat tersebut.

Belakangan ini, telah kita saksikan bahwa sikap bangsa Indonesia terbagi menjadi tiga (menurut saya pribadi) terkait kasus dugaan penistaan agama. Pro terhadap aksi 411 dan pendukungnya, berdiam diri, dan kontra terhadap aksi 411. Yang bersikap diam pun bisa jadi terdikotomi menjadi dua kelompok, diam karena masih memantapkan hati untuk bersikap atau diam karena tidak ambil pusing (silakan ditambahkan jika ada yang kurang).

Tak ayal, masyarakat kita saling beradu argumen untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Ada yang berubah haluan karena menganggap pendapatnya di masa lalu salah, namun ada juga yang semakin tebal gairahnya untuk membela apa atau siapa yang dijunjung. Bahkan di antara mereka ada yang saling menghujat dan mengeluarkan data yang cenderung sangat dipaksakan.

Kita tidak bisa untuk memaksa orang lain agar selalu sependapat dengan kita. Cara berfikir kita tentu dipengaruhi oleh semua hal yang pernah menyentuh hidup kita, termasuk junjungan kita.

Di antara yang diam, pro, dan kontra itu ada yang mulai bimbang dengan argumennya sendiri setelah melihat bukti-bukti. Dan semakin bingung ketika bukti pembanding yang lain datang. Tak tahu harus kemana.

Kita Perlu Memiliki Kemampuan untuk Membedakan
Sebenarnya, telah jelas sekali perbedaan antara yang HAQ dan yang BATIL. Standarnya jelas, pakem. Faktor internal diri kita saja yang membuatnya buram. Lalu kenapa semuanya menjadi buram?

Yang membuatnya tidak jelas adalah hatimu, hati saya, hati kalian, hati kita semua yang sudah menjadikan kita tidak lagi bisa membedakan yang mana yang MAKSIAT, yang mana yang HALAL, yang mana HARAM, yang mana IBADAH, yang mana HAK KITA, yang mana HAK ORANG LAIN, yang mana yang JUJUR, dan yang mana yang DUSTA. [1]

Semua itu bisa terjadi pada diri kita jika Allah tidak menurunkan Al Furqan (kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah). Sehingga semuanya menjadi samar.

 “Bulan Ramadlan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan PEMBEDA (ANTARA YANG BENAR DAN YANG BATIL)…….” (AL Baqarah: 185)

Maka bagi kawan-kawan yang saat ini sedang bimbang di pihak mana kalian harusnya berada, mintalah Al Furqan pada Dia Yang Memilikinya. Kitalah yang harusnya meminta agar dikaruniai Al Furqan agar bisa bersikap lebih bijaksana tanpa harus sok bijaksana. Milikilah kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan yang benar. Bukan hanya percaya dan menelan mentah-mentah apa yang diberitakan oleh media.

Cukuplah berdiam diri untuk sementara waktu dari sikap pro-aktifmu di media sosial. Amati saja dulu. Lalu renungkan dengan menanggalkan seluruh ego yang ada. Lihatlah yang kau bela, apakah memang ia harus kau bela? Jujurlah pada diri sendiri.

Yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah adalah hati. Seperti yang telah dianalogikan oleh para ulama kita, hati ibarat lentera. Jika kita melakukan sebuah dosa, maka akan ada satu titik noda yang menempel. Jika kemudian kita semakin banyak berbuat dosa, maka semakin banyak noda yang menempel padanya. Tak ada cahaya yang bisa menerangi lingkungan sekitarnya. Dan tak ada cahaya luar yang bisa masuk ke dalam lentera itu.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

“Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat; niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa; niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka” (QS. Al-Muthaffifin: 4). (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi).

Maka untuk mendapatkan Al Furqan selain dengan berdoa adalah menjauhkan diri dari segala kemaksiatan. Allah berjanji akan memberikan Al Furqan kepada kita, sebagaimana dalam Al Quran Surat Al Anfal ayat 29.

يِا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إَن تَتَّقُواْ اللّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَاناً وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ -٢٩-
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan Menghapus segala kesalahanmu dan Mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah Memiliki karunia yang besar.”

Jangan sampai kita salah memihak. Belalah siapa yang harus kita bela. Bukan justru memusuhi siapa yang harusnya kita bela, namun membela siapa yang harusnya kita sadarkan. Disadarkan ya, bukan untuk dimusuhi.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan pada Wabishoh,
اسْتَفْتِ نَفْسَكَ ، اسْتَفْتِ قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ – ثَلاَثاً – الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu (beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan kejelekan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.” [2]

Wallahu’alam bisshawwab.
Hadanallah wa iyyakum.
 -Nir-
Referensi:
1.     1.  Kajian Cahayai Kehidupan dengan Cahaya Allah pada menit 14:00-14:40 oleh Ustadz Yusuf Mansur.
2.  HR. Ad Darimi 2/320 dan Ahmad 4/228. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Lihat Al Irwa’ no. 1734.

Hadits ini dimaksudkan untuk perbuatan yang belum jelas halal atau haram, termasuk dosa ataukah bukan. Sedangkan jika sesuatu sudah jelas halal dan haramnya, maka tidak perlu lagi merujuk pada hati.

Surabaya, 20 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar