Selasa, 18 Oktober 2016

Merelakan Takdir Berjalan di Atas Ambisi Kita atau Kita Perlu Dilelahkan


Tulisan di bawah ini berkaitan dengan status facebook sebelumnya yang berkatian dengan titik mastatho’thum.
Kita selalu bicara mengenai usaha. Dalam Islam, Allah berfirman tidak akan Allah mengubah nasib suatu kaum jika dia tak berusaha merubahnya.
Maka dari itu, dari saat membuka mata hingga menutup mata kita dituntut untuk selalu berusaha. Entah berusaha mengejar sesuatu atau mempertahankan sesuatu.
Namun ada satu jenis usaha yang begitu penting, namun sangat sering dilupakan. Dan lebih sering lagi, sangat sulit dilakukan. Usaha itu yakni berusaha melepaskan.

Istilah populernya ikhlas. Kita memang bisa berusaha dengan begitu berapi-api, karena tiap manusia dilahirkan untuk merubah sesuatu. Entah itu merubah peradaban, atau perubahan yang paling kecil, yakni merubah pandangan teman.
Namun ada batas, dimana kita memang harus tahu kapan kita harus berhenti berusaha. Bukan karena kita menyerah, namun karena ada hal2 diluar batas kemampuan kita untuk mengubahnya.
Batas itu adalah milik Tuhan, dan berusaha melanggar batas itu harus membuat kita membayar sebuah resiko. Entah resiko itu akhirnya akan menyakiti diri kita sendiri, atau malah menyakiti orang lain.
Dulu berusaha dan loyalisme adalah suatu hal yang paling saya agungkan. Namun ada suatu pelajaran, yang membuat saya memahami seni melepaskan.
Seperti kata Khalil Gibran:
Jika kau mencintai sesuatu, lepaskanlah
Dan jika dia kembali padamu, maka dia adalah milikmu sejak awal
Namun jika dia tdak kembali, maka dia bukan milikmu sejak awal.
Bukan hanya dalam lingkup romansa lho. Ujian hidup berupa melepaskan seringkali hadir tanpa kita sadari. Seperti ketika kita terlalu keras berusaha menjadi pribadi sempurna, atau ketika kita terlalu berusaha bertahan dalam suatu organisasi/kepanitiaan padahal sudah tidak mungkin. Atau mungkin terlalu berusaha mempertahankan teman, meskipun jalan hidup kita sudah bercabang ke arah berbeda.
Namun seperti biasanya, kehidupan bukanlah guru yang penuh welas asih. Terkadang kita harus tersakiti dahulu baru kemudian kita dapat berfikir bijak.
Tapi ingat, seperi kata teman saya, kita tidak perlu mengalami semua hal dalam hidup kita untuk memetik pelajaran. Waktu hidup kita tidak akan cukup. Kita bisa melihat pengalaman orang lain, dan belajar dari sana untuk menjadi orang yang lebih bijak.
Untuk itu berusahalah, dalam batas kewajaran. Namun pandailah mengamati, kapan kmu harus terus berlari,
Dan kapan kamu harus berhenti.
Dan jangan pernah khawatir dianggap lemah karena berhenti berusaha. Karena sesungguhnya melepaskan adalah ujian yang paling berat, untuk menyerah pada kuasa Sang Pencipta. Untuk itulah Tuhan selalu mencintai orang yang Ikhlas.
**********************************************************************************************************************************
Tulisan di atas adalah sebuah catatan lama yang TAK PERNAH DIPUBLISH oleh kawan saya, Saktia Golda S. Namun setelah mendapatkan ijin, saya berani mempublisnya karena banyak mengandung muatan hikmah di dalam tulisan tersebut. Intinya sih, saya copas. Hehehe.
Bagi sebagian orang yang sedang diserang “akut” akan sesuatu, mungkin menilai tulisan ini cenderung mengarah kepada romansa saja. Namun sebenarnya tidak, ini memaknai hidup yang lebih luas.
“Akan ada di saat kita menghadapi takdir sesuai dengan keinginan kita. Namun ada saatnya juga kita akan berhadapan dengan takdir yang tidak sesuai dengan keinginan kita,” kata sahabat saya, Fauzan 'Adziimaa.
Kawan, ikuti saja takdir yang Allah berikan untuk kita. Tanpa harus mengurangi ikhtiar dan perjuangan hingga titik nadir, ikuti saja. Lalu Dia akan menunjukkan keindahan rencananya. Melepaskan apa yang bukan menjadi takdir kita justru akan membuat hidup lebih tenang. Lebih sabar. Lebih tawakkal.
Yang sedang menuntut ilmu, kita belajar dengan baik. Yang sedang membangun usaha, kita belajar untuk menjadi pebisnis yang baik. Yang sedang bekerja, kita belajar untuk bekerja dengan baik. Yang sedang mengajar, kita belajar untuk mengajar dengan baik. Yang sedang berdakwah, kita belajar untuk berdakwah dengan baik.
Tugas kita hanya melakukan ikhtiar. Kita tidak diperintahkan untuk menang. “Berangkatlah kamu dalam keadaan ringan maupun berat…” begitu kata Allah dalam Surat At Taubah.
Wallahu’alam bisshawwab.
Kota Pahlawan, di sebuah siang yang membara, 18 Oktober 2016
-Nir-

0 komentar:

Posting Komentar