"Adalah `Abdulloh al-`Azzam, seorang syaikh teladan dan panutan pada masanya. Dihormati lagi disegani oleh para muridnya.
Seperti biasanya, muridnya senantiasa berkumpul untuk mengambil bulir-bulir hikmah yang keluar dari lisannya. Hingga pada suatu saat beliau ditanya oleh muridnya, “Ya syaikh, apa yang dimaksud dengan mastatho’tum itu?”
Beliau diam. Lalu, sang Syaikh pun membawa muridnya ke lapangan tanpa penjelasan.
Lantas Beliau meminta semua muridnya berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan semampu mereka. Karena perintah seorang guru, maka tak ada yang berani melawan perintah dan kemudian berlarilah mereka. Titik dan waktu keberangkatan sama, akan tetapi waktu akhir dan jumlah putaran setiap murid berbeda.
Seperti biasanya, muridnya senantiasa berkumpul untuk mengambil bulir-bulir hikmah yang keluar dari lisannya. Hingga pada suatu saat beliau ditanya oleh muridnya, “Ya syaikh, apa yang dimaksud dengan mastatho’tum itu?”
Beliau diam. Lalu, sang Syaikh pun membawa muridnya ke lapangan tanpa penjelasan.
Lantas Beliau meminta semua muridnya berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan semampu mereka. Karena perintah seorang guru, maka tak ada yang berani melawan perintah dan kemudian berlarilah mereka. Titik dan waktu keberangkatan sama, akan tetapi waktu akhir dan jumlah putaran setiap murid berbeda.
Satu putaran masih belum terasa. Putaran kedua berkurang tenaga. Kini mulai berguguran perlahan di putaran ketiga. Hingga tersisa beberapa saja yang masih berusaha sekuat tenaga. Hingga akhirnya satu persatu merasa lelah, dan menyerah.
Mereka semua pun menepi ke pinggir lapangan, merasakan kelelahan. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga, semampu mereka.
Setelah semua muridnya menyerah, Sang Syaikh pun tak mau kalah. Beliau mulai berlari mengelilingi lapangan hingga membuat semua muridnya keheranan.
Semua murid kaget dan tidak tega melihat gurunya yang sudah tua itu kepayahan. Satu putaran masih berseri-seri. Dua putaran mulai pucat pasi. Tiga putaran mulai kehilangan kendali. Menuju putaran yang keempat, Sang Syaikh makin tampak kelelahan, raut mukanya memerah, keringat bertetesan, nafas tersengal-sengal tidak beraturan.
Tapi beliau tetap berusaha. Terus berlari sekuat tenaga, dari cepat, melambat, melambat lagi, hingga kemudian beliau pun terhuyung tanpa penyangga. Energinya terkuras habis tak tersisa. Beliau jatuh pingsan, dan tak sadarkan diri.
Setelah beliau siuman dan terbangun, muridnya bertanya, “Wahai guru kami, apa yang hendak engkau ajarkan kepada kami?”
“Muridku, inilah yang dinamakan titik mastatho’tum. Titik di mana saat kita berusaha semaksimal tenaga sampai Alloh sendiri yang menghentikan perjuangan kita,” jawab Sang Syaikh dengan mantap.
*********************************************
Sudahkah kita demikian?
Dalam urusan dakwah, dalam mencari nafkah, dalam berusaha menjadi baik di mata Allah, dalam menegakan sunnah, belajar ilmu agama dan saat berusaha mewujudkan impian?
Sering tanpa kita sadari, kita berdalih sudah lelah, sudah payah lalu menyerah.
Dan kemudian berdalih “Aku sudah usaha sekuat tenaga”, dan dengannya mengharapkan takdir berbelas kasih kepada kita.
Padahal mastatho’tum kita masih jauh dari yang seharusnya. Mari berjuang, mari ikhtiar, hingga Allah sendiri yang menghentikan kita."
Padahal mastatho’tum kita masih jauh dari yang seharusnya. Mari berjuang, mari ikhtiar, hingga Allah sendiri yang menghentikan kita."
Tulisan di atas murni saya copy paste dari status facebook Ust. Andre Raditya. (penulis buku Rezeki Level 9) Saya salin dengan kesadaran bahwa ikhtiar diri ini masih jauh dari maksimal.
Sumber foto: google.
0 komentar:
Posting Komentar