Setiap orang pasti memiliki kenangan. Ya, termasuk aku. Jika kau bertanya kepadaku tentang kenangan, aku akan menceritakan beberapa hal. Dan ITS Online termasuk salah satu kenangan yang akan kuceritakan.
Rabu, 01 Oktober 2014
Minggu, 03 Agustus 2014
Maukah Kau?
Kata orang, aku terlihat tegar. Bisa melakukan ini itu. Ke sana kemari. Tapi tahukah kau? Sebenarnya aku lelah. Aku ingin bersandar. Akankah kau tawarkan pundakmu untukku?
Kata mereka, dinding yang kubangun terlalu kokoh dan tinggi. Sehingga banyak yang menyerah untuk memasuki. Aku tak bermaksud demikian. Aku hanya ingin menjaga diri, seperti halnya dirimu. Lalu, maukah kau merobohkannya untukku?
Benar jika pakaianku belum begitu baik. Tapi aku ingin sekali berpakaian yang katamu syar’i. Aku masih perlu belajar dan diingatkan. Perlu dituntun. Maukah kau mengiringi?
Bacaan Alquranku masih belum baik. Tapi aku ingin belajar. Maukah kau membantuku untuk memfasihkan lidah dan mengajariku tajwid?
Aku suka mempelajari leadership. Entah kenapa aku begitu berminat padanya. Dan kulihat, kau bisa memimpin dengan baik. Kata mereka, kau mampu memimpin dengan hati. Tegas namun santun. Berwibawa tapi bersahabat. Bolehkah aku belajar leadership darimu?
Sungguh, aku ingin mengenal-Nya lebih dalam. Dan kau, kukira cukup mengenal-Nya dengan baik. Maukah kau menggenggam tanganku untuk mengenalkan Dia padaku?
Kata mereka, dinding yang kubangun terlalu kokoh dan tinggi. Sehingga banyak yang menyerah untuk memasuki. Aku tak bermaksud demikian. Aku hanya ingin menjaga diri, seperti halnya dirimu. Lalu, maukah kau merobohkannya untukku?
Benar jika pakaianku belum begitu baik. Tapi aku ingin sekali berpakaian yang katamu syar’i. Aku masih perlu belajar dan diingatkan. Perlu dituntun. Maukah kau mengiringi?
Bacaan Alquranku masih belum baik. Tapi aku ingin belajar. Maukah kau membantuku untuk memfasihkan lidah dan mengajariku tajwid?
Aku suka mempelajari leadership. Entah kenapa aku begitu berminat padanya. Dan kulihat, kau bisa memimpin dengan baik. Kata mereka, kau mampu memimpin dengan hati. Tegas namun santun. Berwibawa tapi bersahabat. Bolehkah aku belajar leadership darimu?
Sungguh, aku ingin mengenal-Nya lebih dalam. Dan kau, kukira cukup mengenal-Nya dengan baik. Maukah kau menggenggam tanganku untuk mengenalkan Dia padaku?
Dan akupun ingin mencintai-Nya. Lebih daripada aku mencintai diriku sendiri. Tapi aku perlu dikuatkan. Maukah kau meyakinkanku untuk mencintai-Nya dengan cintamu?
Aku sering membaca tulisanmu dan mendengar tutur katamu. Dan aku suka idemu. Namun ada celah di sana. Perlu dirapikan lagi. Bolehkah aku membantumu untuk melengkapi ide-idemu itu?
Aku tahu, seperti katamu pada temanmu, kau punya banyak kekurangan. Aku pun demikian. Bisakah kita saling mengisi dan saling melengkapi?
Aku sering membaca tulisanmu dan mendengar tutur katamu. Dan aku suka idemu. Namun ada celah di sana. Perlu dirapikan lagi. Bolehkah aku membantumu untuk melengkapi ide-idemu itu?
Aku tahu, seperti katamu pada temanmu, kau punya banyak kekurangan. Aku pun demikian. Bisakah kita saling mengisi dan saling melengkapi?
Akan datang suatu masa, aku berada di persimpangan jalan. Kadang aku takut salah dalam memilih jalan jika seorang diri. Maukah kau menemani perjalananku?
Dan, maukah kau membantuku dengan do’a? Ya, memasukkan namaku dalam bait do’amu. Jika memang tak ada yang berhak kita lakukan satu sama lain, setidaknya untuk sementara waktu ini.
Surabaya, 7 Syawal 1435 H/ 3 Agustus 2014
Dan, maukah kau membantuku dengan do’a? Ya, memasukkan namaku dalam bait do’amu. Jika memang tak ada yang berhak kita lakukan satu sama lain, setidaknya untuk sementara waktu ini.
Surabaya, 7 Syawal 1435 H/ 3 Agustus 2014
Selasa, 08 Juli 2014
Aku Takkan Mengucapkan Selamat, Tapi Tolong Selamatkan Indonesia
H-beberapa jam Pilpres 2014
Aku takkan mengucapkan selamat kepadamu tentang pemilu ataupun demokrasi. Karena bagiku, tak pantas mengucapkan selamat sementara akidah ini dipertaruhkan ketika masuk ke dalamnya.
Tentang pesta demokrasi, itupun perlu hati-hati. Karena pesta, bagiku lebih identik dengan suatu perayaan atas sebuah pencapaian yang menyenangkan.
Cukuplah bagi kita, jika masuk ke dalamnya, hanya sebagai sarana untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Bukan untuk merayakannya. Bukan untuk menikmatinya hingga menjadi candu dan jalan praktis.
Karena perayaan, identik dengan sebuah kemenangan. Sementara bagiku, tak pantas ada perayaan sementara kita menderita kekalahan. Ya, kekalahan karena kita kehilangan sistem yang selama ini ditawarkan oleh Allah.
Cukuplah bagi kita, masuk ke dalamnya karena sebuah keadaan yang terlanjur mencengkram kehidupan kita. Sebuah keadaan yang jika tidak masuk, akan menyebar kecurangan dan ketidakadilan. Ya, cukup sampai di situ. Bukan untuk menikmati. Bukan untuk tenggelam dan terseret arus sehingga mematikan idealisme.
Aku takkan mengucapkan selamat padamu, tapi aku memohon pada Allah. Agar Dia berkenan menyelamatkan Indonesia. Lewat dirimu, kawan. Ya, lewat dirimu. Jadi tolong, jadilah orang yang diberi peran oleh Allah untuk menyelamatkan Indonesia.
Jadi tolong, selamatkan Indonesia. Pilihlah dia yang menurutmu mampu menenangkan hati Indonesia. Pilihlah dia yang menurutmu mampu menjadikan Indonesia bangkit kembali.
Tolong, selamatkan Indonesia. Bangkitkan Indonesia. Agar Indonesia mampu menegakkan harga dirinya kembali. Sebagaimana dulu saat Pak Karno membacakan Surat Al Hujurat ayat 43 “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu”.
Ayat itu belau bacakan dengan lantang dalam sidang PBB XV yang diselenggarakan di New York.
Tentu kita merindukan hadirnya nafas Islam yang sempurna dan menyeluruh di bumi Indonesia. Islam yang menghadirkan sebuah kesejukan dalam seluruh sendi kehidupan. Tentu kita merindukan itu. Namun kita juga tidak ingin kehilangan Islam sama sekali bukan?
Maka tolong, selamatkan Indonesia. Bangkitkan kembali Indonesia. Kita tidak pernah benar-benar tahu siapa yang akan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Yang kita tahu hanyalah apa yang disampaikan media.
Ya, hanya Allah yang tahu tentang ini. Maka, berdoalah agar Dia berkenan memberikan petunjuk kepada kita tentang siapa yang mampu memimpin Indonesia untuk kembali mempunyai mimpi yang selama ini hilang. Mimpi yang selama ini kita lupakan karena terlalu sibuk dengan badai korupsi, gelombang perzinahan, sekulerisme, liberalism, dan kampanye hitam.
Jadi kawan, aku takkan mengucapkan selamat padamu tentang pemilu ataupun demokrasi. Tapi tolong, lakukan sesuatu agar Indonesia tidak lagi terpaksa untuk mengikuti mimpi negara lain lagi. Maka, berdoalah agar petunjuk itu datang, siapa yang lebih pantas untuk memimpin negeri ini dengan realita yang kita hadapi seperti sekarang ini.
Jika ada yang mengatakan “Sama saja siapapun pemimpinnya, kita bakalan masih aja miskin dan kerja kayak gini,” maka biarkanlah. Biarkanlah dia begitu. Karena ia masih berfikir untuk dirinya sendiri. Dia belum terbiasa untuk memikirkan hidup orang lain yang berada di pelosok negeri yang berbeda.
Ini tentang tawakkal kepada-Nya. Ini tentang penyikapan kita terhadap sistem yang meski hati kita menolak, tapi kita tidak bisa lepas darinya untuk saat ini.
Aku paham, ada yang tidak setuju dengan tulisan ini. Tapi bahasan itu telah berlalu, dan perbedaan pendapat tentang ini masih belum usai. Aku paham, sejatinya nasehat ini lebih pantas kutujukan pada diriku sendiri. Bukan kepadamu.
Suara rakyat, bukanlah suara Tuhan. Karena tidak semua rakyat mengikuti apa yang telah difirmakan-Nya. Maju mundurnya negara kita, bukan kita yang menentukan. Tapi Allah yang menentukan. Dan kita tentu berharap, menjadi orang yang diberi peran oleh Allah, untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Dalam imaji, berharap ada calon pemimpin yang berdo’a,
“ Ya Allah, Engkau yang mengetahui kualitas kami. Engkau yang mengetahui siapa yang terbaik untuk negeri kami. Maka Ya Allah, kami serahkan segala yang kami upayakan selama ini kepada-Mu. Kami bertawakkal kepada-Mu, maka cukupkanlah segala keperluan keperluan kami. Sebagaimana janji-Mu dalam suat ATh Thalaq ayat tiga.
“Ya Allah, jika yang Kau pilih adalah kami, tolong berikan kami pundak yang kuat untuk memikul amanah yang berta ini.Letakkan dunia di tangan kami, jangan di hati kami.
Tapi Ya Allah, JIKA BAGI-MU, YANG TERBAIK UNTUK MEMIMPIN INDONESIA BUKANLAH DARI KAMI, maka berikanlah kemampuan kepada kami untuk membantu pemimpin kami dalam membawa negeri ini mendapatkan rahmat dari-Mu.”
Aku takkan mengucapkan selamat kepadamu tentang pemilu ataupun demokrasi. Karena bagiku, tak pantas mengucapkan selamat sementara akidah ini dipertaruhkan ketika masuk ke dalamnya.
Tentang pesta demokrasi, itupun perlu hati-hati. Karena pesta, bagiku lebih identik dengan suatu perayaan atas sebuah pencapaian yang menyenangkan.
Cukuplah bagi kita, jika masuk ke dalamnya, hanya sebagai sarana untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Bukan untuk merayakannya. Bukan untuk menikmatinya hingga menjadi candu dan jalan praktis.
Karena perayaan, identik dengan sebuah kemenangan. Sementara bagiku, tak pantas ada perayaan sementara kita menderita kekalahan. Ya, kekalahan karena kita kehilangan sistem yang selama ini ditawarkan oleh Allah.
Cukuplah bagi kita, masuk ke dalamnya karena sebuah keadaan yang terlanjur mencengkram kehidupan kita. Sebuah keadaan yang jika tidak masuk, akan menyebar kecurangan dan ketidakadilan. Ya, cukup sampai di situ. Bukan untuk menikmati. Bukan untuk tenggelam dan terseret arus sehingga mematikan idealisme.
Aku takkan mengucapkan selamat padamu, tapi aku memohon pada Allah. Agar Dia berkenan menyelamatkan Indonesia. Lewat dirimu, kawan. Ya, lewat dirimu. Jadi tolong, jadilah orang yang diberi peran oleh Allah untuk menyelamatkan Indonesia.
Jadi tolong, selamatkan Indonesia. Pilihlah dia yang menurutmu mampu menenangkan hati Indonesia. Pilihlah dia yang menurutmu mampu menjadikan Indonesia bangkit kembali.
Tolong, selamatkan Indonesia. Bangkitkan Indonesia. Agar Indonesia mampu menegakkan harga dirinya kembali. Sebagaimana dulu saat Pak Karno membacakan Surat Al Hujurat ayat 43 “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu”.
Ayat itu belau bacakan dengan lantang dalam sidang PBB XV yang diselenggarakan di New York.
Tentu kita merindukan hadirnya nafas Islam yang sempurna dan menyeluruh di bumi Indonesia. Islam yang menghadirkan sebuah kesejukan dalam seluruh sendi kehidupan. Tentu kita merindukan itu. Namun kita juga tidak ingin kehilangan Islam sama sekali bukan?
Maka tolong, selamatkan Indonesia. Bangkitkan kembali Indonesia. Kita tidak pernah benar-benar tahu siapa yang akan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Yang kita tahu hanyalah apa yang disampaikan media.
Ya, hanya Allah yang tahu tentang ini. Maka, berdoalah agar Dia berkenan memberikan petunjuk kepada kita tentang siapa yang mampu memimpin Indonesia untuk kembali mempunyai mimpi yang selama ini hilang. Mimpi yang selama ini kita lupakan karena terlalu sibuk dengan badai korupsi, gelombang perzinahan, sekulerisme, liberalism, dan kampanye hitam.
Jadi kawan, aku takkan mengucapkan selamat padamu tentang pemilu ataupun demokrasi. Tapi tolong, lakukan sesuatu agar Indonesia tidak lagi terpaksa untuk mengikuti mimpi negara lain lagi. Maka, berdoalah agar petunjuk itu datang, siapa yang lebih pantas untuk memimpin negeri ini dengan realita yang kita hadapi seperti sekarang ini.
Jika ada yang mengatakan “Sama saja siapapun pemimpinnya, kita bakalan masih aja miskin dan kerja kayak gini,” maka biarkanlah. Biarkanlah dia begitu. Karena ia masih berfikir untuk dirinya sendiri. Dia belum terbiasa untuk memikirkan hidup orang lain yang berada di pelosok negeri yang berbeda.
Ini tentang tawakkal kepada-Nya. Ini tentang penyikapan kita terhadap sistem yang meski hati kita menolak, tapi kita tidak bisa lepas darinya untuk saat ini.
Aku paham, ada yang tidak setuju dengan tulisan ini. Tapi bahasan itu telah berlalu, dan perbedaan pendapat tentang ini masih belum usai. Aku paham, sejatinya nasehat ini lebih pantas kutujukan pada diriku sendiri. Bukan kepadamu.
Suara rakyat, bukanlah suara Tuhan. Karena tidak semua rakyat mengikuti apa yang telah difirmakan-Nya. Maju mundurnya negara kita, bukan kita yang menentukan. Tapi Allah yang menentukan. Dan kita tentu berharap, menjadi orang yang diberi peran oleh Allah, untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Dalam imaji, berharap ada calon pemimpin yang berdo’a,
“ Ya Allah, Engkau yang mengetahui kualitas kami. Engkau yang mengetahui siapa yang terbaik untuk negeri kami. Maka Ya Allah, kami serahkan segala yang kami upayakan selama ini kepada-Mu. Kami bertawakkal kepada-Mu, maka cukupkanlah segala keperluan keperluan kami. Sebagaimana janji-Mu dalam suat ATh Thalaq ayat tiga.
“Ya Allah, jika yang Kau pilih adalah kami, tolong berikan kami pundak yang kuat untuk memikul amanah yang berta ini.Letakkan dunia di tangan kami, jangan di hati kami.
Tapi Ya Allah, JIKA BAGI-MU, YANG TERBAIK UNTUK MEMIMPIN INDONESIA BUKANLAH DARI KAMI, maka berikanlah kemampuan kepada kami untuk membantu pemimpin kami dalam membawa negeri ini mendapatkan rahmat dari-Mu.”
Surabaya, 11 Ramadhan 1435/ 08 Juli 2014
Menitip Salam
(Aku)
Maafkan aku yang tak bisa menyampaikan salammu
Mengapa tak kau titipkan saja pada angin?
Agar salam manismu dapat terdengar oleh mereka
Atau bisa saja kau titipkan apda ombak
(Reza)
Ah, tidak
Angin tak jelas kemana ia berhembus
Ombak pun hanya bergerak menepi pantai
Maka biar kutitipkan salamku pada kuncup bunga
Yang akan tersampaikan dia kala ia mekar
Di saat yang tepat dengan segala keindahannya
(Aku)
Benar
Aku takkan pernah lagi menitipkan salam pada angin
Karena ia pernah berkhianat padaku
Ia tak amanah ternyata
Ia pernah bocorkan salamku pada dedaunan sehingga mereka saling gemerisik kala angin berhembus
Aku juga takkan lagi menitipkannya pada ombak
Ia pernah membelokkan salamku
Ia bersekongkol dengan angin
Hingga salamku berbelok ke arah samudera yang berbeda, bukan ke tepian pantai dimana dia berada
Aku juga takkan menitipkannya pada merpati
Sebagaimana kakek nenek di jaman dulu
Karena mereka seringkali hinggap di dahan pohon
Dan salamku tak sampai
Aku sadar pada akhirnya
Tidak semua perasaan harus dipertururkan
Tidak semua perasaan harus diungkapkan saat itu juga
Maka kuputuskan
Agar kutitipkan salam ini pada-Nya yang mampu menjaga segala rahasia
Agar Dia sampaikan salam ini pada saat yang tepat
Kuceritakan segala kerinduan ini pada-Nya
Agar Dia tahu bahwa ingin sekali aku menyampaikan salam ini padanya
Agar Dia tahu bahwa ingin sekali aku ingin dekat dengan dirinya
Tapi aku tidak ingin
Di saat yang sama
Aku kehilangan cinta-Nya karena mendurhakai-Nya
Biar saja salam ini tersampaikan di atas sajadah
Melalui sunyi
Menanti hingga waktu yang tepat itu tiba
Saat kepastian telah mampu kuberikan
(Reza)
Jadi, kau memutuskan untuk menjaga rasa itu?
Akan kunantikan
Saat di mana kau ungkapkan janji suci itu
Dan saat itu juga, dia ada di sampingmu
Menatapmu dan menggenggam tanganmu dengan penuh haru
Menyadari bahwa dirimu telah memuliakannya
Dalam sikap diammu
Dalam untaian do'amu
Surabaya, 23-25 Sya'ban 1435 H/ 21-23 Juni 2014
Dengan diawali pertanyaan tentang kehadiran di Musyker JMMI. Awalnya ingin menitip salam dan pertanyaan pada pengurus, hingga percakapan dengan Mochammad Reza menjadi tak menentu.
Maafkan aku yang tak bisa menyampaikan salammu
Mengapa tak kau titipkan saja pada angin?
Agar salam manismu dapat terdengar oleh mereka
Atau bisa saja kau titipkan apda ombak
(Reza)
Ah, tidak
Angin tak jelas kemana ia berhembus
Ombak pun hanya bergerak menepi pantai
Maka biar kutitipkan salamku pada kuncup bunga
Yang akan tersampaikan dia kala ia mekar
Di saat yang tepat dengan segala keindahannya
(Aku)
Benar
Aku takkan pernah lagi menitipkan salam pada angin
Karena ia pernah berkhianat padaku
Ia tak amanah ternyata
Ia pernah bocorkan salamku pada dedaunan sehingga mereka saling gemerisik kala angin berhembus
Aku juga takkan lagi menitipkannya pada ombak
Ia pernah membelokkan salamku
Ia bersekongkol dengan angin
Hingga salamku berbelok ke arah samudera yang berbeda, bukan ke tepian pantai dimana dia berada
Aku juga takkan menitipkannya pada merpati
Sebagaimana kakek nenek di jaman dulu
Karena mereka seringkali hinggap di dahan pohon
Dan salamku tak sampai
Aku sadar pada akhirnya
Tidak semua perasaan harus dipertururkan
Tidak semua perasaan harus diungkapkan saat itu juga
Maka kuputuskan
Agar kutitipkan salam ini pada-Nya yang mampu menjaga segala rahasia
Agar Dia sampaikan salam ini pada saat yang tepat
Kuceritakan segala kerinduan ini pada-Nya
Agar Dia tahu bahwa ingin sekali aku menyampaikan salam ini padanya
Agar Dia tahu bahwa ingin sekali aku ingin dekat dengan dirinya
Tapi aku tidak ingin
Di saat yang sama
Aku kehilangan cinta-Nya karena mendurhakai-Nya
Biar saja salam ini tersampaikan di atas sajadah
Melalui sunyi
Menanti hingga waktu yang tepat itu tiba
Saat kepastian telah mampu kuberikan
(Reza)
Jadi, kau memutuskan untuk menjaga rasa itu?
Akan kunantikan
Saat di mana kau ungkapkan janji suci itu
Dan saat itu juga, dia ada di sampingmu
Menatapmu dan menggenggam tanganmu dengan penuh haru
Menyadari bahwa dirimu telah memuliakannya
Dalam sikap diammu
Dalam untaian do'amu
Surabaya, 23-25 Sya'ban 1435 H/ 21-23 Juni 2014
Dengan diawali pertanyaan tentang kehadiran di Musyker JMMI. Awalnya ingin menitip salam dan pertanyaan pada pengurus, hingga percakapan dengan Mochammad Reza menjadi tak menentu.
Mengenang Masa Kecil
Mengenang masa kecil memang kadang menggelikan. Aku jadi ingat pertanyaan yang dulu kutujukan ke ibuku waktu nonton bola atau tinju. Waktu masih kecil.
"Ma, pemain bola sama petinju kalau mau eek boleh ijin nggak? Kalau kebelet gimana ya mereka"
Huruf e dibaca seperti baca kata bebek.
Ada yang pernah punya pengalaman lain?
"Ma, pemain bola sama petinju kalau mau eek boleh ijin nggak? Kalau kebelet gimana ya mereka"
Huruf e dibaca seperti baca kata bebek.
Ada yang pernah punya pengalaman lain?
Kita Hanya Memanfaatkan Potensi
Embun 1 Ramadhan:
"Kalau ada orang yang ditanya kenapa bisa jadi pintar, rata-rata jawabannya adalah karena belajar. Jawaban itu nggak salah memang. Tapi itu masih jawaban fase ibitdaiyah (SD, red). Ada yang lebih dalam. Dan ada yang lebih esensial dari sekedar belajar.
Kenapa kita bisa pintar adalah karena sebenarnya ada potensi kepandaian yang diberikan oleh Allaah ke dalam diri manusia. Coba saja, apakah ayam bisa jadi pintar setelah kita kasih pendidikan selama 35 tahun? Seandainay saja ada ayam yang bisa berumur panjang sampai sekian. Tidak! Karena tidak ada potensi untuk menjadi pintar pada diri ayam.
Sama halnya ketika kita ditanya, kenapa kertas bisa terlipat. Jawaban yang biasa diberikan adalah karena dilipat. Lagi-lagi tidak salah. Tapi masih fase ibtidaiyah. Sebenarnya karena di dalam kertas ada potensi untuk bisa dilipat. Manusia hanya memanfaatkan potensi itu. Tidak lebih.
Nah kita ini sering kali berbanggan diri atas prestasi kita. Ada yang berbangga diri dengan karyanya. Ada yang berbangga diri dengan hartanya. Ada yang berbangga diri dengan kemaksiatannya. Ada yang berbangga diri dengan kesalihannya, seringnya mengaji, ketaatannya, dan seringnya ke masjid. Manusia itu banyak sekali berbangga meski kontribusinya sedikit, itupun kalau ada kontribusinya.
Padahal sebenarnya, manusia hanyalah mengaktualisasikan potensi yang diberikan oleh Allaah. Hanya itu. Tidak lebih. Namun sayangnya banyak yang membanggakan apa yang telah dikerjakannya sebagai karyanya. Semoga Allaah senantiasa membersihkan hati kita dari segala penyakit hati dan dari rasa sombong. Dan semoga kita mampu menjadi manusia yang diberi peran oleh Allaah untuk menunjukkan kebesaran-Nya melalui diri kita."
-diadaptasi dari materi yang disampaikan Prof. Dr. Ir. Abdullah Shahab, M. Sc dengan kemungkinan ada beberapa perbedaan redakasi karena keterbatasan ingatan-
Setelah mendengarkan materi tersebut, aku diam. Menundukkan kepala seperti orang mengheningkan cipta saat upacara. Sambil mendengarkan bisik seorang teman yang mengakui kedalaman makna isi materi tersebut. Aku pun terpaksa kembali berfikir ulang tentang definisi arti seluruh hidupku selama ini.
Ya Rabbi, begitu sering aku sombong dan berbangga diri.
Ruang Utama Masjid Manarul 'Ilmi ITS.
Surabaya, 3 Ramadhan 1435/ 30 Juni 2014
"Kalau ada orang yang ditanya kenapa bisa jadi pintar, rata-rata jawabannya adalah karena belajar. Jawaban itu nggak salah memang. Tapi itu masih jawaban fase ibitdaiyah (SD, red). Ada yang lebih dalam. Dan ada yang lebih esensial dari sekedar belajar.
Kenapa kita bisa pintar adalah karena sebenarnya ada potensi kepandaian yang diberikan oleh Allaah ke dalam diri manusia. Coba saja, apakah ayam bisa jadi pintar setelah kita kasih pendidikan selama 35 tahun? Seandainay saja ada ayam yang bisa berumur panjang sampai sekian. Tidak! Karena tidak ada potensi untuk menjadi pintar pada diri ayam.
Sama halnya ketika kita ditanya, kenapa kertas bisa terlipat. Jawaban yang biasa diberikan adalah karena dilipat. Lagi-lagi tidak salah. Tapi masih fase ibtidaiyah. Sebenarnya karena di dalam kertas ada potensi untuk bisa dilipat. Manusia hanya memanfaatkan potensi itu. Tidak lebih.
Nah kita ini sering kali berbanggan diri atas prestasi kita. Ada yang berbangga diri dengan karyanya. Ada yang berbangga diri dengan hartanya. Ada yang berbangga diri dengan kemaksiatannya. Ada yang berbangga diri dengan kesalihannya, seringnya mengaji, ketaatannya, dan seringnya ke masjid. Manusia itu banyak sekali berbangga meski kontribusinya sedikit, itupun kalau ada kontribusinya.
Padahal sebenarnya, manusia hanyalah mengaktualisasikan potensi yang diberikan oleh Allaah. Hanya itu. Tidak lebih. Namun sayangnya banyak yang membanggakan apa yang telah dikerjakannya sebagai karyanya. Semoga Allaah senantiasa membersihkan hati kita dari segala penyakit hati dan dari rasa sombong. Dan semoga kita mampu menjadi manusia yang diberi peran oleh Allaah untuk menunjukkan kebesaran-Nya melalui diri kita."
-diadaptasi dari materi yang disampaikan Prof. Dr. Ir. Abdullah Shahab, M. Sc dengan kemungkinan ada beberapa perbedaan redakasi karena keterbatasan ingatan-
Setelah mendengarkan materi tersebut, aku diam. Menundukkan kepala seperti orang mengheningkan cipta saat upacara. Sambil mendengarkan bisik seorang teman yang mengakui kedalaman makna isi materi tersebut. Aku pun terpaksa kembali berfikir ulang tentang definisi arti seluruh hidupku selama ini.
Ya Rabbi, begitu sering aku sombong dan berbangga diri.
Ruang Utama Masjid Manarul 'Ilmi ITS.
Surabaya, 3 Ramadhan 1435/ 30 Juni 2014
Bertemu di Perjalanan
Embun Rabu:
Sebenarnya, aku ingin membahas tentang politik nasional sih. Tapi beberapa teman bilang, mereka sedang bosan melihat timelinenya dipenuhi dengan copras-capres. Baiklah, kita bahas yang lain saja deh.
Kawan, beberapa waktu yang lalu aku menemukan kalimat ini,
"Aku paham. Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan." (Kurniawan Gunadi dalam Sebelum Kita Bertemu)
Sebenarnya, aku ingin membahas tentang politik nasional sih. Tapi beberapa teman bilang, mereka sedang bosan melihat timelinenya dipenuhi dengan copras-capres. Baiklah, kita bahas yang lain saja deh.
Kawan, beberapa waktu yang lalu aku menemukan kalimat ini,
"Aku paham. Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan." (Kurniawan Gunadi dalam Sebelum Kita Bertemu)
Minggu, 06 Juli 2014
Bukankah Engkau Maha Mengetahui?
“Ya Allah, Kau tahu apa yang kumau. Aamiin,” cerita salah seorang sahabatku tentang masa kecil temannya. Saat itu, kami saling berbagi cerita tentang masa kecil masing-masing. Lumayan, menyegarkan otak setelah panas karena dimakan oleh caing-cacing integral di ujian sekolah saat aku masih berseragam putih abu-abu.
Mungkin di antara kita ada yang tertawa. Tidak habis pikir kok ya ada orang yang berdo’a seperti itu. Eh, jangan salah lho ya. Kadang-kadang, sadar ataupun tidak, kita juga melakukan itu. Aku yakin, pasti ada yang tidak terima karena aku mengatakan itu. Tapi coba kita renungkan dulu.
Contohnya saja, lebih lengkap mana kita menceritakan masalah yang sedang kita hadapi kepada teman curhat atau Allah? Lalu, saat kita minta solusi dari permasalahan tersebut, seberapa lengkap kita menjabarkan konsekuensi yang akan kita hadapi dari masing-masing solusi yang mungkin ada? Dan satu lagi, lebih mengharu biru mana, kita mencurahkan segala perasaan kita kepada orang lain atau kepada Allah?
Aha! Bukan hanya teman curhat, tapi lebih dalam manakah makna do’a yang kita panjatkan kepada Allah dibanding dengan status kita di media sosial seperti facebook? Lebih menghayati yang mana kita saat mengungkapkannya? Tidak perlu dijawab dengan lisan. Cukuplah kita jawab dengan hati, kawan. Jika sudah kita temukan jawabannya, semoga Allah semakin menambah keimanan kita dan melapangkan hati kita.
Mari kita renungkan. Kita seringkali tidak jujur kepada Allah. Kita seringkali lebih jujur kepada manusia. Kita lebih detail menyampaikan apa yang menjadi hajat kita kepada manusia daripada berdo’a pada-Nya.
Lho, Allah kan Maha Tahu? Tahu segalanya. Berarti nggak usah dijelaskan detail udah tahu.
Benar, kawan. Allah Maha Tahu. Tapi ini bukan masalah tentang-Nya. Tapi masalah kita sebagai hamba. Baiklah, mari kita bahas satu per satu:
1. Adakah kita dengan jujur meminta kepada-Nya dalam berdo’a? Jujur dalam artian kita sebutkan masalah kita. Kita jelaskan kesulitan kita. Dan kita sebutkan untuk apa kita datang kepada-Nya. Ini masalah kejujuran kita dalam meminta. Kita tunjukkan seberapa penting hajat tersebut bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Adakah kita mengakui kelemahan diri sebagai hamba dalam menghadap-Nya? Jangan-jangan kita bersikap sombong dalam berdo’a. Jangan-jangan kita hanya minta ini minta itu tanpa lebih dulu mengagungkan asma-Nya. Di sinilah yang penting. Dalamnya rasa keberhamabaan kita kepada Allah diuji. Seberapa jauh kita memiliki rasa sebagai hamba-Nya yang butuh pertolongan-Nya.
Allah Maha Mengetahui. Tahu segalanya. Tahu pikiran kita. Dia juga tahu apa yang terlintas dalam hati kita bahkan tanpa kita sebutkan. Dia juga tahu atas apa yang akan terjadi untuk peristiwa-peristiwa yang belum menjadi nyata.
Tapi di sinilah masalahnya. Kita jarang sekali, itupun kalau pernah, mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya. Kita jarang sekali mengakui keterbatasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita bahkan lebih sering memilih diksi-diksi yang indah untuk dituliskan di media sosial atau diceritakan kepada orang lain. Dan ketika berdo’a, kita menggunakan kata-kata seadanya, tanpa tersusun rapi, dan dengan perasaan yang tergesa-gesa.
3. Adakah kita punya alasan kenapa kita meminta itu? Contoh, kita minta dikasih uang yang banyak sehingga bisa beli ini beli itu. Lalu jika ditanya untuk apa semua itu? Kita diam. Kita membisu. Mungkin sambil garuk-garuk kepala.
Allah Maha Mengetahui. Dia tahu apa yang kita inginkan. Tapi adakah kita jujur pada-Nya tentang keinginan kita? Untuk apa? Kenapa? Bagaimana? Kita seringkali tidak mengutarakannya pada Allah.
4. Adakah kita bersyukur untuk do’a yang telah terkabul sebelumnya? Jangan-jangan kita lebih sering meminta hal-hal yang belum terjadi. Tapi kita lupa untuk bersyukur atas do’a yang telah terkabul.
Bersyukur, tidak cukup dengan mengucap hamdallah saja bukan? Ia perlu diiringi sikap ketundukan. Ia perlu diiringi sikap untuk senantiasa menjaga dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan. Contoh, kesehatan setelah sakit. Nggak cukup dengan hamdallah di lisan saja. Tapi kita nggak menjaga kesehatan, Tapi kita juga perlu menjaga kesehatan tubuh dengan pola makan yang teratur, istirahat yang cukup, makan makanan empat sehat lima sempurna, dan sebagainya.
Kawan, aku menulis ini bukan berarti aku telah baik dalam berdo’a. Bukaaan. Sama sekali bukan. Justru mungkin tulisan ini lebih pantas untuk ditujukan pada diriku sendiri.
Ah, cukup dulu tulisan kali ini. Semoga Allah senantiasa mengajarkan kita untuk takwa kepada-Nya.
Aamiin.
Kota Pahlawan, 8 Ramadhan 1435/ 6 Juli 2014
Mungkin di antara kita ada yang tertawa. Tidak habis pikir kok ya ada orang yang berdo’a seperti itu. Eh, jangan salah lho ya. Kadang-kadang, sadar ataupun tidak, kita juga melakukan itu. Aku yakin, pasti ada yang tidak terima karena aku mengatakan itu. Tapi coba kita renungkan dulu.
Contohnya saja, lebih lengkap mana kita menceritakan masalah yang sedang kita hadapi kepada teman curhat atau Allah? Lalu, saat kita minta solusi dari permasalahan tersebut, seberapa lengkap kita menjabarkan konsekuensi yang akan kita hadapi dari masing-masing solusi yang mungkin ada? Dan satu lagi, lebih mengharu biru mana, kita mencurahkan segala perasaan kita kepada orang lain atau kepada Allah?
Aha! Bukan hanya teman curhat, tapi lebih dalam manakah makna do’a yang kita panjatkan kepada Allah dibanding dengan status kita di media sosial seperti facebook? Lebih menghayati yang mana kita saat mengungkapkannya? Tidak perlu dijawab dengan lisan. Cukuplah kita jawab dengan hati, kawan. Jika sudah kita temukan jawabannya, semoga Allah semakin menambah keimanan kita dan melapangkan hati kita.
Mari kita renungkan. Kita seringkali tidak jujur kepada Allah. Kita seringkali lebih jujur kepada manusia. Kita lebih detail menyampaikan apa yang menjadi hajat kita kepada manusia daripada berdo’a pada-Nya.
Lho, Allah kan Maha Tahu? Tahu segalanya. Berarti nggak usah dijelaskan detail udah tahu.
Benar, kawan. Allah Maha Tahu. Tapi ini bukan masalah tentang-Nya. Tapi masalah kita sebagai hamba. Baiklah, mari kita bahas satu per satu:
1. Adakah kita dengan jujur meminta kepada-Nya dalam berdo’a? Jujur dalam artian kita sebutkan masalah kita. Kita jelaskan kesulitan kita. Dan kita sebutkan untuk apa kita datang kepada-Nya. Ini masalah kejujuran kita dalam meminta. Kita tunjukkan seberapa penting hajat tersebut bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Adakah kita mengakui kelemahan diri sebagai hamba dalam menghadap-Nya? Jangan-jangan kita bersikap sombong dalam berdo’a. Jangan-jangan kita hanya minta ini minta itu tanpa lebih dulu mengagungkan asma-Nya. Di sinilah yang penting. Dalamnya rasa keberhamabaan kita kepada Allah diuji. Seberapa jauh kita memiliki rasa sebagai hamba-Nya yang butuh pertolongan-Nya.
Allah Maha Mengetahui. Tahu segalanya. Tahu pikiran kita. Dia juga tahu apa yang terlintas dalam hati kita bahkan tanpa kita sebutkan. Dia juga tahu atas apa yang akan terjadi untuk peristiwa-peristiwa yang belum menjadi nyata.
Tapi di sinilah masalahnya. Kita jarang sekali, itupun kalau pernah, mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya. Kita jarang sekali mengakui keterbatasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Kita bahkan lebih sering memilih diksi-diksi yang indah untuk dituliskan di media sosial atau diceritakan kepada orang lain. Dan ketika berdo’a, kita menggunakan kata-kata seadanya, tanpa tersusun rapi, dan dengan perasaan yang tergesa-gesa.
3. Adakah kita punya alasan kenapa kita meminta itu? Contoh, kita minta dikasih uang yang banyak sehingga bisa beli ini beli itu. Lalu jika ditanya untuk apa semua itu? Kita diam. Kita membisu. Mungkin sambil garuk-garuk kepala.
Allah Maha Mengetahui. Dia tahu apa yang kita inginkan. Tapi adakah kita jujur pada-Nya tentang keinginan kita? Untuk apa? Kenapa? Bagaimana? Kita seringkali tidak mengutarakannya pada Allah.
4. Adakah kita bersyukur untuk do’a yang telah terkabul sebelumnya? Jangan-jangan kita lebih sering meminta hal-hal yang belum terjadi. Tapi kita lupa untuk bersyukur atas do’a yang telah terkabul.
Bersyukur, tidak cukup dengan mengucap hamdallah saja bukan? Ia perlu diiringi sikap ketundukan. Ia perlu diiringi sikap untuk senantiasa menjaga dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan. Contoh, kesehatan setelah sakit. Nggak cukup dengan hamdallah di lisan saja. Tapi kita nggak menjaga kesehatan, Tapi kita juga perlu menjaga kesehatan tubuh dengan pola makan yang teratur, istirahat yang cukup, makan makanan empat sehat lima sempurna, dan sebagainya.
Kawan, aku menulis ini bukan berarti aku telah baik dalam berdo’a. Bukaaan. Sama sekali bukan. Justru mungkin tulisan ini lebih pantas untuk ditujukan pada diriku sendiri.
Ah, cukup dulu tulisan kali ini. Semoga Allah senantiasa mengajarkan kita untuk takwa kepada-Nya.
Aamiin.
Kota Pahlawan, 8 Ramadhan 1435/ 6 Juli 2014
Senin, 12 Mei 2014
If You Want To Go
Lama telah menghilang dari peradaban, kini serial Embun berusaha untuk hadir kembali.
Embun Senin:
Sebuah pepatah Afrika mengatakan, "If You Want To Go Fast, Go Alone. If You Want To Go Far, Go Together".
Mungkin benar. Dan rasanya benar. If You Want To Go Fast, Go Alone. Berfikir dan bekerja secara praktis memang kita butuhkan sehingga apa yang tertuang manis dalam teori dapat dilaksanakan dengan cepat dan membuahkan hasil nyata.
Embun Senin:
Sebuah pepatah Afrika mengatakan, "If You Want To Go Fast, Go Alone. If You Want To Go Far, Go Together".
Mungkin benar. Dan rasanya benar. If You Want To Go Fast, Go Alone. Berfikir dan bekerja secara praktis memang kita butuhkan sehingga apa yang tertuang manis dalam teori dapat dilaksanakan dengan cepat dan membuahkan hasil nyata.
Sabtu, 10 Mei 2014
Keliling Surabaya
Sebenarnya,
melakukan perjalanan itu menyenangkan. Asalkan saja ada waktu yang cukup dan
teman yang menggairahkan, perjalanan itu manis.
Di Kampus, Saya Dibesarkan oleh...
“Ada yang mengatakan
bahwa matinya idealisme seorang mahasiswa dimulai ketika ia diwisuda. Tapi saya
yakin, mas-mas yang ada di sini tidak akan melupakan idealisme itu…” kata seorang gadis berjilbab putih
dalam sebuah momen perpisahan di kantor redaksi ITS Online. Saya trenyuh. Kata-kata
itu, pernah saya baca di sebuah cover
dari buletin yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa 1.0 ITS. Dan saat
gadis ini mengucapkan kata-kata itu di momen perpisahan, saya bertanya dalam
hati, bisakah saya menjaga idealisme di masa depan seperti saya menjaganya
semasa mahasiswa?
Selasa, 15 April 2014
Andai Saja Aku Mampu Melindunginya.
Aku sangat merindukannya. Gadis bermata
bening yang anggun perangainya. Sudah satu pekan ini ia tak duduk bersamaku dan
menceritakan hari-hari yang dijalaninya. Saat ini ia hanya mampu terbaring
lemah tanpa sedetik pun sempat menyadarkan diri.
Senin, 14 April 2014
Ini Tentang Kesan
Embun di Senin Malam:
Tiba-tiba menemukan ini. Dan tiba-tiba.... Teringat pada...
"aku kenal seseorang.
kenal, bukan sekedar tahu, karena entah bagaimana, ia membuatku merasa mengenalnya. berbuatnya banyak; menulisnya banyak; rajin tersenyum; jarang bicara. untuk menggambarkan sosoknya, harus kugunakan segala kontradiksi yang membingungkan.
ia seperti buku yang terbuka, dengan tiap-tiap halaman menyajikan alur yang tak tertebak. ia pintu yang tak dikunci, tapi tertutup rapat. ia seorang penghemat kata, yang kaya kosakata.
meski raut wajahnya miskin ekspresi, ia turut menertawakan yang membuatku tertawa. dalam obrolan kami yang langka, ia pun kerap menjelma jadi jenaka.
dan pernahkah kau melihat seorang yang piawai berpresentasi —runut menjelaskan pokok pemikiran dengan penuh percaya diri— terbata menanyakan kabar?
itu lucu sekali.
betapa aku menunggunya membicarakan hal-hal yang ia tulis, sebab pasti barangkali akan semarak. betapa aku juga menunggu kesempatan untuk sungguhan mengenalnya, bukan hanya merasa.
tapi seingin-inginnya aku,
aku lebih takut candu." (Kinsia dalam namasayakinsi.tumblr.com)
Kawan, ada beberapa orang yang mampu kita ingat dan kita kenang walau pertemuan kita dengan mereka hanya sebentar. Tak lama. Tak sering. Namun mereka mampu menggoreskan segaris ingatan yang dalam. Nama mereka seperti terukir dalam hati dan ingatan kita. Itu karena kesan yang mereka berikan bergitu bermakna.
Namun ada juga orang yang sering bertemu, tapi kita tak ingat apapun tentang mereka. Kita tak menemukan keindahan apapun pada sosoknya, meski mungkin kita yang kurang jeli mengenalnya, Itu mungkin karena kesan kita tentang mereka kurang bermakna.
Berbicara kesan, mungkin luas. Tapi, bisa jadi kesan itu berbanding lurus dengan kualitas yang kita berikan pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita.
Kalau kita memberikan kualitas hidup terbaik yang bisa kita lakukan, meski tak sempurna, kepada orang-orang yang ada di sekitar, kesan itu tidak hanya akan menancap. Tapi ia juga akan tumbuh dan berbuah manis.
Tiba-tiba menemukan ini. Dan tiba-tiba.... Teringat pada...
"aku kenal seseorang.
kenal, bukan sekedar tahu, karena entah bagaimana, ia membuatku merasa mengenalnya. berbuatnya banyak; menulisnya banyak; rajin tersenyum; jarang bicara. untuk menggambarkan sosoknya, harus kugunakan segala kontradiksi yang membingungkan.
ia seperti buku yang terbuka, dengan tiap-tiap halaman menyajikan alur yang tak tertebak. ia pintu yang tak dikunci, tapi tertutup rapat. ia seorang penghemat kata, yang kaya kosakata.
meski raut wajahnya miskin ekspresi, ia turut menertawakan yang membuatku tertawa. dalam obrolan kami yang langka, ia pun kerap menjelma jadi jenaka.
dan pernahkah kau melihat seorang yang piawai berpresentasi —runut menjelaskan pokok pemikiran dengan penuh percaya diri— terbata menanyakan kabar?
itu lucu sekali.
betapa aku menunggunya membicarakan hal-hal yang ia tulis, sebab pasti barangkali akan semarak. betapa aku juga menunggu kesempatan untuk sungguhan mengenalnya, bukan hanya merasa.
tapi seingin-inginnya aku,
aku lebih takut candu." (Kinsia dalam namasayakinsi.tumblr.com)
Kawan, ada beberapa orang yang mampu kita ingat dan kita kenang walau pertemuan kita dengan mereka hanya sebentar. Tak lama. Tak sering. Namun mereka mampu menggoreskan segaris ingatan yang dalam. Nama mereka seperti terukir dalam hati dan ingatan kita. Itu karena kesan yang mereka berikan bergitu bermakna.
Namun ada juga orang yang sering bertemu, tapi kita tak ingat apapun tentang mereka. Kita tak menemukan keindahan apapun pada sosoknya, meski mungkin kita yang kurang jeli mengenalnya, Itu mungkin karena kesan kita tentang mereka kurang bermakna.
Berbicara kesan, mungkin luas. Tapi, bisa jadi kesan itu berbanding lurus dengan kualitas yang kita berikan pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita.
Kalau kita memberikan kualitas hidup terbaik yang bisa kita lakukan, meski tak sempurna, kepada orang-orang yang ada di sekitar, kesan itu tidak hanya akan menancap. Tapi ia juga akan tumbuh dan berbuah manis.
Kamis, 10 April 2014
Berbanding Lurus
Embun Kamis:
"... Pada suatu hari, beberapa mata-mata menyusup ke dalam perkumpulan para pemuda (Andalusia, red) dan mereka menemukan dua orang pemuda sedang berdebat. Para penyusup itu senang dan mereka mendatangi dua orang pemuda itu untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
Ternyata dua orang pemuda tersebut berlainan pendapat tentang susunan hadits dalam kitab Bukhari. Maka para penyusup itu pulang melaporkan apa yang mereka dapati,
"Islam tidak bisa dihancurkan sekarang,"
Setelah beberapa tahun, mereka kembali lagi ke Andalusia untuk yang kedua kalinya. Mereka melihat pemuda Muslim masih membicarakan tentang ilmu dan agama, mereka kembali lagi dengan tangan kosong untuk yang kedua kalinya.
Setelah beberapa tahun merka kembali lagi untuk yang ketiga kalinya. Saat itu mereka menemukan seorang pemuda yang duduk sambil menangis, kemudian mereka bertanya.
"Apa yang kamu tangiskan?"
Pemuda itu menjawab,
"Aku telah dtinggalkan kekasihku"
Dan para mata-mata itu kembali untuk melaporkan apa yang mereka dapati, mereka mengatakan,
"Sekarang kalian dapat mengalahkan Islam,"
Ternyata benar dengan mudah mereka dapat mengalahkan Islam di Andalusia dan setelah 25 tahun, Islam telah habis semuanya, dan tidak ada lagi kenangan Andalusia." (Dikutip dengan sedikit adaptasi EYD dari Kalam Min Qalb karya Amru Khalid halaman 169-170).
Meski dari analisa para ahli sejarah menyatakan banyak sebab keruntuhan Andalusia, tapi bisa kita fokuskan pada satu poin. Ternyata prestasi (bukan hanya akademik dan nilai di atas kertas, namun definisi yang lebih luas), berbanding lurus dengan ketakwaan kita kepada Allaah. Betapa besar pengaruh antara keshalihan dan kemaksiatan kita terhadap kondisi hidup kita.
"Waman Yattaqillaha Yaj’allahu Makhrajan Wa Yarzuqhu Min Haithu La Yahtasib..."
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah , niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala perkara yang menyusahkannya). Serta memberinya rezeki dari jalan yang tidak terlintas di hatinya ...” (Surah At Talaq Ayat 2-3)
Jangan lupa untuk memulai hari ini dengan niat yang baik dan memasukkan agenda-agenda akhirat. Agar kelak kita menjadi manusia yang menang di dunia dan di akhirat. Dan jangan lupa shalat dhuga terlebih dahulu. Berurusan dengan Allaah lebih dulu sebelum berurusan dengan manusia.
Nb: Bu Wiwik Wahyu Cph, terima kasih atas hibah bukunya.
"... Pada suatu hari, beberapa mata-mata menyusup ke dalam perkumpulan para pemuda (Andalusia, red) dan mereka menemukan dua orang pemuda sedang berdebat. Para penyusup itu senang dan mereka mendatangi dua orang pemuda itu untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
Ternyata dua orang pemuda tersebut berlainan pendapat tentang susunan hadits dalam kitab Bukhari. Maka para penyusup itu pulang melaporkan apa yang mereka dapati,
"Islam tidak bisa dihancurkan sekarang,"
Setelah beberapa tahun, mereka kembali lagi ke Andalusia untuk yang kedua kalinya. Mereka melihat pemuda Muslim masih membicarakan tentang ilmu dan agama, mereka kembali lagi dengan tangan kosong untuk yang kedua kalinya.
Setelah beberapa tahun merka kembali lagi untuk yang ketiga kalinya. Saat itu mereka menemukan seorang pemuda yang duduk sambil menangis, kemudian mereka bertanya.
"Apa yang kamu tangiskan?"
Pemuda itu menjawab,
"Aku telah dtinggalkan kekasihku"
Dan para mata-mata itu kembali untuk melaporkan apa yang mereka dapati, mereka mengatakan,
"Sekarang kalian dapat mengalahkan Islam,"
Ternyata benar dengan mudah mereka dapat mengalahkan Islam di Andalusia dan setelah 25 tahun, Islam telah habis semuanya, dan tidak ada lagi kenangan Andalusia." (Dikutip dengan sedikit adaptasi EYD dari Kalam Min Qalb karya Amru Khalid halaman 169-170).
Meski dari analisa para ahli sejarah menyatakan banyak sebab keruntuhan Andalusia, tapi bisa kita fokuskan pada satu poin. Ternyata prestasi (bukan hanya akademik dan nilai di atas kertas, namun definisi yang lebih luas), berbanding lurus dengan ketakwaan kita kepada Allaah. Betapa besar pengaruh antara keshalihan dan kemaksiatan kita terhadap kondisi hidup kita.
"Waman Yattaqillaha Yaj’allahu Makhrajan Wa Yarzuqhu Min Haithu La Yahtasib..."
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah , niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala perkara yang menyusahkannya). Serta memberinya rezeki dari jalan yang tidak terlintas di hatinya ...” (Surah At Talaq Ayat 2-3)
Jangan lupa untuk memulai hari ini dengan niat yang baik dan memasukkan agenda-agenda akhirat. Agar kelak kita menjadi manusia yang menang di dunia dan di akhirat. Dan jangan lupa shalat dhuga terlebih dahulu. Berurusan dengan Allaah lebih dulu sebelum berurusan dengan manusia.
Nb: Bu Wiwik Wahyu Cph, terima kasih atas hibah bukunya.
Rabu, 09 April 2014
Cerdas Itu
Embun Rabu:
Einstein dan Mr Bean duduk berdampingan dalam sebuah penerbangan. Einstein mengajak memainkan sebuah permainan tebak-tebakan.
Einstein: Aku akan mengajukan satu pertanyaan, jika Anda tidak tahu jawabannya maka Anda membayar saya hanya $5 dan jika saya tidak tahu jawabannya, saya akan
membayar Anda $500.
Einstein mengajukan pertanyaan pertama: Berapa jarak dari Bumi ke Bulan?
Mr Bean tidak mengucapkan sepatah kata pun, merogoh saku, mengeluarkan $ 5. Sekarang, giliran Mr Bean...
Dia bertanya kepada Einstein: Apakah yang naik ke atas bukit dengan 3 kaki, dan akan turun dengan 4 kaki ??
Einstein melakukan pencarian internet, dan meminta semua teman-temannya yg cerdas. Setelah satu jam mencari jawaban… akhirnya ia memberikan Mr Bean $ 500.
Einstein sambil penasaran bertanya: Nah, jadi apa naik ke atas bukit dengan tiga kaki dan turun dengan empat
kaki?
Mr Bean merogoh saku, dan memberikan
Einstein $ 5. !!!
Einstein: !@#$%^&*
(Copas dari google)
Selamat malam kawan. Jika td pg kita awali hari dgn senyuman, maka tidak ada salahnya malam ini juga ditutup dgn tersenyum. Jangan lupa juga ambil air wudhu dan doa sebelum terlelap dalam mimpi yang indah.
*Setelah seharian melihat update kabar tentang partai2.
Jangan lupa do'akan Indonesia juga. Agar mimpi2 yang selama ini tergadai karena lupa, bisa direngkuh lagi oleh bangsanya.
Einstein dan Mr Bean duduk berdampingan dalam sebuah penerbangan. Einstein mengajak memainkan sebuah permainan tebak-tebakan.
Einstein: Aku akan mengajukan satu pertanyaan, jika Anda tidak tahu jawabannya maka Anda membayar saya hanya $5 dan jika saya tidak tahu jawabannya, saya akan
membayar Anda $500.
Einstein mengajukan pertanyaan pertama: Berapa jarak dari Bumi ke Bulan?
Mr Bean tidak mengucapkan sepatah kata pun, merogoh saku, mengeluarkan $ 5. Sekarang, giliran Mr Bean...
Dia bertanya kepada Einstein: Apakah yang naik ke atas bukit dengan 3 kaki, dan akan turun dengan 4 kaki ??
Einstein melakukan pencarian internet, dan meminta semua teman-temannya yg cerdas. Setelah satu jam mencari jawaban… akhirnya ia memberikan Mr Bean $ 500.
Einstein sambil penasaran bertanya: Nah, jadi apa naik ke atas bukit dengan tiga kaki dan turun dengan empat
kaki?
Mr Bean merogoh saku, dan memberikan
Einstein $ 5. !!!
Einstein: !@#$%^&*
(Copas dari google)
Selamat malam kawan. Jika td pg kita awali hari dgn senyuman, maka tidak ada salahnya malam ini juga ditutup dgn tersenyum. Jangan lupa juga ambil air wudhu dan doa sebelum terlelap dalam mimpi yang indah.
*Setelah seharian melihat update kabar tentang partai2.
Jangan lupa do'akan Indonesia juga. Agar mimpi2 yang selama ini tergadai karena lupa, bisa direngkuh lagi oleh bangsanya.
Senin, 07 April 2014
Adagium Politik
Embun Senin:
"Dalam politik, berlaku adagium, 'there is no permanent friend and enemy. But there is permanent interest.'
Dapat dilihat Jepang, dalam upayanya memperoleh tanah jajahan Jerman di Samudera Pasifik, dalam Perang Dujia I, berpihak pada Blok Sekoetoe. Sebaliknya pada Perang Dunia II, Jepang berpihak pada Axis Pact-Jerman melawan Allied Forces-Sekoetoe..." (Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 hal 5)
"Dalam politik, berlaku adagium, 'there is no permanent friend and enemy. But there is permanent interest.'
Dapat dilihat Jepang, dalam upayanya memperoleh tanah jajahan Jerman di Samudera Pasifik, dalam Perang Dujia I, berpihak pada Blok Sekoetoe. Sebaliknya pada Perang Dunia II, Jepang berpihak pada Axis Pact-Jerman melawan Allied Forces-Sekoetoe..." (Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 hal 5)
Kamis, 03 April 2014
Lonely Pepole
Embun Kamis menjelang senja:
A: "I see lonely people everywhere."
B: "How do you know if they're lonely?"
A: "They are sitting alone in public places with a cup of coffee as their company; busy tapping, scrolling, smiling to a gadget. I mean, you would not need to second guess." (Kinsi dalam blognya)
---------------------------------------------------------------------------------
*Seringkali kita lebih sibuk dengan teman-teman yang berada nun jauh di sana. Tidak salah memang menjalin silaturrahim dan menghangatkan perkenalan yang telah terjalin. Harus malah. Tapi bukankah semua itu ada porsinya?
Contohnya saja, seorang ibu yang merindukan kepulangan anaknya. Begitu anak pulang, bermacam-macam pertanyaan ingin dilontarkan sang ibu. "Bagaimana kabarmu?", "Apakah kuliahmu menyenangkan, nak?", "Kebermanfaatan apa saja yang sudah kamu tebar di kampus, nak?". Tapi pertanyaan itu hanya sampai di tenggorokan. Karena sang anak yang kini sedang duduk di samping ibu, lebih sibuk menekuri handphonenya yang katanya pintar itu.
Atau dua mahasiswa yang sudah saling kenal sedang duduk bersebelahan. Mereka hanya saling kenal nama dan tempat asal. Mereka tidak saling tahu bagaimana keluarga masing-masing, makanan kesukaan apa, hari istimewa apa, hal yang tidak disukai apa, visi dan misi hidup temannya apa, pemikirannya bagaimana, dan masalah temannya apa.
Jadilah sekarang banyak aktivis dunia maya. Jadilah sekarang banyak orang yang populer di luar. Tapi sayang, mereka TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT DI DALAM HATI ORANG-ORANG TERDEKAT. Karena mereka tidak memberikan WAKTU yang cukup untuk orang-orang terdekat.
Nb: Trima kasih untuk Mu Izz yg memberikan deskripsi dari kasus ini.
A: "I see lonely people everywhere."
B: "How do you know if they're lonely?"
A: "They are sitting alone in public places with a cup of coffee as their company; busy tapping, scrolling, smiling to a gadget. I mean, you would not need to second guess." (Kinsi dalam blognya)
---------------------------------------------------------------------------------
*Seringkali kita lebih sibuk dengan teman-teman yang berada nun jauh di sana. Tidak salah memang menjalin silaturrahim dan menghangatkan perkenalan yang telah terjalin. Harus malah. Tapi bukankah semua itu ada porsinya?
Contohnya saja, seorang ibu yang merindukan kepulangan anaknya. Begitu anak pulang, bermacam-macam pertanyaan ingin dilontarkan sang ibu. "Bagaimana kabarmu?", "Apakah kuliahmu menyenangkan, nak?", "Kebermanfaatan apa saja yang sudah kamu tebar di kampus, nak?". Tapi pertanyaan itu hanya sampai di tenggorokan. Karena sang anak yang kini sedang duduk di samping ibu, lebih sibuk menekuri handphonenya yang katanya pintar itu.
Atau dua mahasiswa yang sudah saling kenal sedang duduk bersebelahan. Mereka hanya saling kenal nama dan tempat asal. Mereka tidak saling tahu bagaimana keluarga masing-masing, makanan kesukaan apa, hari istimewa apa, hal yang tidak disukai apa, visi dan misi hidup temannya apa, pemikirannya bagaimana, dan masalah temannya apa.
Jadilah sekarang banyak aktivis dunia maya. Jadilah sekarang banyak orang yang populer di luar. Tapi sayang, mereka TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT DI DALAM HATI ORANG-ORANG TERDEKAT. Karena mereka tidak memberikan WAKTU yang cukup untuk orang-orang terdekat.
Nb: Trima kasih untuk Mu Izz yg memberikan deskripsi dari kasus ini.
Senin, 31 Maret 2014
Mending Dicoblos Semua
Embun Senin
Suatu saat saya berbincang dengan teman saya. Dia (teman saya, red) cerita kalau temannya bingung mau memilih siapa waktu pemilu.
Temannya Teman Saya (TTS): Saya bingung mas mau pilih siapa.
Teman Saya (TS): Bingung kenapa? Tinggal kenali aja calonnya.
TTS: Justru itu yang bikin saya bingung. Partai A, B, dan C ngasih uang yang sama besarnya ke saya. Saya harus pilih yang mana kalau gitu?
TS: Ya udah nggak usah nyoblos.
TTS: (Berfikir sejenak). Aha! Kalau nggak nyoblos saya dosa, mas! Saya udah janji bakal nyoblos. Kalau nggak nyoblos, saya kan melanggar janji. Jadi, saya coblos semuanya aja deh. Biar adil. Kan sama besar uang yang dikasih...
Saya yang mendengar cerita itu: Melongo dan menerawang jauh.
Selamat pagi, kawan. Jangan lupa awali hari ini tersenyum dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama kita dengan memasukkan amal2 akhirat dalam agenda hari ini. Jangan menunggu bahagia dulu untuk tersenyum. Tapi tersenyumlah agar kebahagiaan itu senantiasa kita rasakan.
"Jika orang lain mengatakan bahwa time is money, maka mari kita katakan time is for Allaah" (Ust. Yusuf Mansur dalam ceramah Perbaiki Shalat Kita)
*Kisah dan penutup mungkin nggak nyambung2 amat. Mohon maaf.
Suatu saat saya berbincang dengan teman saya. Dia (teman saya, red) cerita kalau temannya bingung mau memilih siapa waktu pemilu.
Temannya Teman Saya (TTS): Saya bingung mas mau pilih siapa.
Teman Saya (TS): Bingung kenapa? Tinggal kenali aja calonnya.
TTS: Justru itu yang bikin saya bingung. Partai A, B, dan C ngasih uang yang sama besarnya ke saya. Saya harus pilih yang mana kalau gitu?
TS: Ya udah nggak usah nyoblos.
TTS: (Berfikir sejenak). Aha! Kalau nggak nyoblos saya dosa, mas! Saya udah janji bakal nyoblos. Kalau nggak nyoblos, saya kan melanggar janji. Jadi, saya coblos semuanya aja deh. Biar adil. Kan sama besar uang yang dikasih...
Saya yang mendengar cerita itu: Melongo dan menerawang jauh.
Selamat pagi, kawan. Jangan lupa awali hari ini tersenyum dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama kita dengan memasukkan amal2 akhirat dalam agenda hari ini. Jangan menunggu bahagia dulu untuk tersenyum. Tapi tersenyumlah agar kebahagiaan itu senantiasa kita rasakan.
"Jika orang lain mengatakan bahwa time is money, maka mari kita katakan time is for Allaah" (Ust. Yusuf Mansur dalam ceramah Perbaiki Shalat Kita)
*Kisah dan penutup mungkin nggak nyambung2 amat. Mohon maaf.
Senin, 24 Maret 2014
Menyendiri Bersama Angin
Embun Senin:
"Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata," (Bung Karno, 1933 via Mas Januar Indra Yudhatama)
"Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata," (Bung Karno, 1933 via Mas Januar Indra Yudhatama)
Senin, 17 Maret 2014
Wisuda
Embun Senin:
Ini tentang momen.
Seringkali kita memerlukan momen untuk sebuah penegasan terhadap kondisi. Meski momen-momen berupa seremoni itu tak semuanya perlu, tapi ada beberapa momen yang penting dilakukan. Memang, momen bukan inti dari sebuah pesan, tapi kita bisa mengungkapkan banyak hal melaluinya tanpa banyak berkata.
Misal, momen welcome party untuk mengakui bahwa kita ada, pernikahan atas sebuah pengungkapan rasa cinta, dan perpisahan untuk menegaskan semua kenangan yang telah terjadi. Termasuk wisuda yang mengisyaratkan banyak hal; perjuangan, persahabatan, cita-cita, harapan, idealisme, dan lagi, perpisahan.
Karena pada beberapa keadaan, termasuk detik-detik ini, KATA TAK BISA LAGI UNGKAPKAN SEMUA.
Ini tentang momen.
Seringkali kita memerlukan momen untuk sebuah penegasan terhadap kondisi. Meski momen-momen berupa seremoni itu tak semuanya perlu, tapi ada beberapa momen yang penting dilakukan. Memang, momen bukan inti dari sebuah pesan, tapi kita bisa mengungkapkan banyak hal melaluinya tanpa banyak berkata.
Misal, momen welcome party untuk mengakui bahwa kita ada, pernikahan atas sebuah pengungkapan rasa cinta, dan perpisahan untuk menegaskan semua kenangan yang telah terjadi. Termasuk wisuda yang mengisyaratkan banyak hal; perjuangan, persahabatan, cita-cita, harapan, idealisme, dan lagi, perpisahan.
Karena pada beberapa keadaan, termasuk detik-detik ini, KATA TAK BISA LAGI UNGKAPKAN SEMUA.
Jumat, 14 Maret 2014
Akibat Sinetron
Embun Jum'at (14 Maret 2014):
Jadi ceritanya, sambil menghabiskan pangsit masing-masing semalam, saya dan Mu Izz diskusi tentang pengaruh tayangan film pada kondisi seseorang. Tiba-tiba ingat status yang pernah ditulis Mbak Daniella Jaladara beberapa waktu lalu.
"Pantas saja generasi muda kita bobrok. Sinetron ngajarin gak bener, orang tua cenderung membiarkan. Anehnya, sinetron cintrong2 remaja itu syutingnya di sekolahan, tapi settingnya rebutan pacar, nge-bully temen, hedonis- pamer mobil, rumah mewah, ortu kaya dan hang-out ke mall atau cafe2.
Lebih ngerinya lagi, sosok guru selalu diperankan oleh yang super galak- super jelek. Trus dengan tanpa dosa murid-muridnya ngelawan dan mengejek gurunya.
Mau diapakan anak bangsa ini?
Hellowwww pak polisi, tuch tangkepin anak2 yg ke sekolah bawa mobil tanpa SIM!
Hellowwww KPI! tuch BERANGUS hak siar tipi-tipi yang bikin program yang merusak moralitas bangsa.
Hellowww KPAI, menyelamatkan anak bangsa dengan advokasi media cetak-sosmed-elektronik itu penting tau!
Jangan cuma iklan partai yang gentayangan di sosmed dong!
?#?geram?!
Kami mati-matian memperbaiki nasib generasi, tapi mereka yang merusaknya malah dijadikan tontonan!
Jangan gadaikan masa depan anak bangsa!"
Jadi ceritanya, sambil menghabiskan pangsit masing-masing semalam, saya dan Mu Izz diskusi tentang pengaruh tayangan film pada kondisi seseorang. Tiba-tiba ingat status yang pernah ditulis Mbak Daniella Jaladara beberapa waktu lalu.
"Pantas saja generasi muda kita bobrok. Sinetron ngajarin gak bener, orang tua cenderung membiarkan. Anehnya, sinetron cintrong2 remaja itu syutingnya di sekolahan, tapi settingnya rebutan pacar, nge-bully temen, hedonis- pamer mobil, rumah mewah, ortu kaya dan hang-out ke mall atau cafe2.
Lebih ngerinya lagi, sosok guru selalu diperankan oleh yang super galak- super jelek. Trus dengan tanpa dosa murid-muridnya ngelawan dan mengejek gurunya.
Mau diapakan anak bangsa ini?
Hellowwww pak polisi, tuch tangkepin anak2 yg ke sekolah bawa mobil tanpa SIM!
Hellowwww KPI! tuch BERANGUS hak siar tipi-tipi yang bikin program yang merusak moralitas bangsa.
Hellowww KPAI, menyelamatkan anak bangsa dengan advokasi media cetak-sosmed-elektronik itu penting tau!
Jangan cuma iklan partai yang gentayangan di sosmed dong!
?#?geram?!
Kami mati-matian memperbaiki nasib generasi, tapi mereka yang merusaknya malah dijadikan tontonan!
Jangan gadaikan masa depan anak bangsa!"
Selasa, 11 Maret 2014
The Leader
Embun Senin:
"Hakikat kepemimpinan adalah ketajaman visi." (Theodore M. Hesburgh [1917-~], Rektor ke-15 Universitas Noter Dame, Amerika Serikat).
Bagi yang sedang menjadi pemimpin dan akan menjadi pemimpin, sudah setajam apa visi Anda? Ketajaman visi TIDAK CUKUP hanya dengan mimpi besar dan mengumumkannya ke publik. Tapi sejalan dengan itu, diselingi daya besar untuk mewujudkannya.
Lalu dia lebih banyak berkerja dalam sunyi, berkarya nyata dari kejauhan hiruk-pikuk dan kebisingan dunia, dan sepi di media namun namanya terpahat dan bergemuruh di hati banyak orang.
Nah, sebesar apa daya yang Anda miliki sekarang? Seterang apa mimpi yang hendak Anda tuju? Dan arah mana yang hendak Anda lalui?
"Hakikat kepemimpinan adalah ketajaman visi." (Theodore M. Hesburgh [1917-~], Rektor ke-15 Universitas Noter Dame, Amerika Serikat).
Bagi yang sedang menjadi pemimpin dan akan menjadi pemimpin, sudah setajam apa visi Anda? Ketajaman visi TIDAK CUKUP hanya dengan mimpi besar dan mengumumkannya ke publik. Tapi sejalan dengan itu, diselingi daya besar untuk mewujudkannya.
Lalu dia lebih banyak berkerja dalam sunyi, berkarya nyata dari kejauhan hiruk-pikuk dan kebisingan dunia, dan sepi di media namun namanya terpahat dan bergemuruh di hati banyak orang.
Nah, sebesar apa daya yang Anda miliki sekarang? Seterang apa mimpi yang hendak Anda tuju? Dan arah mana yang hendak Anda lalui?
10 Maret 2014
Mengutamakan Akhirat
Embun Ahad:
"Orang yang ketika pagi menjadkan akhirat itu sebagai kepedulian utamanya, maka Allaah akan menghimpunkan segalanya, menjadikan kekayaan berada di dalam hatinya, dan dunia datang kepadanya tanpa dia kehendaki. Sedangkan orang yang ketika pagi menjadikan dunia sebagai kepedulian utamanya, maka Allaah akan mengacak-acak urusannya, menjadikan kemisikinannya berada di depan kedua matanya, dan dunia datang kepadanya hanya yang telah dituliskan oleh Allaah untuknya saja."
Sumber: (Al hadits yang dikutip dari Laa Tahzan halaman 260 karya Dr. Aidh Al Qarni. Sayang beliau tidak menyebutkan periwayatnya, namun dalam redaksi lain yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah, menyatakan maksud yang senada).
"Orang yang ketika pagi menjadkan akhirat itu sebagai kepedulian utamanya, maka Allaah akan menghimpunkan segalanya, menjadikan kekayaan berada di dalam hatinya, dan dunia datang kepadanya tanpa dia kehendaki. Sedangkan orang yang ketika pagi menjadikan dunia sebagai kepedulian utamanya, maka Allaah akan mengacak-acak urusannya, menjadikan kemisikinannya berada di depan kedua matanya, dan dunia datang kepadanya hanya yang telah dituliskan oleh Allaah untuknya saja."
Sumber: (Al hadits yang dikutip dari Laa Tahzan halaman 260 karya Dr. Aidh Al Qarni. Sayang beliau tidak menyebutkan periwayatnya, namun dalam redaksi lain yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah, menyatakan maksud yang senada).
9 Maret 2014
Tingginya Cita-Cita
Embun Jum'at:
“Tingginya CITA-CITA seseorang adalah tanda kebahagiaannya, sedangkan rendahnya CITA-CITA seseorang adalah tanda bahwa dia tidak akan menggapai kebahagiaan itu.” (Ibnul Qayyim al Jauzi dalam Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah)
“Tingginya CITA-CITA seseorang adalah tanda kebahagiaannya, sedangkan rendahnya CITA-CITA seseorang adalah tanda bahwa dia tidak akan menggapai kebahagiaan itu.” (Ibnul Qayyim al Jauzi dalam Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah)
28 Februari 2014
Jalan Sunyi
Embun Senin:
“Saat wajah penat memikirkan dunia, maka berwudhulah. Saat tangan letih meraih cita-cita, maka bertakbirlah. Ketika pundak tak kuasa memikul amanah, bersujudlah. Ikhlasnkan semuanya dan mendekatlah pada-Nya. Agar kita tunduk saat yang lain angkuh. Agar kita teguh saat yang lain runtuh. Agar kita tegar saat yang lain terlempar,” (Unknown)
“Saat wajah penat memikirkan dunia, maka berwudhulah. Saat tangan letih meraih cita-cita, maka bertakbirlah. Ketika pundak tak kuasa memikul amanah, bersujudlah. Ikhlasnkan semuanya dan mendekatlah pada-Nya. Agar kita tunduk saat yang lain angkuh. Agar kita teguh saat yang lain runtuh. Agar kita tegar saat yang lain terlempar,” (Unknown)
24 Februari 2014
Memberi Jeda untuk Rindu
Kawan,
lama tak menjumpai Embun Senin dan Kamis ya? Semalam saya bertemu
dengan Si Embun. Kutanyakan kenapa selama ini tidak menyapa kita.
Jawabnya,
"Aku lama tak menyapa kalian, bukan berarti aku melupakan kalian. Tapi aku hanya memberi kalian waktu untuk merindukanku. Bagiku, salah satu parameter kemanfaatan seseorang adalah dirindukan kehadirannya ketika tak dijumpai.
Aku ingin tahu, apakah diriku menghadirkan kemanfaatan atau tidak bagi kalian. Karena sesungguhnya Rasulullaah saw pernah bersabda,' Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesamanya'. ''
"Aku lama tak menyapa kalian, bukan berarti aku melupakan kalian. Tapi aku hanya memberi kalian waktu untuk merindukanku. Bagiku, salah satu parameter kemanfaatan seseorang adalah dirindukan kehadirannya ketika tak dijumpai.
Aku ingin tahu, apakah diriku menghadirkan kemanfaatan atau tidak bagi kalian. Karena sesungguhnya Rasulullaah saw pernah bersabda,' Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesamanya'. ''
13 Februari 2014
Dia Maha Pengampun
"...Wahai
anak Adam, jikalau dosamu membumbung SETINGGI LANGIT lalu engkau minta
ampunan-Ku, pasti engkau Kuampuni. Wahai anak Adam, andai engkau datang
kepada-Ku dengan kesalahan SEPENUH BUMI, kemudian angkau bertemu
dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikitpun, pasti Aku
mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi dalam
Hadits Arba'in no. 42)
12 Februari 2014
Korban Kepo Status Lama
Setiap orang tentu punya
masa lalu. Masa lalu yg kelam, kekanakan, labil, bahkan sampai yg lebay.
Atas masa lalunya itu sebagian ada yg malu, ada yang heran, sampai ada
yg tak percaya bahwa itu adalah dirinya.
Namun untungnya islam tak melihat masa lalu..
Teringat Amirul Mu'minin Umar bin Khatab yang menjadi mulia setelah dirinya hina. Khalid bin Walid yang menjadi panglima perang terpandang padahal sebelumnya adalah penentang.
Maka..
Islam itu memandang akhir, bukan awal.
Tak perlu risau seburuk apapun diri kita di waktu lampau. Cukup gunakan masa lalu sebagai pelajaran dan sejarah hidup yg tak perlu disesali. Karena sesungguhnya tidaklah ada penyesalan, yg ada adalah pembelajaran.
Yang terpenting, sudahkah kita membenahi diri utk mempersiapkan akhir terindah dalam kehidupan kita untuk bersiap menjemput kepastian takdir yg akan datang dari-Nya (?)
*untukmu korban status lama
Copy paste dari status facebook Fauzan
Namun untungnya islam tak melihat masa lalu..
Teringat Amirul Mu'minin Umar bin Khatab yang menjadi mulia setelah dirinya hina. Khalid bin Walid yang menjadi panglima perang terpandang padahal sebelumnya adalah penentang.
Maka..
Islam itu memandang akhir, bukan awal.
Tak perlu risau seburuk apapun diri kita di waktu lampau. Cukup gunakan masa lalu sebagai pelajaran dan sejarah hidup yg tak perlu disesali. Karena sesungguhnya tidaklah ada penyesalan, yg ada adalah pembelajaran.
Yang terpenting, sudahkah kita membenahi diri utk mempersiapkan akhir terindah dalam kehidupan kita untuk bersiap menjemput kepastian takdir yg akan datang dari-Nya (?)
*untukmu korban status lama
Copy paste dari status facebook Fauzan
Jujur Itu
Embun Senin:
Musim ujian
"Sejatinya jujur adalah ketika kau tetap berkata jujur saat tak ada lagi yang mampu menyelematkanmu kecuali dengan berbohong," (Al Junaid dalam buku Semulia Akhlak Nabi karya Amru Khalid)
Musim ujian
"Sejatinya jujur adalah ketika kau tetap berkata jujur saat tak ada lagi yang mampu menyelematkanmu kecuali dengan berbohong," (Al Junaid dalam buku Semulia Akhlak Nabi karya Amru Khalid)
6 Januari 2014
Saat Hujan
Embun yang ditelan hujan saat Jum'at sore:
"Tak ada yang dihantarkan oleh dingin dan hujan selain kerinduan. Entah kepada apa dan atau siapa" (Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari Adi Toha)
Banyak rang yang mengeluh ketika hujan. Begitu juga yang hanya diam sambil memandangi hujan yang entah kapan akan berhenti. Hujan sebenarnya bukan saatnya hanyut dalam perasaan, tapi waktu yang tepat untuk berdo'a. Karena
"Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun" (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)
"Tak ada yang dihantarkan oleh dingin dan hujan selain kerinduan. Entah kepada apa dan atau siapa" (Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari Adi Toha)
Banyak rang yang mengeluh ketika hujan. Begitu juga yang hanya diam sambil memandangi hujan yang entah kapan akan berhenti. Hujan sebenarnya bukan saatnya hanyut dalam perasaan, tapi waktu yang tepat untuk berdo'a. Karena
"Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun" (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)
3 Januari 2014
Menuju pada Allaah
Embun di Kamis yang mendung:
"Satu hal sebenarnya yang saya amati dari perjalanan hidup saya dan perjalanan hidup orang-orang yang shaleh, dan saya berusaha untuk menuju pada itu, bahwa menujulah kepada Allaah! Kalau kita menuju kepada Allaah dan kita nafikan segala yang kita kehendaki, tetapi kita menuju yang Allaah kehendaki, maka kita akan mendapatkan semua yang kita kehendaki.
Tapi kalau kita menuju kepada dunia-Nya Allaah, Allaah masih cenderung akan membiarkan kita mencari, mencari, dan mencari. Banyak orang yang gagal melunasi hutangnya karena targetnya adalah melunasi hutang. Banyak orang gagal mempunyai keturunan karena dia kejar betul-betul anak keturunan. Banyak orang yang gagal membangun imperium usahanya, membangun pekerjaan dan karirnya, karena yang dia tuju itu. Andaipun ada yang dapat! Andaipun ada yang dapat! Maka sesungguhnya tidak dia dapatkan apa-apa kecuali apa yang sudah Allaah gariskan untuk dia." (Ustadz Yusuf Manyur dalam Video 10 Dosa Besar Volume 2 pada menit 03:43-04.30)
Nb: Meski langit tampak mendung, semoga hati kita tetap bersinar cerah.
"Satu hal sebenarnya yang saya amati dari perjalanan hidup saya dan perjalanan hidup orang-orang yang shaleh, dan saya berusaha untuk menuju pada itu, bahwa menujulah kepada Allaah! Kalau kita menuju kepada Allaah dan kita nafikan segala yang kita kehendaki, tetapi kita menuju yang Allaah kehendaki, maka kita akan mendapatkan semua yang kita kehendaki.
Tapi kalau kita menuju kepada dunia-Nya Allaah, Allaah masih cenderung akan membiarkan kita mencari, mencari, dan mencari. Banyak orang yang gagal melunasi hutangnya karena targetnya adalah melunasi hutang. Banyak orang gagal mempunyai keturunan karena dia kejar betul-betul anak keturunan. Banyak orang yang gagal membangun imperium usahanya, membangun pekerjaan dan karirnya, karena yang dia tuju itu. Andaipun ada yang dapat! Andaipun ada yang dapat! Maka sesungguhnya tidak dia dapatkan apa-apa kecuali apa yang sudah Allaah gariskan untuk dia." (Ustadz Yusuf Manyur dalam Video 10 Dosa Besar Volume 2 pada menit 03:43-04.30)
Nb: Meski langit tampak mendung, semoga hati kita tetap bersinar cerah.
Dia Menutupi AIb
Embun Senin:
"Kita pernah bertemu dengan orang baik. Atau, orang yang menganggap diri kita baik. Benarkah?
Sesungguhnya bukan kebaikan yang disandang, tapi ada kekuasaan Allaah yang menutupi aib, kesalahan dan dosa-dosa kita sehingga tidak tampak. Kita tidak bisa bayangkan seandainya Allaah tidak menutupi borok kita itu. Seandainya dosa itu berbau, maka tidak ada orang yang mau dekat dengan kita karena tidak tahan dengan baunya. Masihkah kita merasa baik?
Kita hanya bisa minta kepada Allaah agar menutupi kesalahan-kesalahan kita seperti yang terucap dalam doa diantara dua sujud. Ada 7 permohonan kita, satu di antaranya adalah WAJBURNI (tutupilah kesalahanku) dan Allaah mengabulkan permintaan itu. Allahumma aamiin.. " (unknown atas rekomendasi Mu Izz)
"Kita pernah bertemu dengan orang baik. Atau, orang yang menganggap diri kita baik. Benarkah?
Sesungguhnya bukan kebaikan yang disandang, tapi ada kekuasaan Allaah yang menutupi aib, kesalahan dan dosa-dosa kita sehingga tidak tampak. Kita tidak bisa bayangkan seandainya Allaah tidak menutupi borok kita itu. Seandainya dosa itu berbau, maka tidak ada orang yang mau dekat dengan kita karena tidak tahan dengan baunya. Masihkah kita merasa baik?
Kita hanya bisa minta kepada Allaah agar menutupi kesalahan-kesalahan kita seperti yang terucap dalam doa diantara dua sujud. Ada 7 permohonan kita, satu di antaranya adalah WAJBURNI (tutupilah kesalahanku) dan Allaah mengabulkan permintaan itu. Allahumma aamiin.. " (unknown atas rekomendasi Mu Izz)
Pembuktian Cinta
Embun Kamis:
"Cinta tidak akan pernah diketahui kedalamannya sampai merasakan jam-jam perpisahan." (dari berbagai sumber yang dinisbatkan kepada Kahlil Gibran)
Sebelum perpisahan karena jarak, waktu, dan maut hadir di depan mata, sudah sadarkah kita siapa saja yang kita cintai dan siapa saja yang mencintai kita? Sebelum terlambat, sebelum penyesalan itu datang, dan sebelum...
Karena," Jika kau mencintai sesuatu, tak cukup kata itu hanya terucap oleh bibirmu, tapi kau akan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan yang kau cintai." (diadaptasikan dari Amru Khalid dalam Burungpun Mencintai Islam, Mengapa Engkau Tidak?)
Serta, "...Kamu akan bersama orang yang kamu cintai," (HR. Muslim)
12 Desember 2013
"Cinta tidak akan pernah diketahui kedalamannya sampai merasakan jam-jam perpisahan." (dari berbagai sumber yang dinisbatkan kepada Kahlil Gibran)
Sebelum perpisahan karena jarak, waktu, dan maut hadir di depan mata, sudah sadarkah kita siapa saja yang kita cintai dan siapa saja yang mencintai kita? Sebelum terlambat, sebelum penyesalan itu datang, dan sebelum...
Karena," Jika kau mencintai sesuatu, tak cukup kata itu hanya terucap oleh bibirmu, tapi kau akan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan yang kau cintai." (diadaptasikan dari Amru Khalid dalam Burungpun Mencintai Islam, Mengapa Engkau Tidak?)
Serta, "...Kamu akan bersama orang yang kamu cintai," (HR. Muslim)
12 Desember 2013
Berkaca
Embun Senin:
“Barangkali kita harus selalu berkaca. Bukan untuk mengagumi diri sendiri, karena kita bukanlah Narciscus, yang mati tenggelam karena pesonanya sendiri. Bukan juga untuk menengok masa lalu. Karena pantulan cermin adalah diri kita saat ini. Hanya untuk melihat lebih dalam. Secantik apa perilaku kita, seindah apa senyum kita, dan setebal apa iman kita hari ini,” (Unknwon)
5 Desember 2014
“Barangkali kita harus selalu berkaca. Bukan untuk mengagumi diri sendiri, karena kita bukanlah Narciscus, yang mati tenggelam karena pesonanya sendiri. Bukan juga untuk menengok masa lalu. Karena pantulan cermin adalah diri kita saat ini. Hanya untuk melihat lebih dalam. Secantik apa perilaku kita, seindah apa senyum kita, dan setebal apa iman kita hari ini,” (Unknwon)
5 Desember 2014